Bagian 47

1.5K 218 24
                                    

"Mungkin dia memang sudah tidak mencintaiku lagi

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

"Mungkin dia memang sudah tidak mencintaiku lagi." Kafka kembali mengulang kalimat yang dibacanya tadi. "Ayah tahu, aku baca itu di jurnal punya Bunda. Ditulis satu bulan sebelum Bunda mutusin buat nyerah."

Azri terhenyak. Ponsel yang barusan ada di genggaman tangannya langsung meluncur jatuh, menghantam lantai yang untungnya dilapisi karpet tebal. "Kamu ... buka jurnal punya Bunda?" Azri bertanya. "Bukannya Ayah udah bilang kalau kamu nggak bisa seenaknya buka jurnal Bunda?"

"Kenapa emangnya?" Kafka balik bertanya. Ia yang awalnya fokus pada kentang goreng di atas meja langsung membalik tubuh.

"Kamu tahu sendiri kalau kamu gampang ke-trigger sama masalah itu. Kenapa sekarang malah buka-buka jurnal Bunda yang jelas-jelas isinya privasi?"

Kafka tertawa pelan. Alasan ayahnya tidak masuk akal baginya. Sudah sepuluh tahun berlalu, dan hal itu bukan menjadi masalah besar bagi Kafka. Ia sudah dapat menerima semuanya.

"Dia yang dimaksud Bunda ... itu siapa, Yah?" Kafka kembali bertanya. Suaranya terdengar lirih. Ia tidak mengalihkan pandangannya sama sekali. Kedua manik matanya yang biasa terlihat teduh kini penuh tanda tanya. "Bunda berkali-kali nulis kalimat yang sama. Semuanya merujuk ke satu konklusi. Dia yang Bunda maksud itu yang nyebabin Bunda bunuh diri 'kan?"

"Ayah nggak tahu apa maksud kamu. Selama ini, Ayah nggak pernah buka jurnal punya Bunda," balas Azri. Ia mengambil ponselnya dan meletakkannya di atas meja. "Kalaupun kamu tahu siapa yang Bunda maksud, bukannya semuanya percuma? Bunda nggak akan pernah kembali lagi."

"Ya." Kafka memang tidak bisa memungkiri hal tersebut. "Ayah nggak salah. Bunda emang nggak akan bisa hidup lagi."

Azri kira, Kafka akan berhenti sampai di sana. Tapi, nyatanya tidak. Putranya itu tidak lantas memutus kontak mata.

"Apa ... Ayah selama ini tahu soal itu?" Kafka tiba-tiba melanjutkan. "Sejelek-jeleknya hal yang aku pikirin, aku nggak bisa dapatin jawaban kalau Bunda punya orang lain selain Ayah. Kenapa, ya?"

Azri menyesap tehnya yang mulai dingin. Ia melirik Kafka, tapi hanya sesaat. "Ayah juga nggak tahu," balasnya singkat. "Bisa kamu berhenti ngomongin masalah itu? Bunda udah tenang dan kita nggak perlu ngungkit masa lalunya."

"Ayah aneh, ya? Aku cuma nanya sedikit. Siapa tahu Ayah tahu 'kan?" Kafka tertawa pelan. "Mungkin Bunda punya banyak rahasia, Ayah juga. Aku nggak bisa maksa Ayah buat cerita, apalagi Bunda."

Kafka pada akhirnya bangkit. Diliriknya Azri sekali lagi sebelum pada akhirnya ia berderap menjauh. Ia memang tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Azri, tapi Kafka bisa menangkap nada suara yang dilontarkannya.

"Oh, ya." Kafka berhenti berjalan dan membalik tubuhnya. "Mau baca jurnal Bunda bareng-bareng? Siapa tahu Ayah tahu maksud Bunda siapa. Dan Ayah juga bisa ngerasain apa yang Bunda rasain di hari-hari terakhirnya."

KelabuKde žijí příběhy. Začni objevovat