Bagian 54

1.4K 197 38
                                    

Kafka merasa seperti berada di dunia ini seorang diri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kafka merasa seperti berada di dunia ini seorang diri. Ia berdiri di balkon, menatap ke arah taman yang berada tidak jauh dari rumahnya. Kafka pernah berada di situ seorang diri malam-malam, lalu Semesta datang.

Kali ini, tidak ada yang menghampiri Kafka sama sekali.

Embusan angin yang terasa dingin di permukaan epidermisnya membuat Kafka mengernyit. Ia terpejam, namun hanya sesaat sebelum akhirnya membalik tubuh. Sejak tadi berpikir sendirian, Kafka pada akhirnya menemukan titik akhirnya.

Hingga kini, Kafka berada di hadapan Azri. Menatap ke bawah sebelum kembali menatap sang ayah. Kedua tangannya yang dingin saling menggenggam. Kafka sebenarnya tidak tahu bagaimana reaksi yang akan timbul setelahnya, namun ia tidak peduli lagi. Kafka hanya ingin menyampaikan semuanya.

Sedetik kemudian, bibirnya terbuka. Kalimat yang tertahan keluar begitu saja.

"Ayah, maaf." Kafka menarik napas panjang sesaat. "Kayaknya ... aku belum siap buat terima Tante Sasi lagi."

Azri tampak terkejut dengan pernyataan Kafka. Ia hampir bangkit dari tempat tidur, namun malah berakhir hanya mencengkeram selimut. Kafka tiba-tiba mengutarakan perasaannya.

"Maaf banget, Yah. Aku bukannya berusaha buat ngehalangin kebahagiaan Ayah cuma buat Bunda yang jelas-jelas udah nggak ada." Kafka melanjutkan. Suaranya seperti ditahan dna berusaha keras untuk dikeluarkan. "Aku cuma ... ngerasa nggak adil."

"Nggak adil?" Azri bergumam pelan.

"Maaf banget kalau aku bilang gini, Yah." Kafka menunduk dalam. Kali ini, ua enggan menatap wajah Azri. Manik matanya dipenuhi ketakutan. "Pas dulu Ayah lakuin itu ... apa Ayah pernah mikirin kebahagiaan Bunda? Apa karena Ayah nggak pernah cinta sama Bunda, jadi Ayah nggak peduli?"

Suara Kafka bergetar. Kedua maniknya terasa panas. Sekali saja ia mengerjap, dapat dipastikan setetes cairan akan mengalir dari sudutnya.

"Aku kecewa, Yah. Kalau boleh aku bilang, aku nggak peduli kalau Tante Sasi itu kebahagiaan Ayah." Kedua tangan Kafka mengepal hingga buku jarinya memutih. Wajahnya yang pucat tampak memerah malam ini. Ia sudah siap jika tiba-tiba Azri melayangkan pukulan ke mulutnya yang sudah bicara tidak sopan. Kafka tidak peduli lagi jika ia diusir dari rumah malam ini. Kafka bisa pergi ke manapun.

"Aku marah karena kematian Bunda ternyata karena Ayah. Apa Ayah tahu gimana kata orang-orang di belakang?" lanjut Kafka, walau untuk bicara rasanya sangat sulit saat ini. Senyum miringnya terukir. "Kenapa Bunda bunuh diri? Apa Bunda kurang ibadah? Padahal, suaminya orang yang baik dan mau nerima Bunda."

Kafka tertawa pelan. "Katanya, Ayah baik banget, loh. Nggak ada yang tahu kalau Bunda bisa akhirin hidupnya karena Ayah. Yang orang-orang tahu cuma Ayah orang yang baik, orang yang mau nemenin istrinya yang punya masalah mental, dan kematian Bunda karena salahnya sendiri. Karena Bunda kurang ibadah."

Lutut Kafka bergetar. Tangan Kafka yang sempat berada di sisi tubuh, kini menumpu dirinya. Detak jantungnya makin cepat hingga ia dapat merasakannya dadanya berdebar kuat. Kafka tidak bisa menahan emosinya sendiri.

"Sebenarnya, apa yang kurang dari Bunda? Kalaupun Bunda emang punya kekurangan, apa boleh Ayah perlakuin Bunda kayak gitu?" Napas Kafka memburu. Jangan tanya bagaimana ekspresi Kafka saat ini. Mungkin setelahnya Kafka bukan hanya diusir, tapi juga dibawa ke rumah sakit jiwa.

Sebelum kedua kaki Kafka benar-benar melemah, Azri secepat kilat bangkit dan meraih tubuh sang putra. Ia menarik Kafka ke dalam rengkuhan hangat yang penuh dengan penyesalan. Sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi Kafka masih mengingat detail ketika ia menemukan bundanya, orang yang disayanginya, tergeletak tak bernyawa.

Kafka mungkin tidak bisa mengingat wajah sang bunda, tapi ada banyak hal lain yang terpatri dalam ingatan Kafka. Benar apa Kafka. Bahkan, dengan segala kekurangan yang dimiliki, Linda masih dapat menjadi ibu yang baik untuk anak satu-satunya itu.

Air mata Kafka mengalir begitu saja. Kedua tangan yang terkepal tertahan di sisi tubuh. Meski begitu, Kafka tidak memberontak sama sekali. Berhari-hari berusaha menahan, lama-kelamaan ia tidak mampu lagi.

"Maaf ... aku bukan anak yang baik. Kehadiranku cuma jadi beban buat Ayah sama Bunda. Aku nggak bisa jadi anak yang berguna buat Ayah. Sampai sekarang ...." Kafka berucap lirih. Tubuhnya terasa lemas, hingga berdiri saja rasanya tidak sanggup. Tuntutan kuliah dan masalah yang selama ini dipendamnya sendiri memperparah kondisi Kafka.

"Maaf karena usaha aku nggak pernah berhasil. Aku cuma berusaha buat ngeringanin beban Ayah, tapi aku selalu gagal." Kedua kelopak mata Kafka terpejam. Kalau bisa, ia tidak ingin kembali membuka mata. Andai boleh, Kafka ingin bertemu dengan bundanya lagi. "Aku mau coba—"

"Jangan." Azri memotong cepat, setelah sejak tadi lidahnya terasa kelu. Pelukan Azri mengerat, seolah tidak ingin melepaskan buah hatinya tersebut. Ia mungkin tidak pantas bagi Kafka, namun Azri tidak peduli.

"Maaf karena Ayah egois. Maaf karena kesalahan Ayah, kamu jadi kehilangan Bunda." Azri membalas. "Kamu juga salah satu kebahagiaan Ayah dan Ayah nggak mungkin lepasin kamu gitu aja. Biar Ayah lepas Tante Sasi, asal kamu nggak ke mana-mana. Tolong ... jangan susul Bunda secepat ini."

Kafka diam, tidak berkutik sama sekali. Kepalan tangannya mengendur. Di kalimat terakhir yang Azri ucapkan, Kafka mengulas senyum tipis. Tubuh Kafka makin lemah, bersamaan dengan emosinya yang menurun. Helaan napasnya melambat.

Lalu, kedua kelopak matanya mulai menutup. Membawa sinar di manik hijaunya. Tapi setidaknya, untuk saat ini, Kafka tidak ingin menyusul Bunda.

Karena ada satu orang lagi yang ingin dibahagiakannya.

[To be continued]

A/n

Doh, mulai dramanya muncul awokwokwokwok. Tapi aku lebih emosional pas ngetik ini dibanding pas ngomel ngomel atau pas reveal masa lalunya Azri ehe. Mon maap

Maap banget.

Azri tuh baik, serius deh. Sebagai seorang ayah dia suportif banget. Tapi kesalahannya juga fatal banget anjai. Malah kena hujat sana sini

Fyi, sebenernya ada yang pernah ngelamar Kelabu. Cuma gimana ye awokwowkwok

Tapi jujur. Jujur bangeeet. Hidup di dunia wp bertahun tahun sama kamu semua, aku sering curhat masalah tugas, dan boom! Tiba tiba sekarang waktunya aku lulus kuliah. Kamu semua udah kayak penonton drama hidup aku juga. Sayang. Sayaaaang banget

KelabuWhere stories live. Discover now