Bagian 52

1.7K 219 19
                                    

Nyatanya, berhadapan dengan Azri tidak semudah yang Kafka pikirkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nyatanya, berhadapan dengan Azri tidak semudah yang Kafka pikirkan. Ketika ayahnya itu turun dari mobil, Kafka sudah berdiri di depan pintu. Masih dengan muka bantal setelah seharian ini tidur dan hanya bangun ketika waktunya beribadah.

"Kafka?" Azri mengernyit heran dan menekan tombol lock di kunci mobilnya. "Kenapa? Tumben kamu berdiri di sini."

Jemari Kafka saling tertaut. Ia membuang pandangannya. Walau tidak mampu mengenali wajah ayahnya sendiri, Kafka tetap tidak mau melihat sosok pria yang kini berdiri di hadapannya tersebut.

"Dulu ...." Kafka buka suara. Ia menggigit bibir bawahnya sejenak. Tidak Kafka biarkan Azri melewati pintu. "Kenapa Ayah ngekhianatin Bunda?"

Sungguh, Azri lelah dan ingin beristirahat setelah mengalami hari yang cukup sibuk. Helaan napasnya terdengar. Ia meraih pundak Kafka dan merangkulnya, mengajak sang putra untuk masuk ke dalam. Udara malam hari ini cukup dingin dengan rintik hujan yang mulai membahasi bumi, dan Azri tidak ingin karenanya Kafka malah jatuh sakit.

Dengan kedua pundak yang diremas dengan lembut, Kafka dipaksa untuk duduk di sofa. Bibirnya yang sejak kemarin tidak menampilkan senyum tulus justru mencebik. "Yah, jawab!" paksa Kafka.

"Ayah sama Tante Sasi udah kenal sejak lama, sejak Ayah masih SMP." Azri tersenyum tipis. Ia duduk di sofa yang ada di seberang meja. Tatapannya lekat ke arah Kafka. "Kalau kamu kira Tante Sasi yang tiba-tiba muncul, justru enggak. Bunda yang datang gitu aja, anak teman orang tua Ayah.."

Kafka diam sejenak, tahu ke mana cerita singkat itu akan berakhir. "Terus?"

"Kamu ingat 'kan kalau Kakek sama Nenek itu orangnya nggak mau dibantah?"

Kafka mengangguk pelan. Ia tidak ingin mendengar penjelasan Azri lagi. Oleh karena itu, Kafka membuang pandangannya. Kalau begini akhirnya, lebih baik ia tidak tahu semuanya.

Kenapa pula saat itu Kafka penasaran dengan isi jurnal milik Bunda?

"Kalau gitu ... Yah, apa kehadiranku ... nggak ada cinta sama sekali?"

Jawaban apa yang Kafka harapkan dari orang yang melupakan masa lalu saja tidak bisa?

"Enggak." Azri menjawab cepat, dengan jawaban yang bahkan tidak Kafka sangka sebelumnya. Kedua manik matanya yang tajam menatap lembut ke arah Kafka. Laki-laki itu masih marah, terlihat jelas tegambar di wajahnya. Namun, pandangannya lebih lunak daripada sebelumnya. Raut keterkejutan kemudian tampak jelas, tepat setelah jawaban Azri terdengar.

"Ayah coba buat cinta sama bunda kamu. Terus, kamu hadir." Senyum Azri tipis, kembali mengulang masa lalu yang terasa membahagiakan ketika pada akhirnya Kafka berada di antara mereka. "Tapi, tiba-tiba aja Tante Sasi datang lagi. Kebetulan, ibunya jadi pasien Ayah."

Ketika ada jeda, terasa suasana rumah yang begitu hening. Hanya helaan napas yang menjadi pengisi, ditambah dengan suara jam dinding di ruang makan. Kafka diam, saking heningnya hingga ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri.

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang