Bagian 6

3.9K 472 9
                                    

"Jika setelah dilakukan pemeriksaan EKG dan didapatkan hasil adalah ST elevasi, maka dapat diketahui bahwa pasien mengalami infark miokard

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

"Jika setelah dilakukan pemeriksaan EKG dan didapatkan hasil adalah ST elevasi, maka dapat diketahui bahwa pasien mengalami infark miokard. Ditambah dengan keluhan nyeri dada menjalar yang berlangsung lebih dari tiga puluh menit dan sesak napas."

Semesta menghela napas panjang. Tangannya sedari tadi sudah menumpu kepala. Walau presentasi dari kelompok satu sudah dibawakan sebaik mungkin, tapi waktu mata kuliah yang berada di jam kritis membuat kelopak mata Semesta memberat.

Perlahan bola matanya bergerak, melirik ke arah sekitar. Teman-teman sekelasnya kebanyakan membuka ponsel masing-masing, berusaha menahan agar tidak jatuh lelap. Beberapa memilih tetap menjadi mahasiswa yang baik, alias memperhatikan pemateri dan mencatat di buku catatan masing-masing.

Hingga aktivitas Semesta terhenti ketika netranya menangkap sosok Kafka di dekat jendela. Laki-laki itu tampak sedang mengobrol dengan Nafeesa, salah satu dari sekian banyak perempuan yang ada di kelasnya. Seingat Semesta, keduanya memang dekat sejak semester awal, walau tidak ada kepastian sama sekali.

Tidak pernah Semesta pikirkan sebelumnya kalau Kafka akan menjadi adiknya. Walau keduanya sudah sekelas sejak lama, tapi nyatanya Semesta tidak bisa akrab dengan Kafka. Hanya sekadar menjadi teman biasa atau lawan ketika berdebat. Untuk yang terakhir, harus Semesta akui bahwa berdebat dengan Kafka itu cukup menyebalkan. Entah bagaimana jadinya kalau nanti mereka satu rumah.

"Ngaco banget emang." Semesta bergumam pelan, mencoret kertas di hadapannya secara asal. "Kenapa pula gue setuju-setuju aja dipanggil kakak?"

Berdecak pelan, Semesta menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi yang kecil. Kedua kakinya agak diluruskan, berhubung rasanya sangat tidak nyaman ketika harus terus menekuk kaki jenjangnya dalam waktu yang lama. Kedua netra teduhnya menatap langit-langit, sebelum akhirnya kembali menatap layar proyektor yang kini menampilkan asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan infark miokard.

"Pengkajian PQRST pada nyeri. P, pasien berkata bahwa nyeri timbul ketika sedang membersihkan rumah. Q, nyeri yang dirasakan adalah nyeri berat seperti ditusuk-tusuk. R, nyeri menjalar ke lengan kiri hingga ke punggung. S, skala nyeri 7. T, nyeri menetap."

Semesta tidak bisa lagi fokus. Apa yang didengarkannya kini hanya asal lewat. Niatnya ingin belajar di rumah saja, walau hasilnya Semesta hanya berbaring tidak jelas di kasur.

Ngantuk banget, batin Semesta menggerutu. Berharap waktu bisa berjalan lebih cepat.

Pada akhirnya Semesta membaringkan kepalanya di atas meja yang ukurannya terlampau kecil. Walau punggungnya terasa tidak nyaman karena posisi yang tidak ergonomis, tapi Semesta tidak peduli. Nyatanya, rasa kantuk kemudian membawa ketidaknyamanannya dan membuatnya terpejam.

•••

"Pernah ngebayangin digigit buaya nggak?" Kafka tiba-tiba berbicara. Nafeesa yang awalnya fokus melihat ke depan, langsung menoleh.

"Kenapa gue harus repot-repot ngebayangin digigit buaya kalau di sebelah gue ada buaya?"

Kafka terkekeh geli. "Emangnya gue buaya, ya?" tanyanya. "Gara-gara gue terlalu baik? Loh, gue 'kan emang baik sama semua orang. Lagian juga, buaya itu hewan setia, loh."

Nafeesa berdecak pelan. Tangan yang awalnya memegang pulpen langsung diletakkannya. Rasa bosan yang sedari tadi mendera memicu dirinya untuk melanjutkan obrolan tidak jelas mereka.

"Termasuk baik ke gue?"

Kafka tersenyum lebar. Ia menopang kepala dengan sebelah tangan. Manik cerahnya yang berbinar tampak menatap Nafeesa dengan lembut.

"Gue udah bilang kalau gue baik ke semuanya," terangnya. Ia menarik napas panjang, lalu kembali menegakkan tubuh. "Lagian juga, gue nggak bisa bedain orang lain. Semuanya sama di mata gue. Nggak jelas. Nggak bisa gue deskripsiin. Bahkan, mau secakep apapun orang itu. Kalau udah gitu, kenapa gue harus milih-milih buat jadi baik?"

Kafka tertawa pelan karena ucapannya sendiri. Jemarinya mengetuk permukaan meja. Tak lama, senyum yang selalu ada di bibirnya memudar.

"Kenapa?" tanya Nafeesa heran begitu ia melihat perbedaan signifikan pada Kafka. Kepalanya sedikit dimiringkan ke kiri.

"Kosong," jawab Kafka singkat. "Rasanya nggak enak, ya?"

"'Kan, ada gue," balas Nafeesa pelan. Ia menepuk pundak Kafka dua kali. "Apa yang lo rasain sekarang?"

Kafka menggeleng pelan. Suara penutupan dari temannya yang melakukan presentasi terdengar. Ia ingin fokus, tapi lagi-lagi perhatiannya teralihkan.

"Gue itu benar ada nggak, sih, di dunia ini?" Berucap pelan, Kafka menunduk. Kedua tangannya saling menggenggam. "Apa sebenarnya gue nggak pernah ada?"

"Kalau lo nggak ada, yang lagi duduk di sini siapa?"

Kafka diam, menggeleng, lalu menelungkupkan kepalanya di atas meja. Walau dapat mengundang perhatian dari dosennya, tapi Kafka tidak peduli. Ia menghela napas panjang yang terasa berat.

"Jangan ke mana-mana, ya?" Kafka lagi-lagi berucap pelan. Ia mengangkat kepalanya.

"Nggak janji."

Cahaya pada kedua bola mata Kafka memudar. "Kenapa?"

"Lo bahkan nggak bisa janji buat nggak nyakitin diri sendiri." Nafeesa menarik lengan Kafka. "Mana lo nggak pakai lengan panjang. Keliatan banget. Ini kapan? Semalam? Perasaan kemarin nggak ada."

Kafka kembali menarik lengannya. Diusapnya perlahan, tepat pada luka goresan di sana. "Iya. Gue cuma pengin ngerasain sakitnya aja. Nggak ada masalah, kok."

"Nggak ada masalah apanya?!" Nafeesa berseru, yang langsung membuat seisi kelas menoleh padanya.

"Tidak ada masalah apa, Mbak Nafeesa?" Bu Erna yang awalnya sedang menulis di kertas, langsung bertanya. Suasana yang awalnya sudah tidak kondusif, langsung menjadi lebih tenang. "Ada masalah? Atau Anda ingin keluar dari kelas saya?"

Nafeesa berdecak pelan. Ditatapnya Kafka dengan tatapan tajam. "Tidak ada, Bu," jawabnya.

"Kalau begitu, harap tenang. Atau Anda mau saya beri nilai E saja untuk penilaian sikap?"

"Maaf, Bu."

"Jangan diulangi lagi."

Nafeesa menunduk. "Iya, Bu. Maaf."

"Maafin gue, ya?" Kafka berujar pelan. Posisi tubuhnya menghadap lurus ke depan. Tangannya yang terkepal perlahan mulai membuka. "Gara-gara gue, ya. Maaf."

Nafeesa mengusap wajahnya. Kalau sudah berkaitan dengan laki-laki di sebelah ini, ia bisa saja lepas kendali seperti tadi. Pasalnya, ucapan Kafka kadang mengerikan dan Nafeesa tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Nggak usah ngomong aneh-aneh lagi."

Kafka mengangguk pelan. Walau tidak ada lengkungan di bibirnya, tapi Nafeesa tahu bahwa Kafka tidak akan berbicara macam-macam lagi. Paling tidak, sampai jam mata kuliah selesai.

[To be continued]

A/n

Lama tyda menyapa.

Apa kabar semuanyaaa?

Baik 'kan? Pasti baik, dong.

Aduh, hambar.

Canggung.

KelabuWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu