Bagian 45

1.5K 216 30
                                    

"Kamu udah bisa nyuntik vit K sama kasih salep mata, belum?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kamu udah bisa nyuntik vit K sama kasih salep mata, belum?"

Kafka kira, ia hanya akan menjadi pajangan yang berdiri di sebelah ranjang. Walau tangannya yang mengenakan handscoon sudah penuh darah, tapi harus Kafka akui ia belum melakukan apapun yang berarti sejak tadi. Hanya sekali ketika tiba-tiba semburan darah membuatnya mundur selangkah dan mengotori lantai, Kafka diperintahkan untuk mengepel genangan darah di bawah.

"Bisa, Kak!" jawab Kafka semangat. Ia sudah mengganti handscoon-nya. Ia meraih vitamin K yang diletakkan di dekat bayi berjenis kelamin laki-laki dengan berat 2800 gram tersebut. Tangannya memegang kaki kiri bayi tersebut.

"Kalau udah, kasih salep matanya, benerin bedongnya juga sekalian, ya."

"Iya, Kak."

"Sekalian, deh. Kalau nanti plasentanya udah lahir, kamu observasi tanda vital ibunya, ya. Teman kamu yang cewek suruh observasi perdarahannya. Bisa 'kan?"

Waduh ....

Kafka mengangguk pelan, mencatat setiap tugas yang harus dikerjakannya di buku kecil yang selalu ada di dalam kantung seragamnya. Hal ini adalah sesuatu yang wajar terjadi. Berhubung ia adalah mahasiswa yang masih mencari ilmu dan kesannya hanya menumpang mencari pengalaman di sebuah ruangan. Mau tidak mau, suka tidak suka, Kafka harus mematuhi segalanya.

Suara tangis dari bayi yang barusan diberi suntik vitamin K. Hanya sedikit, tapi efeknya penting untuk menjaga agar bayi baru lahir tidak mengalami perdarahan. Tangan Kafka perlahan menepuk dada bayi mungil tersebut. Perlahan, hingga tangisnya kemudian mereda tepat setelah Kafka selesai memberinya salep mata.

"Kamu terlahir di dunia yang kejam." Kafka terkikik geli karena ucapannya sendiri. Ia merapikan bedungnya. "Kuat-kuat, ya, Dek. Demi bunda kamu, demi ayah kamu. Kamu bakal jadi anak yang hebat suatu hari nanti."

Perlahan, Kafka mengusap rambutnya yang lebat. Sedikit meringis karena ukuran tangannya yang lebih besar dari kepala si bayi. Untuk sejenak membayangkan apa dirinya dahulu sekecil ini.

"Jangan kayak aku, ya. Kalah sama banyak hal. Janji sama aku, oke?"

•••

Maternitas menyusahkan!

Kafka tidak menyangka kalau hari pertamanya akan seberat ini. Maksudnya, bagaimana bisa ada dua orang yang melahirkan di jam yang hampir sama, lalu bed IGD terus diisi pasien ketika Kafka sedang berjaga di sana? Jangan lupakan jam makan siangnya yang terlewat karena kantin yang ramai dan Kafka tidak dapat duduk sama sekali. Oh, plus baju putihnya yang secara tidak sengaja terkena semburan ketuban dan darah, hingga ketika Kafka sampai ke rumah, ia harus langsung mencucinya.

Tanpa alat.

Ketika merasa semua tugasnya sudah selesai, Kafka langsung masuk ke kamar dan menyalakan AC. Kafka melompat ke atas kasur, merasakan kenyamanan ketika ia mengusap permukaannya. Nyeri di kedua kaki Kafka mulai berkurang.

"Masih ada sebelas hari lagi pula," keluh Kafka. "Laper. Enaknya makan apa, ya?"

Kafka kembali mendudukkan tubuhnya. Ia menggaruk kulit kepalanya yang sedikit gatal, lalu beranjak dari kenyamanan kasur.

"Kalau ada Bunda enak kali, ya. Pulang udah ada yang nyiapin makanan, nggak perlu bingung mau makan apa." Kafka melanjutkan monolognya. Membayangkan ketika dahulu bundanya masih ada mungkin akan cukup membuat harinya makin buruk. Jadi, Kafka memutuskan untuk memikirkan ayam goreng pedas, kentang goreng, dan es krim. Setidaknya, sedihnya jadi berkurang dan Kafka bisa memutuskan menu makan siangnya hari ini.

Memikirkan kalau setalah ini Kafka tidak akan memikirkan mau makan apa sendirian membuatnya merasa senang. Langkahnya yang sedari tadi lebar kini makin cepat. Sesekali, ia melompati garis di lantai.

"Maaf karena aku ngerasa senang, Bun. Tapi aku nggak sabar buat punya keluarga baru lagi." Binar terlihat di kedua mata Kafka ketika ia memperhatikan foto bundanya. Meski tidak tahu betul bagaimana parasnya, tapi Kafka dapat merasakan kehangatan di sana. Itu benar-benar foto bundanya. "Aku nggak akan sendirian lagi kalau Ayah kerja. Tiap pagi bakal ada yang masakin aku. Aku ... bakal punya lagi seseorang yang bisa aku panggil dengan sebutan 'Bunda'."

Kafka mungkin tidak ahli untuk mengekspresikan perasaannya, tapi apa yang ia ucapkan valid adanya.

"Oh, iya ngisi jurnal buat hari ini." Kafka bergumam, menepuk keningnya perlahan sebelum membuka laci meja tempatnya biasa menyimpan jurnal. Sudah ada banyak buku di sana, termasuk milik bundanya. Semua masih tersimpan rapi, menjadi kenangan yang mengingatkan Kafka tentang kematian bunda yang mengejutkan.

Selama bertahun-tahun, Kafka tidak pernah membuka jurnal-jurnal milik bunda. Tapi, kali ini, ada satu dorongan yang membuat Kafka mengambil jurnal terakhir yang bunda tulis. Bersampul cokelat dengan nama lengkapnya tertulis dengan rapi. 

Senyum Kafka terbit ketika membuka jurnal tersebut. Sebuah foto menjadi pembuka di halaman pertama. Tangan Kafka mengusapnya, menebak-nebak siapa foto yang ada di sana.

Halaman demi halaman dibukanya, hingga kalimat berikutnya membuat Kafka untuk sementara berhenti bergerak. Jemari yang hendak membalik halaman mendadak membeku.

Tolong tetap hidup, demi Kafka.

Kafka sadari bahwa selama ini bundanya selalu menahan diri. Walau Kafka tidak tahu apa alasannya memilih untuk menyerah di akhir. Selalu, Kafka berusaha mengira seberapa berat beban yang harus ditanggung oleh bundanya seorang diri.

Dia mengulanginya lagi.

Kafka mengernyit. Ia tidak mengerti dengan apa yang bundanya tulis. Dia? Dia siapa yang dimaksud?

Dia mengulanginya lagi.

Dia mengulanginya lagi.

Dia mengulanginya lagi.

Dia mengulanginya lagi.

Kafka, maaf.

Lalu, halaman selanjutnya hanya berupa kertas kosong.

•to be continued•

A/n

Ehehehehehehehe (2)

KelabuWhere stories live. Discover now