Bagian 23

2.7K 322 20
                                    

Entah bagaimana ceritanya, Sasi bisa kenal dengan Bu Ayun

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Entah bagaimana ceritanya, Sasi bisa kenal dengan Bu Ayun. Bahkan dengan santainya, sang bunda berbicara dengan dosen pembimbing yang terkenal galak tersebut dan meminta izin agar Semesta tidak berdinas hari ini. Secara ajaib, Bu Ayun memperbolehkan dan berkata bahwa tugas milik Semesta boleh diserahkan besok. Padahal, sejujurnya Semesta berharap agar Bu Ayun tidak mengizinkan.

Sepertinya memang seharusnya Semesta tidak berbicara soal kondisi dirinya sendiri pada Sasi. Bundanya itu pasti memaksa. Parahnya, Sasi pasti jadi panik sendiri.

Karena itu pula, kini Semesta harus duduk di sebelah Sasi, tepat di depan loket pendaftaran. Wanita itu tampak sibuk mengisi format pendaftaran, sambil sesekali melihat ke depan. Kondisi semakin ramai dan kemungkinan untuk masuk ke ruang pemeriksaan semakin lama.

"Ribet banget emang si Bunda, mah," celetuk Semesta. Ia menyandarkan tubuh dan meluruskan kedua kakinya. Walau sudah berkata bahwa Semesta tidak apa-apa dan ia tidak perlu diperiksakan, tapi Sasi tetap saja kekeh. "Kalau biayanya mahal gimana? Bunda mau bayarin?"

Sasi berhenti menulis dan menatap Semesta dalam-dalam. Manik matanya yang sendu tampak bersinar lembut. "Nggak apa-apa. Sekali-kali biar Bunda nggak khawatir lagi."

"Kalau aku cuma ceroboh doang, Bunda beneran mau botakin aku?"

Sasi tertawa hingga wajahnya yang akhir-akhir ini tampak lelah, memerah. "Enggak, lah!" seru Sasi. Ia mengacak rambut Semesta asal, lalu kembali meraih pulpennya dan menulis di kertas. "Bunda tahu Semesta sayang banget sama rambut Semesta. Jadi, mana mungkin Bunda ngerusakin apa yang Semesta sayang?"

Semesta mengulum bibir, lalu membuang pandangannya. Diperhatikannya banyak orang yang berada di sana. Masing-masing dengan urusannya.

"Kira-kira dokternya bakal bilang apa, ya?" Semesta mengira-ngira. Ia mendongak, menatap langit-langit yang dicat putih tulang dengan ornamen khas yang menghiasi. "Atau mungkin ... aku bakal disuruh check lab? Tapi, periksa apa aja, ya?"

"Nggak usah mikir aneh-aneh dulu." Sasi menjawil hidung Semesta gemas. Seenaknya menuduh Semesta, padahal Sasi yang lebih dahulu berpikir negatif. "Tebakan Bunda, sih, paling disuruh cek darah."

Seraya menatap Sasi dalam-dalam, Semesta menghela napas panjang. Kalau sudah begini, pikirannya kadang malah jadi runyam. Ada banyak hal yang secara menyebalkannya mengganggu, lalu membuat Semesta berpikir yang aneh-aneh. Mungkin hal itu yang Sasi turunkan padanya; pikiran negatif.

"Nggak sakit lah, ya. Udah biasa, 'kan, diambil darah doang."

Semesta tertawa pelan dan mengusap lengannya yang terasa hangat. Jarum suntik ukuran 10 cc bukan lagi hal yang menakutkan untuknya. Saat praktikum pengambilan darah semester lalu, teman sekelasnya menguasai lengan Semesta, hingga keduanya mendapat lebih dari sepuluh suntikan. Agak kejam, tapi hal itu membuat Semesta menjadi terbiasa dengan tindakan tersebut dan kegagalan pengambilan darah.

KelabuOnde histórias criam vida. Descubra agora