Bagian 7

3.7K 413 19
                                    

Kafka menatap pantulan dirinya dicermin, walau pada akhirnya tidak dapat mengidentifikasi siapa yang sedang berdiri di sana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kafka menatap pantulan dirinya dicermin, walau pada akhirnya tidak dapat mengidentifikasi siapa yang sedang berdiri di sana. Hingga pada akhirnya memutuskan untuk menunduk, menatap jemarinya yang tampak lebih pucat.

Apa itu benar dirinya?

Apa memang benar kalau ia yang sedang berdiri di sana?

Atau jangan-jangan selama ini Kafka tidak pernah benar-benar ada?

Kafka mengerang pelan, mengutuk dirinya sendiri yang mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Tangan yang terkepal di atas wastafel perlahan mengendur. Kemudian, ia buka keran hingga derasnya aliran air menutupi suara deru napasnya yang terasa berat.

"Hari ini lo aneh."

Suara yang familiar di telinga Kafka terdengar, lantas membuatnya mematikan keran dan menoleh. Tangannya yang agak lembap mengusap sudut matanya sendiri. Sebisa mungkin, ia mengulas senyum tipis.

"Kak Semesta ngapain di sini?"

Semesta merotasikan kedua bola matanya. Ia berdiri tepat di sebelah Kafka, lalu menyalakan keran. "Ini toilet. Menurut lo, gue mau ngapain?"

"Berburu hantu?"

"Iya, itu bisa juga." Semesta tidak menyangkal sama sekali. Lirikannya menatap jelas ke wajah Kafka. Laki-laki itu tampak lebih tidak bercahaya daripada biasanya. "Nafeesa nyari lo. Katanya, lo ke toilet tapi nggak balik-balik. Di-chat juga nggak dibalas."

"Oh?" Kafka meraih ponsel yang ada di dalam saku celananya dan mengecek notifikasi yang masuk. Ada banyak pesan, tapi isinya sama. Kebanyakan mempertanyakan kenapa Kafka tidak juga kembali.

"Lo berdua pacaran, ya?" Semesta bertanya heran. Meski biasanya tidak peduli dengan hal yang satu itu, tapi kali ini rasanya berbeda. Kalau memang tidak ada hubungan khusus, kenapa harus peduli berlebihan?

Kafka lantas menggeleng. Ia kembali menyimpan ponselnya dan duduk di atas wastafel. Tangannya yang dingin saling menggenggam.

"Enggak, gue nggak suka sama dia, kok."

Kelopak mata Semesta sedikit melebar. "Woah. Jujurnya jangan terlalu. Nyakitin banget."

Mendengar itu, Kafka lantas tertawa, namun hanya sesaat. Karena kemudian, ekspresinya kembali tidak terbaca. Manik indahnya tampak kosong, tidak bernyawa.

"Kak, gue boleh nanya?" Kafka menelan salivanya susah payah. Berkali-kali ia mengubah posisinya, tapi kenyamanan tidak juga ditemukannya.

"Enggak," jawab Semesta cepat. "Gue nggak suka lama-lama di toilet. Banyak penunggunya. Lagian juga, gue ditungguin sama Daffa. Dia minta diajarin soal triage."

Kafka terkekeh sesaat. Namun begitu, Semesta tidak dapat menemukan emosi terselip di sana. Semuanya terasa hambar. Bahkan ekspresinya, senyum di bibir seolah tidak bermakna sama sekali.

KelabuWhere stories live. Discover now