Bukan Kafka yang menyebarkan berita mengenai kematian Semesta, tetapi kepala program studi mereka.
Hampir seluruh ponsel yang ada di kelas bergetar, membuat si pemilik melirik, di tengah-tengah mata kuliah yang dibawakan oleh Bu Mira. Lalu, keheningan menyergap. Hawa ruangan berubah, bahkan beberapanya sempat menahan napas sejenak.
Suasana kelas mendadak tidak kondusif, namun hampir seluruh penghuninya mematung. Tidak ada yang bergerak, bahkan Bu Mira yang baru saja membaca pesan tersebut. Tak lama, masing-masing menolehkan kepala ke teman di sebelahnya, lalu beralih mencari keberadaan Kafka.
"Hah ... Semesta?" Daffa yang pertama kali bersuara. Sebagai minoritas di kelasnya, tentu saja ia menjadi dekat dengan Semesta. Baru tadi pagi pula Daffa menanyakan keadaan Semesta pada Kafka. "Ini ... beneran?"
Tidak ada yang bisa percaya. Bahkan individu yang selama ini hanya berstatus sebagai teman sekelas Semesta. Padahal, Semesta sudah berjanji akan kembali berkuliah di semester depan.
Seluruhnya percaya.
Terutama Kafka yang saat ini tidak berada di kelas.
•••
Napas Kafka tersengal-sengal. Ia tidak fokus, bahkan setelah keluar dari kelas. Tangannya dingin karena sejak tadi berada di bawah keran air yang menyala.
"Nggak mungkin." Kafka berbisik lirih. Kedua tungkainya terasa lemah, hingga ia hampir terjatuh. Keringat mengalir hingga hampir membasahi tubuh. Mual kemudian kembali, membuat Kafka menunduk dalam.
"Sial, sial, sial!"
Ini semua salahnya, 'kan?
"Kak Semesta ... Bunda, tolong jemput aku sekarang."
YOU ARE READING
Kelabu
General FictionSebenarnya, Semesta tidak masalah kalau bundanya ingin menikah lagi. Namun, satu yang jadi permasalahannya, kenapa yang akan menjadi saudara tirinya malah si Kafka, rivalnya saat masih menjabat sebagai ketua UKM English Club dan orang yang hobi menj...