Bagian 28

2.2K 289 15
                                    

Sebagai teman yang baik, Semesta berniat mengunjungi Ara sebelum jam dinas dimulai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sebagai teman yang baik, Semesta berniat mengunjungi Ara sebelum jam dinas dimulai. Bersama Sinta yang menjadi rekan dinasnya, keduanya berjalan menuju ruang rawat Ara bersamaan. Echa yang masih dinas hanya menitipkan salam.

Beruntung, teman sekelasnya itu dapat melewati masa kritisnya hingga sekarang memasuki masa pemulihan. Walau kadang, kejadian itu membuat Semesta meringis pelan. Siapa yang tidak takut jika tiba-tiba didatangi makhluk yang mirip dengan teman sendiri?

Ruang rawat nomor satu, yang merupakan ruang rawat kelas satu di ruang Mawar, adalah ruangan yang ditempati oleh Ara. Berisi dua tempat tidur yang salah satunya kosong, dan menjadi tanggung jawab seluruh perawat yang ada di ruangan. Lokasinya yang berada tepat di depan taman membuat suasana ruangan menjadi lebih asri. Berbanding terbalik jika malam, di mana ada mitos soal suster merambat yang kerap muncul di hadapan keluarga pasien.

Begitu cerita yang beredar, walau Semesta masih tidak bisa percaya karena belum pernah secara langsung mengalami.

Semesta menyentuh gagang pintu ruang rawat yang dingin, lalu mendorongnya perlahan. Ia menyembulkan kepala dan membuka pintu lebih lebar lagi. Kedua kakinya melangkah memasuki kamar. Hawa yang berbeda langsung terasa. Entah karena di dalam lebih sunyi, atau karena hal lain, Semesta tidak mengerti.

Sosok Ara yang berbaring di atas bed terlihat. Tampak tenang dengan wajahnya yang terlihat lebih pucat. Tidak ada riasan yang selama ini dikenakannya. Ketika melihat Semesta dan Sinta yang berjalan mendekat, senyumnya terbit. Tangannya yang tidak terpasang infus diangkat, berniat untuk menyapa.

"Udah lama nggak ketemu, gimana kabar askep?" tanya Ara.

"Ada pertanyaan lain nggak? Gue nggak suka banget kalau ngomongin soal askep," balas Sinta. Ia melirikkan kedua matanya ke sekitar ruangan, kemudian beralih kembali pada Ara.

Tertawa pelan, Semesta membalas, "Askep gue sangat baik, kalau lo mau tahu." Ia menarik kursi dan duduk di sana. "Gimana kabar lo? Kaki lo udah lebih baik? Gue dengar kemarin kaki lo parah banget, selain kepala."

Ara meringis pelan. Beberapa hari ini ia tidak berani melihat kondisi kakinya sendiri. "Nggak tahu. Nggak mau tahu juga, sih," jawab Ara. "Gara-gara kecelakaan kemarin gue jadi nggak bisa dinas. Malah sampai sekarang kaki gue belum bisa digerakin. Nggak tahu, deh, gimana nasib nilai gue."

Semesta tertegun. Ia menatap kedua kakinya dan menarik napas panjang. "Belum, 'kan? Bukan nggak bisa lagi?"

"Ya, beruntungnya kaki gue masih bisa diselamatkan. Nggak tahu gimana nasib gue kalau kaki gue nggak bisa digerakin lagi. Mungkin gue bakal bunuh diri." Ara mengedikkan bahunya. Senyumnya lebar ketika ia mengambil biskuit yang ada di atas nakas. "Nih, biskuit. Dimakan, mumpung gratis."

Dengan senang hati, Sinta menerimanya. "Makasih, loh. Kebetulan gue belum sarapan," ucapnya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Lo sendirian gini nggak takut? Orang tua lo mana?"

Ara tertawa. "Gue udah biasa kali, sendiri gini. Lagian juga, orang tua gue nggak bakal nungguin. Ya, mending kerja mereka, mah. Biarin aja. Selama gue masih bisa makan makanan enak."

Semesta dan Sinta saling tatap, lalu ikut tersenyum kikuk. Bisa-bisanya Ara berbicara seperti itu dengan mudah, seolah memang tidak ada masalah. Padahal, ketika sedang sakit seperti ini, ia pasti butuh perhatian lebih dari orang tuanya. Paling tidak ... sedikit saja.

"O-oh, gitu." Semesta bergumam pelan.

"Oh, iya, Ta. Gue baca di grup, katanya lo juga nggak masuk beberapa hari, ya?" Ara mengalihkan pembicaraan. "Ngapain, deh? Sakit juga?"

Semesta mengusap belakang kepalanya perlahan. "Iya, semacam itu," jawabnya singkat.

"Sakit apa?"

Semesta mengerjap beberapa kali. Benar juga. Ia belum tahu sakit apa yang dideritanya. Hasil baru keluar hari ini. Semesta memilih untuk tidak ikut mengambil hasilnya dan meminta Sasi untuk mengambilnya sendiri.

"Nggak tahu juga. Hasilnya baru keluar hari ini," jelas Semesta. "Gue nggak begitu suka ngomongin itu. Nanti aja, kalau udah jelas."

Ruangan mendadak kembali hening, tepat setelah kalimat terakhir yang Semesta ucapkan. Kemudian, laki-laki itu memilih untuk bangkit. Ia menatap Ara, lalu berganti menatap Sinta.

"Sin, mau ke ruangan sekarang nggak?" tanyanya.

Sinta mengangguk perlahan. "Boleh, deh. Biar bisa siap-siap juga." Sinta mengiyakan. "Gue ke ruangan dulu ya, Ra. Get well soon. Jangan lupa kalau udah sembuh dinas lagi. Sorry, soalnya gue sama Semesta nggak bawa apa-apa."

"Santai aja. Gue udah senang walau cuma didatengin gini. Soalnya ...." Ara melirik sekitar. "Biasanya yang ngedatengin gue cuma suster merembet."

Sinta bergidik ngeri. Tanpa suara ia langsung menarik Semesta keluar dari ruang rawat.

•••

"Antar pasien buat echo, terus pulang. Kafka pengin pulang." Kafka bergumam pelan, menyusuri lorong rumah sakit sambil membawa rekam medis yang secara tidak sengaja tertinggal di ruangan. Hari ini sudah beberapa kali ia mengantar pasien, entah itu untuk melakukan rontgen, echocardiography, atau hanya sekadar mengambil obat atau darah di bank darah.

"Capeknya ...." Kafka menguap. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, walau tahu ada masker yang melapisi wajahnya. "Pulang harus beli es krim. Atau mie ayam, ya? Atau—"

"Kafka!" Sebuah suara memotong ucapan Kafka. Ia lantas mengerjap dan menoleh ke belakang. Ada banyak orang hingga membuat Kafka tidak tahu siapa yang memanggilnya barusan.

"Siapa ...?"

"Ini Sinta," ucap Sinta yang berderap menghampiri Kafka. "Bareng sama Semesta. Lo mau ke mana?"

"Kak Semesta? Hari ini masuk? Bukannya lo harus ke rumah sakit lagi, ya?"

"Iya, ini gue ke rumah sakit. Buat dinas," jawab Semesta asal.

"Um, ya ... nggak salah, sih." Kafka mengusap belakang kepalanya perlahan. "Ini ... mau ke poli jantung. Tadi nganter pasien echo, tapi rekam medisnya malah ketinggalan. Jadi harus gue ambilin."

"Oh, gitu. Semangat, Kafka. Abis ini pulang, 'kan?"

Wajah Kafka lantas memerah. Ia mengerjap beberapa kali dan mengangkat rekam medis yang dibawanya hingga menutupi wajah. "Iya, iya, makasih, loh," ucapnya. Kepalanya tertoleh, menahan senyum yang memaksa untuk terbit.

"Kenapa lo?" tanya Semesta heran. Ia menarik rekam medis yang menutupi wajah Kafka. "Loh? Muka lo kenapa merah? Demam?"

Kafka menggeleng cepat. Ia berdeham pelan. "Gue ke poli duluan, ya. Bye bye!"

Dengan cepat, Kafka berderap, meninggalkan Semesta dan Sinta yang masih berada di posisinya. Keduanya menatap punggung Kafka uang menjauh, sebelum akhirnya kembali berjalan ke ruangan.

"Itu tadi ... dia salah tingkah, ya?"

Semesta menoleh. "Eh, iya. Kayaknya."

Sinta tertawa pelan. "Gue nggak ngerti, deh. Kafka lucu, ya."

Semesta mengulum senyum tipis. Apa jadinya kalau Kafka mendengar ucapan Sinta barusan?

[To be continued]

A/n

Dah, tidur

KelabuWhere stories live. Discover now