Bagian 26

2.4K 304 3
                                    

Kafka terbangun tepat ketika azan subuh berkumandang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kafka terbangun tepat ketika azan subuh berkumandang. Parahnya, masih menggunakan jaket dan bajunya yang semalam. Tanpa peduli pada pandangannya yang masih sedikit berbayang, Kafka langsung meloncat dan berdiri. Walau kemudian mengalami hipotensi ortostatik, hingga membuatnya kembali terduduk. Kepalanya sedikit digelengkan dengan kedua mata yang terpejam. 

Untung, hal tersebut tidak berlangsung lama. Hingga ketika pintu kamar terbuka lebar, Kafka kembali membuka matanya dan menoleh. Menunggu siapapun yang membuka pintu tersebut untuk masuk ke dalam.

"Kafka ...." Azri, orang yang barusan membuka pintu kamar, sedikit terperangah karena Kafka yang ini duduk di tempat tidur, masih memakai bajunya yang kemarin. Terlihat jelas bahwa Kafka langsung tertidur begitu sampai di rumah. "Kamu pulang jam berapa semalam? Kenapa nggak ada kabar sama sekali?"

Kedua bola mata Kafka bergerak, memperhatikan sekitar ruangan. Refleks memaksanya untuk tidak menatap sosok Azri yang kini berada di hadapannya. "Sebelum tengah malam aku udah pulang, kok," jawab Kafka. Ia sendiri tidak tahu pukul berapa tepatnya ia sampai di rumah. 

Helaan napas frustrasi terdengar. Azri mengusap wajahnya dengan gusar dan duduk di sebelah Kafka. "Kenapa kamu nggak ada kabar sama sekali kemarin? Kamu lagi ada masalah atau gimana?" Azri kembali bertanya, menumpahkan seluruh rasa khawatir yang semalaman menghantuinya. 

"Maaf," gumam Kafka. Ia bangkit dan melepas jaketnya, lalu dilemparnya sembarangan. "Aku mau salat sama siap-siap ke rumah sakit. Ayah bisa keluar dulu nggak? Ayah juga belum salat, 'kan?"

"Kamu nggak ada niatan buat jelasin semalam ke mana aja sampai nggak langsung pulang ke rumah?"

Kafka diam sejenak. Ia menatap cermin yang berada di lemari. Melirik pantulan sang ayah yang duduk tepat di belakangnya. "Nggak ada," balasnya singkat. "Cuma masalah kecil. Aku bisa selesaiin sendiri, kok." Kafka membalik tubuh, menyunggingkan senyum tipis yang lebih tampak seperti sebuah formalitas belaka. Bukan karena apa, tapi Kafka tidak ingin membuat ayahnya menjadi lebih khawatir.

"Ayah tenang aja, ya," pinta Kafka. Kedua manik teduhnya tampak bersinar lembut. "Sekarang mending Ayah salat, terus mandi, terus siap-siap kerja. Oke?"

Azri lagi-lagi menghela napas panjang. Dengan bantuan kedua lengannya, ia bangkit dari tempat tidur. Diacaknya rambut Kafka sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Janji nggak ngulangin lagi, ya?"

Kafka mengangguk singkat. Tangannya yang bebas kembali merapikan rambutnya. "Iya, Yah. Aku janji."

•••

Katanya, Bu Fina sudah duduk-duduk di ruangan, padahal saat ini masih pukul setengah tujuh pagi. Makanya itu, setelah Kafka menghabiskan sarapannya, ia langsung meraih tas yang ada di samping kursi dan mengenakannya. Sambil berdiri, Kafka menghabiskan tegukan terakhir susunya. 

Kafka beruntung, Bu Fina bukan tipe dosen pembimbing yang menyeramkan seperti Bu Ayun—yang tidak ada tandingannya. Tapi, tetap saja, Kafka tidak mungkin bersantai. Tanpa menunggu waktu lagi, Kafka segera bergegas. Meninggalkan Azri yang tampak heran sambil menyantap roti bakar kejunya.

KelabuWhere stories live. Discover now