Bagian 43

1.5K 232 29
                                    

Kadang, Kafka ingin menghilangkan eksistensinya untuk sejenak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kadang, Kafka ingin menghilangkan eksistensinya untuk sejenak. Kalau dipikir-pikir lagi, sudah lama sejak terakhir kali ia berpikir untuk menyatu dengan tanah. Setidaknya, sudah beberapa bulan.

Ayahnya mungkin tidak perlu khawatir lagi. Kemungkinan Kafka untuk mencoba mengakhiri hidupnya perlahan mulai menurun. Dokter Zara juga mungkin harus memberinya hadiah selamat karena berhasil melewati beberapa waktu ke belakang dengan aman. Walau masih harus dipantau, paling tidak suara-suara itu tidak lagi muncul, mengganggunya, atau menyuruhnya memotong nadi.

"Nanti pas acara aku mau makan yang banyak. Semua stand aku datangin. Biar aja yang lain nggak kebagian."

Itu Semesta, yang tiba-tiba bersikap lebih manja pada bundanya. Kafka lantas tertawa pelan, namun tatapan Semesta membuatnya berhenti. Seolah menyadari keberadaan laki-laki bernetra cerah tersebut, Semesta berdeham.

"Kafka, tahu nggak, Semesta 'kan sebenarnya manja juga. Apalagi kalau udah menyangkut soal makanan." Sashi tiba-tiba berujar. Keberadaan laki-laki itu mungkin semu, namun Kafka tidak apa-apa. Toh, ia memang hanya orang asing yang tiba-tiba masuk ke keluarga kecil tersebut.

"Kafka lebih-lebih, loh, kalau soal makanan," balas Semesta. "Apalagi ... apa itu? Es teh blender pakai susu?"

Kedua mata Kafka mendadak berbinar. Salah satu minuman murah yang suka dipesannya di kantin. "Kak, lo harus coba." Kafka mendadak jadi lebih semangat. "Rasanya enak, loh."

"Selera lo aneh."

Kafka membuat wajah tersakiti secara hiperbolis. Tangannya perlahan meraih dadanya, mencengkeramnya seolah amat tersakiti. "Tapi, enak," ucap Kafka lagi. Opininya mengenai minuman murah di kantin yang sudah menemaninya sejak awal perkuliahan tidak bisa dipatahkan begitu saja.

"Ya, terserah." Semesta pada akhirnya menyerah. Malas untuk melanjutkan pembicaraan yang mungkin tidak akan pernah ada titik terangnya. "Besok lo dinas 'kan? Udah nyiapin LP?"

Kafka mengangguk pelan. Hari Minggu adalah salah satu hari untuk bersantai. Ia sudah menyelesaikan tugasnya sejak semalam. Makanya, ketika Sasi mengajaknya untuk keluar menikmati akhir minggu, Kafka mengiyakan.

"Udah, sih. Gue cuma nebak aja kira-kira kasus yang ada di ruang nifas apaan aja."

Semesta mengangguk. Tidak bisa ia mungkiri kalau Kafka adalah anak yang pintar. Konsisten akan jadwal yang dibuatnya juga lantas membuat Semesta kagum. Mungkin, Semesta tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kafka.

"Tapi, agak nekat kayaknya. Gue ambil cephalopelvic disproportion. Bakal sebanyak apa pasien CPD, ya?" Kafka lanjut berbicara. "Awalnya gue kepikiran ngambil KPD atau PEB, tapi teman sekelompok gue udah ambil duluan."

"Mungkin lo bisa ambil—"

"Kak, apa nggak masalah ngomongin ini?" Kafka memotong ucapan Semesta. Laki-laki itu menatap Semesta dalam-dalam. Walau tidak tahu bagaimana ekspresi Semesta saat ini, tapi Kafka merasa ada yang janggal dengan nada suara Semesta.

"Nggak masalah." Semesta berusaha menyunggingkan senyum. Untung Kafka tidak bisa melihat bagaimana ekapresinya saat ini. Prosopagnosianya menguntungkan Semesta saat ini.

Nyatanya, Semesta tidak baik-baik saja. Pikirannya sejak dulu hanya satu. Ia ingin lulus tepat waktu dan tanpa hambatan. Ia tidak ingin lebih lama lagi menjadi beban untuk Sasi. Tapi, nyatanya harapan sederhananya dihancurkan begitu saja.

Sebenarnya Semesta masih bisa mengikuti perkuliahan, tapi Sasi juga memintanya untuk beristirahat dahulu. Rasa khawatirnya jauh lebih tinggi ketika Semesta berkata bahwa kedua kakinya tidak bisa menopang dirinya, sesak mulai beberapa kali muncul, dan kedua tangannya tidak mampu untuk menggenggam.

"Lo bisa ambil kelahiran preterm. Berhubung lo di ruang nifas rumah sakit, bakal ada banyak pasien yang melahirkan kurang bulan." Semesta melanjutkan kalimatnya yang terputus. "Gue agak lupa kalau Maternitas. Rasanya ilmu gue kayak anak tingkat satu."

Kafka mengernyit. Keningnya berkerut ketika mendengar ucapan Semesta. "Tapi, tingkat satu nggak ada Maternitas 'kan?"

"Exactly."

Sedikit, Kafka mengerti. Senyumnya mengembang tipis. Semesta mungkin berbohong dengan jawabannya barusan, namun Kafka tidak bisa memaksa Semesta untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Menurutnya, kadang berbohong tidak terlalu buruk juga.

"Gue nggak sabar mau gendong bayi-bayi lucu yang usianya kurang dari sehari."

Semesta berdeham pelan. "Mau lo apain?"

"Mau gue cubitin sampai nangis!" jawab Kafka semangat. Tangannya mengepal, lalu diangkat ke udara. Senyumnya tampak lebar dan binar terlihat di manik matanya. Kafka benar-benar serius dengan ucapannya.

Senyum Semesta ikut terbit. Semangat Kafka malah membuatnya geli sendiri. Laki-laki itu kadang terlampau serius, tapi kalau dibandingkan dengan Semesta ... rasanya jauh berbeda.

Setelah ini Semesta harus mensyukuri keberadaan Kafka.

•To be continued•

Note

Cephalopelvic disproportion (CPD): Kondisi di mana ukuran kepala bayi lebih besar dibandingkan ukuran panggul ibu.

KPD: Ketuban Pecah Dini.

PEB: Preeklampsia Berat, kondisi tekanan darah ibu tinggi saat kehamilan.

Preterm: Kelahiran kurang bulan.

•••

A/n

Agak capek dinas maternitas tapi seru banget ngebantu ibu melahirkan, bayi baru lahir, dan lain-lainnya

KelabuWhere stories live. Discover now