Bagian 27

2.3K 315 37
                                    

Berhubung Semesta bosan di rumah, ditambah dengan bundanya yang malah asyik kencan dengan calon suaminya, pada akhirnya Semesta memilih untuk pergi ke luar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Berhubung Semesta bosan di rumah, ditambah dengan bundanya yang malah asyik kencan dengan calon suaminya, pada akhirnya Semesta memilih untuk pergi ke luar. Mungkin mencari es krim atau makanan baru yang belum pernah dicicipinya. Tapi, baru juga hendak menyalakan mobil, ponselnya bergetar beberapa kali. Getaran singkat yang muncul secara beruntun, lantas membuat Semesta mengurungkan niat dan meraih ponselnya. Dibacanya notifikasi yang masuk. Keseluruhan dari Kafka. Entah sejak kapan, laki-laki itu jadi sering menghubungi.

Kini, di sini Semesta berada. Duduk di kursi meja belajar sementara Kafka berbaring di atas tempat tidur. Menatap foto-foto yang terpajang di depan meja belajar sebelum menoleh ke belakang, ke arah Kafka yang kini tampak terpejam.

"Minta ditemenin tapi malah tidur. Gimana, sih?" Semesta bergumam pelan. Ia bersedekap, meluruskan kedua kaki hingga tubuhnya sedikit merosot dari sandaran kursi.

"Gue nggak tidur."

"Oh?"

Kafka bangkit. Ia mengusap kedua matanya yang terasa sakit, sebelum akhirnya mengerjap beberapa kali. Bola bermanik hijau itu tampak sedikit memerah.

"Gue agak ngantuk, tapi ingat ada lo jadi nggak bisa tidur," jelas Kafka. Ia melirik gelas es krim yang ada di atas meja. "Gue dibeliin es krim juga, 'kan?"

Semesta menggeleng pelan. Tubuhnya digerakkan maju mundur, menghasilkan suara decitan dari sandaran kursi. Ia mengambil gelas es krimnya dan menyuapkan sesendok ke dalam mulutnya, berniat menggoda Kafka.

"Kenapa gue nggak dibeliin juga?" tanya Kafka. Ia bangkit, hendak merebut gelas es krim itu dari tangan Semesta, tapi gerakan laki-laki yang setahun lebih tua darinya itu jauh lebih cepat.

Kafka bergumam kesal sesaat, lalu kembali duduk di kasur. Walau masih ingin menyantap es krim milik Semesta, tapi pada akhirnya Kafka mengurungkan niatnya.

"Lo ngapain nyuruh gue ke sini?" tanya Semesta, mengalihkan pembicaraan.

"Hasil tes lo gimana? Udah keluar?" Bukannya menjawab pertanyaan Semesta, Kafka justru balik bertanya. Ia melipat kedua kakinya di atas ranjang. "Tesnya susah nggak?"

"Nggak sesusah OSCE Maternitas kemarin," balas Semesta asal. "Nggak gitu juga, Kafka."

"Terus, tesnya apa? Itu tes lab?"

Semesta menunduk, kemudian mengangkat kepalanya, menatap langit-langit. Senyumnya terbit begitu tipis. "Gue juga nggak paham itu tes apa. Tapi, iya, itu tes lab," aku Semesta.

Kafka mengerutkan keningnya. Dari nada bicara Semesta, terdengar jelas bahwa laki-laki itu tidak ingin membicarakannya. "Oh, gitu," gumam Kafka. Ia memeluk bantalnya. "Tapi ... lo nggak bakal kenapa-napa, 'kan?"

Suasana mendadak hening. Hanya terdengar suara dari gesekan daun dan ranting ketika tertiup angin. Merasa salah bicara, perlahan Kafka menepuk bibirnya.

"Oh, iya. Gue ada cokelat. Lo mau nggak?" Kafka berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi suasana yang awalnya masih terasa ringan mendadak jadi berat.

Helaan napas Semesta terdengar, menyahuti pertanyaan Kafka. "Apa gue ... bakal baik-baik aja?" Semesta menatap Kafka tepat di kedua bola matanya. Permukaannya tampak berkaca-kaca. "Atau jangan-jangan gue nggak bakal bisa lulus kuliah? Apa gue bakal mati sebentar lagi?"

"Kak, jangan asal ngomong." Kafka berucap cepat. "Lo bakal baik-baik aja. Lo bakal hidup terus. Gue yakin banget."

Semesta tertawa pelan. Diaduknya es krim yang sudah mulai mencair hingga serbuk cokelatnya tercampur sempurna. "Iya, iya. Nggak asal ngomong."

Kafka mendengkus. "Kak, gue tahu kita baru benar-benar akrab akhir-akhir ini. Walau udah lama kenal, sekelas, masuk UKM bareng, terus gue jadi wakil lo. Gue anggap lo kakak kandung gue sendiri, dan gue nggak mau lo pergi gitu aja dari hidup gue, kayak bunda gue dulu."

"Iya ...."

"Jadi gue harap ...." Kafka menyunggingkan senyuman lebar hingga kedua matanya menyipit. "Lo jangan sampai kalah, ya."

Kafka mengangkat kepalan tangannya. "Janji sama gue. Nggak boleh sampai ingkar."

"Gue nggak bisa janji. Tapi, gue bakal usahain."

Perlahan, Kafka bangkit, masih dengan seulas senyum di bibir. Ia merenggangkan tubuhnya yang terasa sedikit kaku. "Lo mau teh peach nggak?" tawar Kafka. Diraihnya sebuah selimut dan ia selimuti tubuhnya dari kepala. Suhu yang dingin ternyata mampu membuatnya menggigil.

"Nggak usah. Gue kenyang makan es krim," tolak Semesta dengan kedua tangan yang diangkatnya, menunjukkan gestur penolakan.

Kedua kelopak mata Kafka menyipit, menatap Semesta skeptis. Mana ada orang yang kenyang hanya dengan makan segelas es krim yang isinya bahkan tidak penuh? Bahkan Kafka juga masih merasa kurang walau sudah ditambah dengan seporsi besar kentang goreng.

"Mau makan? Gue adanya cuma mie, sih. Atau kita pesan aja?" Kafka tetap saja berusaha menawari Semesta sesuatu yang bisa dikonsumsi. Sebagai tuan rumah yang baik, juga karena Kafka merasa lapar sore-sore begini.

Semesta lagi-lagi menggeleng. "Gue makan di rumah aja bisa, kok," balas Semesta. Ia memegang kedua pundak Kafka, lalu menyuruhnya untuk kembali duduk.

Kafka menghela napas panjang. Ia mendongak dan menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Merasakan suhu kasur yang jauh lebih dingin.

"Gue jago masak loh, Kak." Kafka menunjukkan cengirannya. Kedua tangannya saling menepuk. "Nanti, lo harus cobain masakan gue."

Menurut Semesta, kadang Kafka kekanakan. Entah karena memang usianya yang lebih muda atau memang begitulah sifat aslinya. Semesta sendiri tidak masalah, tapi semenjak pikiran negatif mulai merasukinya, ada satu hal yang Semesta pikirkan.

Apa jadinya kalau ia benar-benar tidak dapat bertahan hidup?

[To be continued]

A/n

Agak serem ya kalau akhirnya Kafka bunuh diri gitu ....

Hehehehehe

KelabuWhere stories live. Discover now