Bagian 58

1.2K 166 18
                                    

Teh campur susu, di-blend dengan sedikit es, masih menjadi pesanan yang diucapkan Kafka setiap kali ia mendatangi kedai jus di kantin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Teh campur susu, di-blend dengan sedikit es, masih menjadi pesanan yang diucapkan Kafka setiap kali ia mendatangi kedai jus di kantin. Kedua matanya mengedar, memperhatikan suasana kantin yang sudah tidak begitu ramai. Istirahat hanya tinggal lima belas menit dan banyak mahasiswa yang sudah kembali ke kelasnya.

Duduk di meja nomor dua sendirian, Kafka merasa bahwa ada banyak hal yang berubah semenjak Semesta tidak lagi berkuliah. Ia memang lebih sering sendiri, tapi kadang laki-laki yang malas mencuci sepatunya itu tiba-tiba muncul. Membuat Kafka harus menatapnya dari atas ke bawah, berusaha mengingat ciri yang dimiliki, karena ia lebih memilih untuk hanya duduk diam menikmati makanan.

"Tumben sendiri, Mas," ucap Pak De, penjual mie ayam satu-satunya dan yang selalu ramai dikunjungi tiap jam istirahat. Kafka sudah menjadi pelanggan Pak De sejak masih semester satu, tapi pria paruh baya tersebut tidak pernah menyebut—atau bahkan mengingat namanya.

Kafka tersenyum tipis. Ia tidak perlu susah mengenali siapa yang mengajaknya bicara karena kain lap yang selalu terlihat di pundaknya. Kepalanya mengangguk perlahan. Bingung ingin merespon seperti apa, selain seulas senyum.

"Iya, Pak. Teman yang lain udah pada selesai makan soalnya," jawab Kafka asal. Tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar.

Di awal jam istirahat tadi, Kafka memilih untuk berdiam dulu di kelasnya. Ponsel tergeletak di meja, tidak disentuh sejak jam sepuluh tadi. Manik hijau Kafka tampak lelah, dengan jemari yang mengetuk meja.

"Mungkin lusa Semesta bisa pulang."

Percakapan Kafka dengan Sasi kemarin kembali terulang di ingatan. Ia menarik napas panjang, tidak berusaha melupakan. Kafka membiarkan pikirannya terus menjadi rumit, hingga kemudian Daffa menepuk pundaknya. Menyuruhnya untuk makan sebelum jam istirahat berakhir.

Kafka tidak bernafsu untuk makan sedikitpun, namun ia tetap bangkit dan berjalan menuju kantin. Selebihnya, Kafka hanya memesan minuman murah favoritnya dan duduk di sana. Diaduknya minuman yang sudah tersaji di hadapan Kafka, tanpa dilirik sama sekali.

"Nggak ada pengobatan lain selain pengurangan gejala. Sampai saat ini, belum ada pengobatan yang bisa menyembuhkan. Tante cuma ...."

"Berharap Semesta bisa bertahan selama mungkin ... ya?"

Kafka menarik napas panjang. Ia menatap tanaman yang berada tepat di bawah jendela ruang ketua jurusan. Angin berembus lembut. Begitu lembut hingga Kafka seolah tidak merasakan apapun.

"Gue harus kehilangan lagi, ya?"

•••

Musik instrumental hampir selalu terdengar dari dalam ruang rawat Semesta. Gunanya untuk membuat suasana menjadi lebih tentram. Terbukti, salah satu cara untuk mengurangi kecemasan yang dialami pasien adalah dengan musik.

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang