Bagian 35

2.3K 295 21
                                    

Kedua kaki jenjang Kafka melangkah menapaki jembatan kecil yang menjadi penghubung antara teras dan gazebo belakang rumahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kedua kaki jenjang Kafka melangkah menapaki jembatan kecil yang menjadi penghubung antara teras dan gazebo belakang rumahnya. Netranya perlahan terpejam ketika pada akhirnya Kafka sampai di tujuan, duduk dengan nyamannya di sofa kecil gazebo. Kedua kakinya diluruskan, dengan tangan yang menyangga pada kedua lutut.

Pikiran Kafka berkecamuk. Suara-suara orang asing sedari tadi hilang timbul merasuki kepala. Lalu, terdengar suara tawa pelan. Membuat Kafka perlahan menggeleng dan menutup telinganya.

Tahu nggak? Lo bakal ditinggal lagi.

"Ngaco." Kafka berdesis pelan. Ia membuka matanya, menatap ke arah pohon yang berada tepat di hadapannya. Angin yang berembus membuat gerakan pada ranting, seolah menyapa.

"Nggak ada yang bakal pergi. Nggak ada—" Ucapan Kafka terhenti begitu ia melihat cutter yang berada tepat di atas meja. Seingatnya, benda itu pernah ia tinggalkan di sana dan pada akhirnya terlupakan. Perlahan, Kafka bangkit. Ia memutuskan untuk duduk di lantai kayu dan mengambil benda yang selalu dijauhkan dari pandangannya.

Atau ... Kafka, lo duluan aja yang mati.

•••

Entah sejak kapan suasana rumah tidak sehangat sebelumnya. Sasi lebih banyak diam, meninggalkan Semesta dengan sejuta pertanyaan. Bundanya itu masih seperti biasa, menyiapkan makan malah ketika jarum jam sudah menunjuk ke angka tujuh, tapi Semesta merasa ada banyak hal yang berubah.

"Kurang lebih lima bulan lagi kita bakal punya keluarga baru." Sasi yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara. "Bunda bukan nyiapin makanan buat dua orang lagi, tapi buat empat orang."

"Iya, Bun." Semesta menjawab. Kedua tangannya perlahan mengusap kedua kaki. Aktivitasnya hari ini tidak terlalu berat, tapi rasanya kedua tungkai jenjang itu sulit digerakkan.

Sasi menatap Semesta tepat di manik legamnya. Surainya yang mulai memanjang menutupi, membuat tangan Sasi terangkat, lalu menyingkapnya. Keduanya terlalu indah untuk ditutupi.

"Bunda ambilin gunting, ya. Nggak suka banget liat poni kamu."

"Bunda kalau motong rambut suka ngasal, nanti rambut aku jelek." Semesta mendengkus pelan. "Lagipula, poni aku nggak terlalu panjang, kok."

Sasi tersenyum tipis. "Ayah kamu ... dulu juga suka bilang gitu." Ia tertawa pelan. "Mau sifat atau tampilannya, semua menurun ke kamu, ya."

"Aku udah bilang kalau Bunda nggak boleh bahas masalah itu," ujar Semesta. Ia mengetukkan jarinya di permukaan meja. "Bunda selalu keliatan sedih kalau ngomongin hal itu. Aku jadi ngerasa kalau penyebab Bunda selalu sedih itu karena aku."

Sasi menggeleng cepat. "Bunda juga pernah bilang kalau kamu sumber kebahagiaan Bunda. Mana mungkin Bunda sedih karena kamu? Jangan ngaco, deh."

KelabuWhere stories live. Discover now