Bagian 66

1.2K 165 36
                                    

"Don't say that, Kak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Don't say that, Kak." Kafka bergumam lirih. Di balik masker, ia tahu Semesta tidak akan bisa mendengarnya. Tangan Kafka yang awalnya memegang handrail, lantas meluruh. Ia berdeham, kemudian merapikan selimut yang Semesta gunakan. "Kak, lo harus yakin. Gue dengar, lo tinggal diobservasi sebentar, terus kalau memungkinkan, lo bisa dipindahin ke ruang rawat biasa. Terus ... nggak butuh waktu lama buat lo pulang ke rumah."

"I'm not gonna make it."

"Listen to me." Kafka memotong ucapan Semesta. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Lalu, semuanya seolah berhenti bergerak. Suara dari monitor atau syringe pump yang berbunyi tidak lagi terdengar di telinga Kafka. Namun, mau tidak mau, ia harus menguasai dirinya sendiri.

Kafka berusaha mengembalikan kesadarannya. Kedua matanya menatap monitor yang digunakan oleh Semesta. Tanda vitalnya benar-benar sudah membaik. Bahkan, tidak ada lagi penurunan saturasi oksigen. Walau tidak ada yang bisa menebak, apa otot pernapasannya akan kembali mengalami kelumpuhan atau tidak.

Setidaknya, untuk saat ini, Semesta berhasil melewatinya.

"Gue yakin selama di IGD kemarin, lo dengar ucapan gue." Kafka menekan tombol yang ada di monitor, bermaksud untuk mengukur kembali tekanan darah yang tadi belum sempat dicatatnya.

"Gue udah nerima bunda lo." Ketika monitor berhenti mengukur, Kafka langsung berjalan ke depan meja. Ia mengambil pulpen berwarna yang ada di laci, mencatat angka yang tertera di sana. "Lihat, deh. Bagus ya, hasilnya. Hmm, cuma tekanan darah lo sedikit rendah, sih. Tapi, aman lah."

Semesta menolehkan kepala, menatap bed nomor sepuluh. Ia tidak pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya. Entah menjadi pasien, atau menjadi tenaga di sana. Suara yang didengarnya menjadi menakutkan setiap hari. Beberapa kali ada code blue, bed yang awalnya terisi, kemudian menjadi kosong karena yang menempati berhasil pulang ke rumah, walau dalam keadaan tidak bernyawa. Namun, hanya sebentar, karena kemudian ada lagi yang datang.

Kondisinya beragam, sampai ketika Semesta mendengarkan handover saat pergantian shift, rasanya ia rindu dengan kegiatan yang sering dilakukannya dahulu. Ada banyak yang belum pernah ia tahu sebelumnya. Seperti pada pasien di sebelah kirinya, yang ngomong-ngomong sudah berada di sini sejak satu bulan yang lalu.

Semesta sempat mendengar diagnosisnya; gagal napas, penurunan kesadaran, ensefalopati, stroke berulang, hipertensi, diabetes melitus, dan riwayat kejang. Rasanya, Semesta ingin bangkit dan melihat kondisinya secara langsung. Semesta masih ingin belajar, ada banyak yang belum diketahuinya.

Lalu, tepat di jam dua malam, Semesta kembali terbangun karena gaduh. Ketika ia benar-benar sadar dengan kondisi malam itu, bed sebelah sudah kosong. Hanya bersisa selimut yang belum dirapikan.

Semesta seperti menghitung waktu mundur. Seolah ia tinggal menunggu detik-detik terakhirnya. Bukannya semakin yakin untuk bisa keluar dari sini dalam keadaan bernyawa, Semesta malah semakin pesimis.

Apa setelah ini adalah gilirannya?

"Kalau lo udah nggak yakin lagi ...." Suara Kafka kembali menyadarkan Semesta. Menariknya pada waktu kini. Ia berusaha melihat Kafka yang berada di balik meja. Walau kemudian, menyerah karena kepalanya terasa pening. Ia belum dapat berdiri sejak kemarin, sampai Semesta mengira ia tidak lagi memiliki kaki. "Boleh gue minta satu hal?"

Alis Semesta tertaut. Mulutnya terbuka, bermaksud untuk mengucapkan kata "apa". Semesta kembali bergerak gelisah saat merasakan rasa tidak nyaman di tenggorokannya. Ia ingin tidur, tapi tidak bisa. Riuh mengganggu pendengarannya.

"Tolong temenin bunda lo sebentar lagi. Sampai dia benar-benar meraih kebahagiaannya."

Semesta tidak bisa yakin. Rasa takut mengalahkan segalanya.

Kemudian, sosok Kafka sudah tidak terlihat lagi di pandangannya. Mungkin, ia beralih pada pasien lain, karena pada dasarnya, yang dirawat di sini bukan hanya Semesta. Laki-laki itu bahkan tidak menunggu jawaban Semesta.

Karena sebenarnya ... Semesta ingin menolak permintaannya tersebut.

•••

Kafka mengusap kedua matanya yang terasa perih dengan kedua tangannya yang basah. Tepat setelah ia mengucapkan kata terakhirnya pada Semesta, Kafka memilih untuk beralih ke wastafel yang ada di dekat sana. Tangannya perlahan sedikit menurunkan masker yang ia gunakan.

Rasanya menyesakkan. Berusaha menguatkan orang lain, meyakinkan Semesta untuk percaya pada keajaiban yang mungkin akan datang, tapi ia sendiri tidak bisa percaya. Terbukti sejak dulu Kafka berusaha mengakhiri hidupnya sendiri, yang sayangnya tidak pernah berhasil.

Kafka hanya tidak ingin kembali kehilangan. Sesederhana itu. Tetapi ... kenapa rasanya begitu sulit untuk diraih?

Ketika rasanya sudah cukup tenang, Kafka kembali mengenakan maskernya. Ia membalik tubuh dengan kedua tangan yang diposisikan di belakang tubuh. Kakinya sedikit pegal karena sejak tadi berdiri, sampai Kafka memutuskan untuk menarik bangku dan duduk di depan meja.

"Kafka, kalau udah jam dua belas, jangan lupa buang urin, ya. Sekalian semuanya juga nggak apa-apa." Kak Dhia, senior yang memegang ICU tengah, berucap. Kafka dapat mengingatnya karena Kak Dhia menggunakan penutup kepala bergambar kucing yang cukup mencolok, serta beberapa gantungan di nametag-nya. Ia merapikan kalkulator yang sebelumnya digunakan untuk menghitung balans cairan. "Oh, sekalian. Nanti setelah buang urin, sekitar jam setengah satu, bed tujuh sama delapan harus cek gula. Hasilnya bisa kamu tulis di ...." Kak Dhia menunjuk satu bagian kosong. "Sini. Tinggal tulis hasilnya aja."

Kafka menganggukkan kepalanya perlahan. "Oke, Kak," balasnya singkat. Tidak lupa dengan senyum yang terlukis di wajah, meski perasaan Kafka sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu ... nggak apa-apa?" Kak Dhia tiba-tiba bertanya. "Aku dari tadi juga merhatiin kamu, loh. Pasti kamu agak lama sempatin berhenti di bed-nya Semesta. Eh, benar 'kan nama panggilannya?"

"Iya, Kak, benar." Kafka menghela napas panjang, mengetuk meja beberapa kali dengan jemari lentiknya. "Aku nggak apa-apa, kok. Agak lama cuma buat ngobrol sebentar. Kebetulan, dari kemarin ada banyak yang mau aku omongin, tapi baru dapat kesempatan sekarang. He-he."

Kafka turun dari kursinya. Kepalanya sedikit tertunduk, masih sambil tersenyun. "Maaf, ya, Kak. Aku jadi nggak profesional."

"Eh, nggak apa-apa." Kak Dhia melambaikan tangannya. Ia mungkin sedikit banyak mengerti dengan apa yang Kafka rasakan. "Kamu juga nggak lupa sama pasien lain 'kan? Aku lihat kamu cepat tanggap sama kondisi yang lain juga."

"Iya, Kak. Aku nggak bakal ngelupain pasien yang lain juga, kok."

Kak Dhia tersenyum tipis. Ia melirik jam dinding yang ada di belakang Kafka. Masih cukup lama sampai pukul dua belas siang.

"Semangat, ya. Mungkin karena ada kamu juga, Semesta bisa ikut semangat."

Kafka tidak bisa yakin, namun ia tetap mengangguk, tanpa suara.

Kepercayaan Semesta mungkin akan kembali setelah ini. Oleh karenanya, Kafka juga harus ikut percaya.

Karena mungkin, setelah ini, Semesta bisa pulang ke rumah.

•to be continued•

A/n

Rame juga yang baca :") tapi kenapa gak pada muncul siiii. Ayuk muncul sini.

Btw, agak sedih ngebayanginnya.

Gak tau kenapa.

Hehe.

Oh ya, SELAMAT BERPUASA BUAT BESOOOK. Keinget puasa tahun lalu aku masih jadi penunggu rs. Mana di IGD, ICU, sama ICCU. Sekarang malah ngegabut di rumah wkwkwk

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang