Bagian 42

1.8K 227 23
                                    

"Semalam Kafka jadi ke sini, ya?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Semalam Kafka jadi ke sini, ya?"

Semesta mengangguk pelan. Kedua kakinya yang sengaja dilipat ke atas kursi, kini diturunkan. "Iya, sebentar," jawabnya singkat, sebelum kembali menyeruput kuah supnya. "Bunda yang suruh 'kan?"

Sasi menggeleng perlahan. "Enggak juga. Bunda cuma minta tolong ke dia buat ngomong sama kamu," ungkap Sasi. "Plus, Bunda nemu ini di freezer. Kamu sama Kafka berantem?"

Alis Semesta tertaut heran. "Nemu apa?" Ia balas bertanya, bukannya terlebih dahulu menjawab pertanyaan Sasi.

"Ini." Sasi meletakkan secarik kertas di atas meja. Tanpa menunggu waktu, Semesta mengambilnya dan membaca tulisan yang ada di sana.

 Tanpa menunggu waktu, Semesta mengambilnya dan membaca tulisan yang ada di sana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Apaan ini?" Semesta berucap ketika selesai membacanya. "Ada ada aja kerjaannya. Masa, nggak berani minta maaf langsung."

Sasi terkekeh geli. Ia menarik kursi sebelum akhirnya duduk di hadapan Semesta. Kedua tangannya menumpu dagu.

"Kenapa, ya, aku nggak dapat calon adek yang lebih normal dikit?" Semesta kembali meletakkan kertas tersebut ke atas meja. Gelengan beserta decakannya terbit. "Kasian banget aku."

"Bukannya lucu, ya?" Sasi membalas ucapan Semesta. Memperhatikan sang putra yang merutuki nasibnya karena menjadi saudara dari laki-laki bernama lengkap Kafka Algis Atharya tersebut. "Kamu kadang nggak asyik diajak bercanda, Bunda takut. Coba Kafka. Beda banget sama kamu."

Semesta membuang pandangannya. Seperti biasa, Sasi lebih menyukai sifat Kafka. Bagaimanapun juga, di hadapannya ini putra kandungnya sendiri. Bisa-bisanya Sasi membandingkannya dengan anak orang.

Yah, walau anak orang itu akan jadi anaknya juga, sih.

"Awalnya Bunda takut kalian berdua nggak bisa akur," aku Sasi. Ia menarik napas panjang, mengganti posisi tubuhnya hingga bersandar di sandaran kursi. "Bunda mikir kalian bakal berantem terus, nggak bisa saling terbuka, atau justru kamu nolak abis-abisan pernikahan Bunda sama Om Azri."

Semesta memutar kedua bola matanya. "Aku nggak kekanak-kanakan gitu, Bun," katanya, meski harusnya sadar kalau tadi malam malah bersikap kekanakan. "Bukannya udah aku bilang? Kalau keputusan Bunda bisa bikin Bunda bahagia, aku bakal nerima aja. Hubungan aku sama Kafka bisa diperbaiki nantinya."

Sasi tidak mampu menahan senyumnya. Ia ingin bangkit dari kursinya dan memeluk Semesta. Nama yang merepresentasikan dirinya, Semesta adalah semesta untuk Sasi. Dunianya, serta harta berharganya selama ini. Anak itu mungkin tidak seberuntung anak lainnya di luar sana, tetapi Sasi yang merasa beruntung karena memiliki anak seperti Kerlap Semesta. Tidak dapat Sasi terbayang jika suatu saat Semesta menghilang dari lapang pandangnya.

"Bunda jangan senyum-senyum sendiri. Aku takut." Ucapan Semesta lantas membuat pikiran Sasi buyar. Ia mengerjap beberapa kali, sebelum melempar tisu bekas dari atas meja. Mengenai wajah Semesta hingga hampir masuk ke dalam supnya.

"Jorok banget!" Semesta melempar tisu tersebut sembarangan. "Bekas ngelap apaan itu? Bunda kebiasaan."

Sasi tertawa puas saat melihat Semesta mencak-mencak sendiri. Mungkin, dulu banyak orang yang memandangnya rendah. Keputusan Sasi untuk mempertahankan Semesta ternyata tidak salah. Karena nyatanya, kini ia mampu menjadi kebahagiaannya.

"Semesta."

"Apaan?"

"Kerlap."

Semesta lantas menatap Sasi heran. "Bunda kerasukan apa sampai manggil aku pakai nama "Kerlap"?" Takut-takut, ia bertanya. "Lagian juga, Kerlap kayak nama cewek. Aku nggak suka."

"Nama kamu bagus, loh."

"Banyak yang ngira aku cewek."

"Karena Bunda awalnya kira kamu perempuan," aku Sasi. "Malah, Bunda udah beliin baju serba pink."

"Bisa nggak, nggak usah ngomongin itu?" Semesta menutup wajah dengan kedua tangannya. Sasi yang bicara, tapi malah Semesta yang malu. Ada saja kelakuan bundanya ini.

"Bunda udah senang banget karena Bunda pikir kamu perempuan. Makanya, Bunda kalap pas itu. Bunda 'kan kepikirannya bakal punya anak yang nemenin Bunda masak-masak atau apa gitu."

Semesta menaikkan sebelah alisnya. Padahal, selama ini ia juga sering membantu bundanya itu memasak. "Terus, Bunda menyesal karena biarin aku tetap hidup? Karena ekspektasi Bunda yang nggak bisa terpenuhi."

Sasi lantas menggeleng cepat. "Ya, nggak mungkin lah!" Sasi menyangkal. "Mana mungkin Bunda menyesal karena udah ngelahirin kamu? Kamu bahkan melebihi ekspektasi Bunda sendiri."

Semesta lantas menunduk. Begitu dalam hingga Sasi harus ikut memiringkan kepala untuk dapat melihat wajah laki-laki bersurai legam tersebut. "Kamu kenapa?" tanya Sasi khawatir.

"No ... aku cuma mikir kalau aku beruntung banget bisa jadi anak Bunda," jawab Semesta. "Bunda, aku bakal berusaha buat Bunda. Biar aku bisa tetap liat Bunda bahagia. Maaf karena aku harus tunda pendidikan aku dulu."

"Kamu nggak perlu minta maaf karena Bunda dukung semua keputusan kamu."

"Aku jahat banget, ya, karena egois ngambil keputusan sendiri?"

Sasi tidak membalas. Tidak juga menggeleng atau mengangguk. Kedua netranya menatap Semesta intens, menunggu kelanjutan ucapannya.

"Bun, aku terlalu labil. Aku mau aja buat lakuin pengobatan, tapi aku nggak mau karena itu Bunda jadi berharap tinggi biar aku sembuh." Semesta berdeham, menggenggam sendoknya dengan erat. Ia tidak berani menatap Sasi, meski hanya lewat lirikan.

"Mungkin ... aku mau coba. Buat Bunda ... biar Bunda senang gitu."

•••

"Hah! Gue kesiangan!" Kafka bangkit dari kasurnya dengan cepat, melirik jam yang jarum pendeknya sudah di angka sembilan. Lalu, matanya menatap kalender yang ada di atas meja. "Oh, iya. Sekarang Minggu."

•To be continued•

A/n

Main game yuk! Ceritain ke aku best ending Kelabu menurut kamu. Siapa tau justru imajinasi kamu jadi kenyataan wkwkwk

KelabuWhere stories live. Discover now