Bagian 18

2.5K 335 10
                                    

"Mie ayamnya enak, tapi masih enakan yang di kantin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Mie ayamnya enak, tapi masih enakan yang di kantin. Iya, 'kan, Div?"

Diva mengangguk pelan, menyetujui ucapan Kafka. Walau rasa lapar membuat segala yang masuk ke mulutnya terasa sangat enak, tapi tidak dapat ia mungkiri bahwa mie ayam di kantin kampusnya terasa lebih enak.

"Gue suka yang di kampus ada pangsit rebusnya," sambut Diva. 

"Kadang dapat ceker juga, 'kan?"

Semesta melirik kedua manusia yang duduk di hadapannya, masih mengomentari perbedaan antaar mie ayam di sini dan mie ayam di kampus. Wajah Kafka tidak lagi seperti tadi. Seolah, laki-laki itu dengan cepat mengubahnya, membuatnya tampak seperti biasa, dengan senyum yang lebar dan celotehan tidak bermutu.

"Kak, gimana di ruangan? Aman?" Kafka tiba-tiba bertanya pada Semesta. Lantas membuat laki-laki yang sedang mengaduk kopi dinginnya mengerjap. "Wangi nggak?"

"Gue disuruh observasi pasien yang mau meninggal," jawab Semesta. Kedua manik matanya menyipit, memperhatikan Kafka lekat-lekat. Tidak ada ekspresi yang sebelumnya ia tampakkan. "Agak sial nggak masuknya?"

Kafka lantas menggeleng, menggigit bakso kecilnya dan mengunyahnya perlahan. Berhubung masih ada makanan di mulutnya, ia tidak juga berbicara. Takut malah tersedak hingga harus dilakukan heimlich maneuver untuk mengeluarkannya.

"Sebenarnya nggak juga, sih," balas Diva. "Enakan observasi, bukan? Tinggal nungguin gitu, terus dicek TTV-nya. Nggak usah manual pula. 'Kan, udah pakai bed side monitor."

"Enggak juga kayaknya, Div." Kafka yang awalnya menikmati baksonya langsung menceletuk. Ia melirik Diva, lalu ganti melirik Semesta. Untuk kesekian kali, rautnya tidak terbaca. "Lo kebayang nggak, sih, ngeliat ekspresi kesakitannya pas nyawanya dicabut? Atau detik-detik menuju ajalnya."

Lalu, cengirannya muncul. "Untung gue nggak bisa identifikasi ekspresi. Jadi, gue nggak tahu ekspresinya kayak apa."

Kafka tertawa pelan. Diliriknya satu persatu teman yang satu meja dengannya. Tidak ada suara setelahnya. Masing-masing menikmati makanannya, walau lebih ke arah tidak tahu harus membalas apa. Tawa Kafka memang terdengar, tapi seolah hal itu hanya formalitas. Demi menunjukkan bahwa kondisinya yang satu itu bisa dijadikan candaan yang bahkan tidak lucu sama sekali.

"Tapi lo pengin nggak sih, tahu gimana muka orang tua lo, muka teman-teman lo, atau muka lo sendiri?" Diva bertanya. Sebuah pertanyaan yang bahkan tidak pernah Kafka pikirkan sebelumnya.

Laki-laki beriris cerah itu memudarkan senyumnya. Ia menatap Diva intens, beralih pada Semesta, lalu memilih untuk membuang pandangannya. "Gimana, ya?" Kafka bergumam pelan. Berusaha fokus pada mie ayamnya, tapi ia tidak bisa. "Pengin, sih, cuma nggak bisa juga. Gue nggak pengin berharap yang lebih gitu. Jatuhnya—Kak, kenapa?"

Ucapan Kafka terpotong ketika melihat Semesta tampak meraih sesuatu di dalam saku seragamnya dengan cepat. Ia membaca nama yang tertera di layar dengan tangan yang terangkat, lantas membuat Kafka tidak kembali berbicara. Dalam waktu sepersekian detik, Semensta menjawab panggilan tersebut dan mendekatkan ponsel pada telinganya.

KelabuWhere stories live. Discover now