Bagian 36

1.9K 283 35
                                    

Kafka seolah lari dari tanggung jawabnya

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Kafka seolah lari dari tanggung jawabnya. Ia hanya diam, bahkan ketika Semesta terus mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa ia bersikap seperti itu?

"Mau dijelasin juga nggak bakal ngerti."

Begitu berulang-ulang, sebelum akhirnya Kafka memilih tutup mulut. Baginya, tidak ada guna untuk menjawab. Seluruhnya bahkan tidak ada yang bisa mengerti.

Semesta pada akhirnya menyerah. Mau memaksa dengan embel-embel ia tidak akan menyanggah setiap ucapan Kafka juga percuma. Maka, Semesta menepuk pundak laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai adik itu, lalu memilih untuk keluar dari ruangan.

Gagal, ya?

Kafka berdecak ketika suara misterius itu kembali muncul, tepat saat pintu tertutup rapat. Tangan kanannya terangkat, menutup sebelah telinganya. Sementara tubuhnya bergerak cemas, hingga kini posisinya miring ke kiri.

Gimana, sih? Masa, gitu aja nggak bisa. Ini udah kesekian—

"Diam!" Kafka berteriak marah. Permukaan bola mata jernihnya mulai tergenang cairan. Ia terpejam, menciptakan butiran bening di sudut matanya. "Pergi! Pergi sana!"

Ayo, coba lagi. Emangnya, lo nggak mau ketemu sama bunda lo?

Napas Kafka tersenggal. Dadanya terasa nyeri hingga ringisannya perlahan muncul. Suara-suara itu tidak juga hilang, justru makin mengisi ruang yang hanya ia tempati.

"Bunda ... Bunda, tolong aku." Kafka meringkuk, menutupi tubuhnya sendiri dengan selimut. Tidak peduli pada tangannya yang terluka dan darah di infusnya yang mulai menaiki selang. "Bunda ... di mana? Bunda ... aku butuh."

Bundanya tidak akan pernah datang, Kafka tahu satu fakta itu. Tapi, Kafka tidak peduli. Ia tetap memanggil bundanya, berharap salah satu orang yang berharga di hidupnya tersebut datang, lalu memeluknya.

Bahkan, ketika perawat jaga yang awalnya berdiam di nurse station datang, disusul oleh ayahnya yang tergesa memasuki kamar, baru kembali dari istirahatnya, namun langsung mendapati Kafka dalam keadaan tidak stabil. Sebuah pelukan hangat diberikan guna meredam isakan sang putra. Erat, hingga kedua tangan yang kadang terangkat untuk menyakiti dirinya sendiri tidak dapat bergerak.

"Belum waktunya kamu ketemu Bunda," bisik Azri. Ia mengusap punggung Kafka dengan lembut, berusaha menenangkan.

"Semua orang ninggalin aku. Apa aku nggak pantes buat mereka?"

"Enggak. Buktinya Ayah masih di sini. Ayah masih nemenin Kafka. Kafka nggak bakal sendirian." Azri membalas. Tidak berhenti tangannya mengusap punggung putranya tersebut. "Kafka jangan takut. Mau seluruh dunia ninggalin Kafka, tapi Ayah nggak akan pernah lakuin itu."

•••

"Kayaknya ... Kafka begini gara-gara aku."

"Bunda udah bilang berkali-kali, bukan salah kamu."

Semesta memegang sisi cangkir yang terasa panas di genggaman tangannya. Ia mengusap permukaannya, sebelum mengangkatnya. Uap yang tercipta menyentuh wajahnya.

"Kenapa aku pakai ngomong yang enggak-enggak waktu itu?" Semesta menunduk dalam. Tangannya bergetar, hingga pada akhirnya ia kembali meletakkan cangkirnya. Tangan kanan Semesta memegang pergelangan tangan kirinya. Separah apa rasa sakit yang kini Kafka rasakan?

"Besok-besok jangan diulang kalau gitu." Sasi menjulurkan tangannya, mengusap puncak kepala Semesta perlahan. Tidak merasa malu ketika melakukan hal tersebut di tempat umum, padahal yang diberi afeksi rasanya ingin menghilang saja. Walau kondisi kantin rumah sakit tidak terlalu ramai, tapi tetap saja Semesta tidak suka perlakuan Sasi.

Semesta berdecak sesaat. "Aku cuma minta tolong ... buat jaga Bunda," ucap Semesta setelahnya. Netranya bergerak, hingga berhenti tepat di wajah Sasi. Wajah sang bunda tampak memerah. "Cuma itu. Aku nggak bermaksud buat bicara yang lainnya."

"Atas dasar apa?" Sasi menggigit bibir bawahnya. Kedua tangan yang berada di atas meja mengepal. "Kenapa kamu bicara gitu?"

"Cuma jaga-jaga." Semesta menarik napas panjang. Aroma teh yang segar memasuki indra penciumannya. Membuatnya merasa tenang, tapi juga takut untuk melanjutkan kalimatnya. Namun, sorot mata Sasi memaksa Semesta untuk melanjutkan ucapannya. "Siapa tahu aku nggak bisa jaga Bunda lagi ... gitu."

"Jahat." Sasi berujar. "Masa, nggak mau jaga bundanya lagi?"

"Bukan gitu." Semesta membuang pandangannya. Menatap santapan di meja sebelah. "Makan bakso enak kali, ya, Bun."

"Semesta—"

"Aku pesan bakso dulu." Semesta bangkit dari kursinya. Kedua tungkai jenjangnya bergegas. Ia tidak ingin Sasi menanyakan hal lainnya. Maka dari itu, setidaknya untuk sesaat Semesta dapat menghindar.

Sasi menggelengkan kepalanya tidak mengerti. Ia menghela napas panjang, melirik Semesta dari sudut matanya. "Ngaco banget."

•••

Pada akhirnya, Kafka dapat tertidur. Infus yang awalnya tidak sengaja terlepas kini sudah kembali terpasang, dengan proteksi lebih—plester yang dibuat melingkari lengannya. Awalnya, akan dilakukan restrain, tapi Azri berkata bahwa hal itu tidak diperlukan. Setidaknya, jika Kafka tenang, anak itu tidak akan berani macam-macam.

Azri mengabsen setiap jengkal tubuh Kafka. Tangannya lebam di beberapa tempat akibat bekas tusukan. Dadanya naik turun teratur. Setidaknya, ia tahu bahwa putranya kini dalam kondisi yang aman.

"Maaf." Azri bergumam pelan. "Maafin Ayah karena nggak bisa cegah kematian Bunda. Seharusnya Ayah sadar ... iya, 'kan?"

Azri menunduk dalam, menatap kedua tangannya yang saling menggenggam. "Coba aja Ayah nggak main-main pas itu." Azri menarik napas panjang sekali lagi. "Mungkin ... Bunda nggak akan nekat."

Diraihnya tangan Kafka, kemudian digenggamnya dengan erat. "Ayah nggak berani ngomong ke kamu kalau kamu bangun. Maaf." Jemarinya perlahan bergerak, mengusap punggung tangan Kafka. Makin erat, hingga membuat si empunya bergerak gelisah.

"Kenapa, Yah?"

Azri mengerjap, lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak kenapa-napa. Kamu tidur lagi, gih. Masih malam."

Hampir detak jantungnya berhenti ketika mendengar suara Kafka, tapi kemudian Azri dapat mengembuskan napasnya lega saat menyadari bahwa laki-laki itu tidak mendengar ucapannya barusan.

Kafka mengangguk pelan dan kembali memejamkan kedua kelopak matanya. Namun, kerutan samar tampak di keningnya. Menyiratkan tanda tanya yang besar.

Tadi itu ... apa?

[To be continued]

A/n

Makin malam makin ngaco. Mana ini cerita malah panjang banget astaghfirullah

Dan aku harus tidur.

Soalnya besok secara tiba tiba aku diwisuda wkwkwkwk

UCAPIN SELAMAT SINI UCAPIN CEFAAAT

Good night! Selamat istirahat. Have a nice dream!!

KelabuDove le storie prendono vita. Scoprilo ora