Bagian 1

8.9K 730 83
                                    

Semesta tidak pernah memikirkan keluarga yang lebih lengkap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semesta tidak pernah memikirkan keluarga yang lebih lengkap. Selama ini, yang ada di pikirannya hanya dirinya dan bundanya. Tidak ada sedikit pun pikiran liar yang tiba-tiba masuk, membawa bayangan seorang ayah ke dalam kepalanya. Meski dulu Semesta sempat beberapa kali mencari keberadaan ayah yang bahkan tidak terlihat di setiap foto bersama dirinya, lama kelamaan ia menyerah juga. Mempertanyakan keberadaan pria itu, toh, sudah tidak ada gunanya lagi. Bunda tidak menjawab dan Semesta berasumsi bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dibicarakan sembarangan.

Makanya itu, sebenarnya mau bundanya menikah lagi atau tidak, Semesta tidak lagi peduli. Ia hanya ingin yang terbaik. Kalau memang bunda bahagia, kenapa ia harus menentangnya?

Lama merenung tanpa terlalu memperhatikan kondisi jalan raya yang terpantau lancar, mobil yang Semesta kendarai sudah berbelok, memasuki pelataran parkir kampusnya. Gedung megah yang terdiri dari lima lantai terlihat. Sementara itu, kedua netra Semesta mencari spot parkir yang kosong. Inginnya memarkirkan mobil lebih dekat dengan gedung jurusannya, namun apa daya ia datang lebih siang dari biasanya dan hanya mendapat sisa di depan gedung Direktorat. Walau sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi Semesta terlalu malas.

Helaan napas Semesta terdengar begitu ia mematikan mesin mobil. Bersamaan dengan itu, alunan lagu dari radio ikut berhenti. Ia mengambil tas yang sebelumnya dilempar ke kursi penumpang, lalu mengenakannya. Diliriknya spion tengah mobil, sebelum akhirnya menyugar rambut hitamnya itu ke belakang. Berpikir bahwa surai yang menutupi keningnya mulai memanjang dan akan menimbulkan kritikan dosen, namun di lain sisi malah membuat Semesta berpikir bahwa ia makin menarik.

Yah, itu hanya pikirannya semata.

Tidak ingin berlama-lama, Semesta beranjak dari sana. Ditutupnya pintu mobil dengan keras, sebelum akhirnya menekan tombol lock. Kedua tungkai jenjangnya melangkah memasuki pelataran gedung Direktorat dengan langkah yang terkesan lambat, padahal arlojinya sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit.

Suara gemericik air dari kolam yang berada di lobi adalah hal yang Semesta dapatkan setelah ia menginjakkan kaki di lobi. Sambil dengan iseng menggulir layar di ponselnya—alias hanya menggulir layar utama tanpa tujuan agar dianggap sibuk dan tidak perlu memperhatikan sekitar—ia mendorong pintu utama dengan lengannya. Kemudian, suara yang didapatinya bukan lagi suara air atau paling tidak suara mesin presensi yang ada di dekat meja resepsionis, tapi malah suara sapaan yang menyapa salah satu civitas, terdengar dari belakangnya.

Semesta kenal suara itu. Jadi, tanpa menoleh, ia sudah tahu betul siapa yang sedang menyapa tiap staf yang ada di meja resepsionis. Kedua kakinya terus melangkah, melewati ruangan besar yang merupakan salah satu ruang administrasi.

"Ah, lo lagi, Ta. Kenapa, sih, pagi-pagi gini udah ketemu sama lo?"

Semesta berhenti berjalan, tetapi hanya sesaat. Ia tidak perlu membalas pertanyaan itu. Bukan hanya karena menurutnya itu pertanyaan retorik, tapi juga karena pertanyaan yang dilontarkan oleh laki-laki bernama lengkap Kafka Algis Atharya tersebut tidak penting sama sekali. Pasalnya, mereka seangkatan, bahkan sekelas—mengingat angkatan untuk prodi mereka memang hanya terdiri dari satu kelas. Hanya berkuliah di kampus yang sama saja bisa menjadi kewajaran bagi mereka untuk bertemu, apalagi jika sekelas.

"Lo tahu kalau kita masih ada waktu setahun buat ketemu lagi setiap paginya." Semesta menjawab, tanpa berhenti berjalan. Berbelok melewati kantin mungil di samping lift, ke arah pintu keluar dekat tangga darurat. Di belakangnya, Kafka mengikuti. Padahal sebelumnya ia yang tampak sebal karena ketidaksengajaannya berpapasan dengan Semesta.

"Gue berharap nggak satu kelompok sama lo kalau profesi," lanjut Kafka. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket biru gelap yang dikenakannya. Sejenak, ia menguap, dengan kedua kaki yang terus melangkah. Menyusuri lorong yang menjadi penghubung antara gedung Direktorat dengan gedung jurusannya.

Semesta melirik ke arah kaca di mana ia bisa melihat refleksinya dan juga Kafka. "Siapa suruh ngikutin gue masuk ke kampus yang sama?" Ia membalas dengan kedua tangan yang kemudian menyugar rambutnya yang terpapar sinar matahari.

"Bukannya lo yang ngikutin gue?"

Walau sudah hampir pukul delapan lewat lima belas, suasana lobi ketika keduanya menjejakkan kaki di sana masih cukup ramai. Hal itu lantas membuat Semesta menengok ke belakang, hendak bertanya apa yang barusan Kafka bicarakan, namun diurungkannya. Segera, Semesta berjalan ke arah lift yang berada tepat di depan meja resepsionis.

"Lo udah belajar buat kuis, Ta?"

Semesta menekan tombol hingga lampunya menyala. Diliriknya laki-laki bersurai cokelat gelap yang kini berdiri di sebelahnya sambil memainkan ponsel. "Udah. Kenapa?" balasnya. "Lo belum?"

Kafka tertawa pelan seraya menyimpan ponsel ke saku celana cokelatnya. Ia sepenuhnya menengok ke arah Semesta, lalu mengerling.

"Lo paham banget kalau soal gue, ya?"

"Mau hitung berapa tahun kita sekelas nggak?"

Suara denting bersamaan dengan terbukanya pintu lift membuat baik Semesta maupun Kafka kembali menatap ke depan. Tanpa aba-aba, kedua laki-laki yang berusia sembilan belas itu melangkah masuk, menghadap sudut lift, dan hanya diam.

"Lantai berapa, Kak?"

"Empat. Makasih," jawab Kafka singkat. Ia yang paling dekat dengan tombol lift, tapi hanya diam. Semesta juga tidak punya niatan untuk menekan tombol. Andai tidak ada orang lain selain mereka, mungkin lift hanya akan berhenti di lantai satu, menunggu ada yang menekan tombol di luar.

Hening.

Tidak ada yang bersuara bahkan ketika lift bergerak naik dan berhenti di lantai tiga. Adik tingkat yang tadi dengan sukarela menekankan tombol, berjalan ke luar. Tidak lupa dengan kepala yang sedikit tertunduk dan kalimat "duluan, Kak".

Ketika pada akhirnya pintu kembali tertutup, Kafka membalik tubuhnya. Ia bersandar, memperhatikan atribut yang Semesta kenakan. "Oh, ngomong-ngomong." Ia buka suara. "Lo ganti jaket, ya? Tapi, kenapa nggak ganti sepatu? Jorok lo."

Semesta ikut membalik tubuh, lalu balas menatap Kafka. Laki-laki yang tingginya lebih pendek dua centimeter itu meringis pelan dan mengusap lengan. "Gue agak ngeri kalau lo terlalu merhatiin gue gitu," ucap Semesta.

Kafka menunjukkan cengiran yang bahkan tidak pernah ia ingat rupanya. Tangannya terangkat, menepuk pundak Semesta dua kali. "Lo tahu kalau gue nggak cuma merhatiin lo." Kafka membalas, kemudian berjalan ke luar lift saat pintu terbuka di lantai empat.

Semesta merotasikan kedua bola matanya. Sebelum pintu tertutup, ia menahannya, lalu melompat keluar, berusaha mencegah kejadian terjepit lift yang pernah dialaminya saat menjadi mahasiswa baru. Namun, baru beberapa langkah, ponselnya yang bergetar lantas membuat Semesta berhenti.

Dengan gerakan cepat, Semesta mengambil benda pipih yang sudah dianggapnya sebagai anak dari dalam kantung jaketnya, lalu membaca pesan yang masuk.  Pesan itu dari bundanya. Hanya ada dua kalimat di sana, tapi cukup panjang untuk sebuah pesan singkat.

Bunda

Sayang, nanti pulang kuliah jangan keluyuran dulu, ya! Kita mau makan malam sama ayah baru kamuuu uwu.

Semesta mengangkat sebelah alisnya. Makan malam? Baru tadi Semesta diberi tahu bahwa bunda akan menikah dan nanti malam ia akan bertemu dengan calon ayahnya?

Wow.

[To be continued]

Keep in touch with me

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang