Bagian 51

1.8K 239 25
                                    

Semesta sadar betul kalau Kafka tampak tidak tenang ketika duduk di hadapannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Semesta sadar betul kalau Kafka tampak tidak tenang ketika duduk di hadapannya. Ia memegang jemarinya yang dibalut kasa. Entah karena apa, lalu kembali menurunkan kedua tangannya ke bawah meja.

"Lo abis kena ampul?" tebak Semesta.

"Ya." Jawaban singkat terdengar. Kafka sendiri tidak juga mengalihkan pandangannya ke arah Semesta. Laki-laki itu berusaha menghindari, dan Semesta sadar akan hal tersebut. Kedua matanya lantas memincing heran.

Lalu, Kafka mengubah ekspresi wajahnya. "Lo mau ngapain ke sini ... Ta?" Kafka akhirnya bertanya. Nada suaranya datar.

"Hah?"

"Lo ada apa ke sini? Mau periksa kah?" Kafka kembali mengulang pertanyaannya.

Semesta menggeleng pelan. Sejenak menatap ke luar jendela, lalu memberi kode pada Sasi untuk menjauh terlebih dahulu. Sedari tadi Semesta perhatikan, Kafka seperti menghindar dari bundanya tersebut.

Tanpa diberitahu dua kali, Sasi bangkit. Ia menepuk pundak Semesta dua kali, dan memilih untuk duduk di meja lainnya. Cukup jauh hingga ia tidak dapat mendengar pembicaraan keduanya.

"Ada satu dua hal yang mau gue lakuin," ucap Semesta pada akhirnya. Dilipatnya kedua lengan di atas meja. "Sekarang gantian gue yang nanya."

"Apa?"

"Katanya lo lagi ada masalah? Sama ayah lo?" Semesta bertanya langsung.

"Hm, sedikit." Kafka menjawab singkat, dilanjut dengan menguap. Ia belum tidur semalaman dan rasa kantuk benar-benar menguasai diri Kafka. "Gue ngantuk banget. Apa lo cuma mau nanya soal itu?"

"Gue nggak tahu lo lagi ada masalah apa sama ayah lo, karena gue nggak dikasih tahu secara jelas. Tapi—"

"Semesta." Kafka memotong ucapan Semesta. Tanpa embel-embel kak. "Lo pernah nggak, ngebayangin pas lo masuk rumah malah lihat bunda lo ada di lantai dan nggak bernyawa?"

Semesta mengernyit heran. Kenapa tiba-tiba Kafka membawa topik itu? Lantas, Semesta menggeleng.

"Ya, emang nggak semua orang seberuntung gue." Kafka terkekeh pelan. Ekspresinya berubah, dengan senyum terlukis di wajahnya.

Kedua alis Semesta tertaut. Suara Kafka yang sedikit samar karena keramaian kantin membuatnya tidak bisa mendengar ucapan laki-laki itu dengan jelas. Namun, Semesta dapat menangkap raut wajah Kafka dengan jelas.

Rautnya tampak kecewa. Sinar di matanya seolah meredup, tidak seperti biasanya. Dan hal itu hanya terjadi dalam waktu yang singkat. Entah sudah berapa lama keduanya tidak bertemu, sekali lagi, Semesta tidak dapat menebak apa yang akan Kafka ucap setelahnya.

"Beruntung?"

"Ya." Kafka mengangguk pelan. "Bukannya jarang ada anak yang lihat orang tuanya sendiri bunuh diri?"

KelabuWhere stories live. Discover now