Bagian 56

1.7K 195 27
                                    

Seperti tebakan Kafka, tidak ada perubahan yang berarti dari gedung kampusnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seperti tebakan Kafka, tidak ada perubahan yang berarti dari gedung kampusnya. Ketika ia berjalan dari parkiran menuju gedung jurusan, Kafka masih dapat melihat refleksi dirinya sendiri. Satu hal yang berbeda, hanya ia sendiri di sana.

Sekiranya pukul delapan pagi ini kondisi lobi jurusan sudah sepi, sayangnya pikiran Kafka terlalu positif. Sejak kapan pula mahasiswa kampusnya sudah duduk anteng di dalam kelas sebelum jam delapan? Masalahnya, Kafka jadi pening sendiri karena kondisi lobi yang terlalu ramai. Beberapa memilih untuk menaiki tangga karena lift yang selalu penuh. Kafka sendiri akhirnya duduk di sofa untuk menunggu situasi menjadi lebih kondusif.

Kalau dipikir-pikir, rasanya sudah lama Kafka tidak berada di kampus, padahal baru terlewati beberapa minggu. Selama itu pula, banyak hal yang sudah dilewatinya. Mulai dari masalahnya ketika melaksanakan praktik klinik dan diakhiri dengan keputusannya terhadap pernikahan sang ayah.

Kafka tidak bermaksud egois. Ia juga tidak bermaksud untuk bersikap kekanakan. Kafka tidak melarang ayahnya untuk kembali jatuh cinta. Hanya ketika bersama Sasi ... ada banyak hal yang mengganggu.

Lima menit berlalu, tapi kerumunan manusia yang menunggu lift tidak juga berkurang. Kafka tenang-tenang saja selama belum ada pesan di grup kelasnya yang menyatakan bahwa dosen sudah menuju kelas. Jadi, Kafka menyandarkan tubuhnya dengan nyaman dan mendongakkan kepala.

Kafka ingin tahu bagaimana raut bahagia orang lain ketika menyapa temannya. Kafka juga ingin tahu ekspresi yang ditampilkan oleh perempuan yang kini berdiri di hadapannya, melambaikan tangan, kemudian duduk di sebelahnya. Ia mengernyit, berusaha untuk menyimpulkan siapa orang yang kini ada di sisinya dan berbicara mengenai keluh kesahnya ketika dinas kemarin.

Sialnya, sekian lama tidak berinteraksi membuat Kafka kehilangan ingatan mengenai teman sekelas yang tidak sekelompok bersamanya. Berusaha untuk mengingat kembali suara mereka, tetapi lobi yang berisik mengganggu fokusnya.

"Terus, lo tahu nggak, sih?" Sebelum menyelesaikan kalimatnya, perempuan itu tertawa. "Daffa diusir dari RB sama ibu-ibu yang mau melahirkan."

Kafka mengulum bibir, menahan senyum ketika pada akhirnya menyadari siapa perempuan yang duduk di sebelahnya. "Terus, gimana, Sin?"

Sinta yang sejak tadi bercerita mengerjap dua kali. "Ya ... akhirnya dia disuruh beli makan, sih. Kasian juga jadi nggak bisa dapat capaian, soalnya besoknya dia dipindahin ke Poli KIA," balas Sinta semangat. "Sebelumnya juga dia nggak dapat partus gara-gara pasien dirujuk terus. Gue doain semoga lahiran di jalan biar dia dapat pengalaman, tetap aja nggak dapat."

Mendengar suara Sinta yang renyah membuat Kafka jadi ingin tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Mungkin satu hari, di mana tiba-tiba ada keajaiban dan ia dapat mengenali wajah semua orang. Sayangnya, sejak dulu keajaiban itu tidak pernah ada dan mungkin selamanya tidak akan pernah hadir.

"Ngomong-ngomong." Sinta mengalihkan pembicaraan. "Semesta gimana kabarnya? Semenjak dia cuti, kelas kita jadi cuma punya dua cowok. Pemandangan orang cakep berkurang."

"Terakhir gue ketemu dia baik-baik aja, sih. Tapi emang udah lumayan lama ... terakhir kalinya." Kafka mengerjap dua kali, lalu tersenyum jahil. "Lagian juga, 'kan masih ada gue."

Kafka bukan tidak bisa melihat ketika Sinta tiba-tiba memperhatikannya. Entah itu dengan tatapan meremehkan, tidak setuju, atau mengejek. Semua sama, tapi efeknya berbeda. Sontak, Kafka melirik ke arah lemari piala dan memundurkan kepalanya terlebih dahulu. Kafka yang memulai, tapi ia yang malu sendiri.

"Kalau nanti lo ketemu Semesta, titip salam, ya," pinta Sinta. Ia nyengir lebar, menampilkan deretan giginya yang tertata rapi. "Bilang dari penggemarnya gitu. Biar dia senang sedikit."

"Hee. Nanti gue bilangin, deh." Kafka menyipitkan kedua kelopak matanya, kemudian mengangguk. Diliriknya kondisi lift yang masih ramai. Bersamaan, ponselnya bergetar beberapa kali. Pesan masuk ke grup kelasnya, membuat beberapa percakapan pribadi yang belum sempat dibalasnya tertumpuk. "By the way, ke kelas, yuk."

•••

Anehnya, Semesta sudah merasa biasa dengan keadaan rumah sakit. Ia mungkin akan diperbolehkan keluar besok atau lusa, tapi Semesta berharap ia bisa pulang hari ini. Masalahnya, Semesta bosan. Apalagi Sasi sering meninggalkannya seorang diri.

Sebagai seorang (mantan) calon tenaga kesehatan, Semesta tidak pernah berpikir ia akan berada di posisi saat ini. Menunggu ajalnya dengan bosan, menonton televisi yang sengaja dinyalakan dan menampilkan gosip terkini, atau memainkan selang infus NaCl-nya yang mulai kotor karena darah memasuki selang beberapa kali.

Kemarin, Semesta sempat berpikir kalau ia tidak akan selama ini di rumah sakit. Seminggu, dua minggu, hingga hampir memasuki minggu ketiga. Keluhan tangan kirinya yang sekarang sulit digerakkan dan beberapa kali mengalami kesulitan bernapas membuat dokter penanggung jawabnya menahan Semesta lebih lama.

Kalau begitu, mungkin ia tidak akan mengeluh apa-apa lagi kemudian.

Ponsel Semesta bergetar panjang. Ia ikut menghela napas sama panjangnya, kemudian diambilnya benda yang tergeletak di atas meja makannya. Sejak kemarin Semesta lihat isinya tidak penting, terutama semenjak ia mengarsipkan grup kelasnya sendiri.

Makanya, Semesta tidak berharap ada pesan dari teman-temannya. Atau mungkin dari orang yang secara sukarela mengunjunginya.

Tapi, lalu secara spontan senyum Semesta terbit. Tangan kanannya menumpu tubuh, hingga ia dapat menaikkan punggung. Binar tampak di kedua matanya yang akhir-akhir ini tampak lebih sayu.

Kafka

Nanti anak kelas ada yang mau datang. Siapin makanan, ya.

•••

Saking bosannya dengan kehidupan, Semesta jadi senang sendiri ketika mengetahui bahwa teman sekelasnya akan datang. Ia berkata ke Sasi untuk membawa beberapa makanan, dan bundanya itu benar-benar membawa satu tas penuh camilan untuk teman-temannya.

Lalu, tepat pukul 16, pintu terbuka. Beberapa orang yang dikenal Semesta masuk ke dalam, menyapanya, lalu duduk di sebelahnya. Bertanya mengenai kabar, tetapi kemudian menyerangnya dengan berbagai hal yang terjadi selama Semesta tidak kuliah.

Semesta senang. Mungkin, setelah ini ia akan mengeluarkan percakapan kelasnya dari arsip. Semesta ingin menjadi salah satu orang yang mengetahui berita terbaru setiap harinya.

Tawa menggema, menghiasi ruangan yang selama ini mati karena kesepian. Semesta ikut tertawa, hingga kemudian ia melupakan perihal tangan kirinya yang tidak dapat bergerak sedikit pun.

•to be continued•

A/n

HUAH long time no see!

Sesuai sama yang aku bilang di pemberitahuan terakhir huhu. Aku lama banget update karena siap siap ke luar, ikut les blablabla. Agak susah buat menyesuaikan karena lesnya setiap hari dari pagi sampe sore anjai. Jam 9 sampai jam 4 sore cuma istirahat di jam 12, dan tiap hari ujian.

Bahkan besok ujian mingguan dan spreeken. Aaaaaargh

So, gimana kabar kamu hari ini? Semoga baik baik aja, oke!

Dag!

KelabuWhere stories live. Discover now