Bagian 30

2.6K 323 57
                                    

"Kak, ingat nggak sih, awal kita ketemu gimana?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kak, ingat nggak sih, awal kita ketemu gimana?"

"Enggak. Kenapa?"

"Sama. Gue juga nggak ingat."

Udara yang dingin cukup membuat Semesta menyesal karena memutuskan untuk keluar rumah malam ini. Ditambah Kafka, rasanya Semesta makin menyesal. Tapi, ia tidak tahu lagi harus mendatangi siapa, dan satu-satunya nama yang muncul di pikirannya hanya nama Kafka.

"Pokoknya, gue paling kaget pas tiba-tiba nama lo muncul di daftar yang keterima utama, bareng sama gue." Kafka tertawa pelan, mengaduk sambal pada mie ayamnya. "Gue ingat, lo yang paling anti sama kesehatan, tiba-tiba malah masuk kesehatan."

Semesta merotasikan kedua bola matanya. Ketika ia hendak mengaduk mie ayamnya, satu potong ayam yang ukurannya paling besar jatuh ke atas meja. Lantas membuatnya berdecak.

"Gue cuma iseng daftar, malah keterima."

Kafka lagi-lagi tertawa. Ia menyuapkan sedikit kuah ke dalam mulutnya sambil melirik Semesta. Laki-laki itu sibuk memperhatikan Semesta yang sekali-kali mencak-mencak karena beberapa potongan ayamnya kembali terjatuh.

"Kak."

Semesta menggerakkan bola matanya, menatap laki-laki beriris hijau tersebut dari sudutnya. Lalu, ia berdeham pelan, tidak punya niatan untuk membalas dengan perkataan. Ditunggunya Kafka untuk kembali membuka mulut.

"Mau tebak-tebakan nggak?"

"Bukannya gue udah bilang kalau gue nggak suka main tebak-tebakan?"

"Tebak, yuk."

Semesta mendengkus. Ia melepaskan pegangan tangannya pada sumpit, lalu saling menggosokkan kedua telapaknya. Semesta menyerah. Ia tidak bisa membuat Kafka berhenti.

"Apa?" tanya Semesta pada akhirnya.

"Di antara kita berdua, siapa yang bakal mati duluan?"

Semesta diam sejenak, berpikir. Tapi kemudian, sudut bibirnya terangkat. "Palingan gue," jawabnya singkat.

Kafka mengerjap, hampir menyemburkan es tehnya ke wajah Semesta. Laki-laki itu asal berbicara saja. Walau harus diakui, kesalahan pertama ada pada dirinya. Siapa suruh asal bertanya?

"Ngaco lo." Dengkusan Kafka terdengar.

"Lah, lo duluan." Semesta membalas dengan tenang. Menurutnya, orang seperti Kafka tidak bisa dibalas dengan nada tinggi dan omelan. "Jawabannya cuma satu, antara lo atau gue. Ya, gue jawab gue. Kalau gue jawab lo, nanti dibilangnya gue doa yang jelek-jelek."

Semesta tidak salah sama sekali. Kafka juga merasa ia tidak salah karena marah saat mendengar jawaban Semesta. Karena masih ada satu jawaban yang mungkin diucapkan, yaitu tidak keduanya.

"Iya, iya." Kafka pada akhirnya tidak lagi membalas. Lalu, ingatannya malah kembali pada alasan Semesta menghampiri dirinya.

Hasil pemeriksaan laki-laki itu ... apa ada masalah?

"Ngomong-ngomong, bunda lo nggak masalah kalau lo keluar malam-malam gini?" Kafka mengalihkan pembicaraan. Hendak memancing Semesta agar mau membicarakan mengenai hasil pemeriksaannya, tapi rasanya sulit.

"Hm." Semesta bergumam. Ia melirik Kafka yang tampak tidak tertarik dengan mie ayamnya. Padahal, harus Semesta akui kalau mie ayam ini tidak dapat dilewatkan dan harus dinikmati. "Gue 'kan udah bilang, nggak masalah. Gue udah bilang juga kalau mau makan ke luar."

"Oh ... gitu." Kafka mengetuk meja dengan telunjuknya, menciptakan suara yang konstan. "Soal pemeriksaan—"

"Gue udah bilang, gue nggak tahu."

Mustahil.

"Padahal lo tinggal lihat hasilnya."

"Tapi, gue nggak mau tahu."

Perkataan Semesta menjadi final. Laki-laki itu tidak ingin membicarakannya dan Kafka malah makin penasaran. Mana ada orang yang tidak ingin tahu kondisi dirinya sendiri?

"Lo gila."

"Dan lo terlalu ngurusin sesuatu yang nggak penting."

Kafka menunduk, menatap kedua kakinya yang diseruduk oleh kucing. Entah apa tujuan makhluk berambut itu, Kafka tidak mengerti.

"Apa ... menurut lo hal itu nggak penting sama sekali?"

Hening tiba-tiba merayap di antara keduanya. Semesta yang awalnya sibuk pada makanannya lantas mengangkat kepala, menatap Kafka dalam-dalam. Berbeda dengan yang ditatap, ia malah membuang pandangan. Manik hijau jernihnya beralih pada pohon rindang tidak menarik yang ada di dekatnya.

"Ya, semacam itu," jawab Semesta pada akhirnya.

"Kenapa?"

Anggap Kafka cengeng atau apa, tapi ucapan Semesta malah membuatnya merasa sedih. Tidak tahu dari mana asalnya, Kafka malah merasa Semesta sudah tidak peduli lagi pada dirinya sendiri. Bahkan pada orang-orang yang peduli padanya.

"Karena gue emang nggak mau tahu."

"Itu bukan jawaban dari pertanyaan yang gue ajukan. Gue mau jawaban lain."

Semesta tertawa pelan. Hanya sesaat, karena kemudian wajahnya kembali datar, tanpa ekspresi. Kedua kelopak matanya menyipit. "Kalau gitu, seharusnya lo paham kalau gue nggak mau ngomongin masalah itu." Semesta membalas.

Kali ini benar-benar final.

Kafka menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan lesu. "Apapun hasil yang ada ...."

"Kaf—"

Senyum Kafka lantas memotong ucapan Semesta. Ia terdiam ketika melihat iris indah di hadapannya itu tampak tidak bercahaya. Binarnya sirna, entah ke mana, Semesta tidak tahu.

"Gue harap lo selalu baik-baik aja."

•••

Semesta masuk ke dalam rumah tepat ketika jarum pendek menunjuk ke angka sebelas. Ia menutup pintu perlahan saat menyadari kalau Sasi berbaring di atas sofa. Ponsel berada di atas dadanya yang naik turun teratur. Di dekatnya, map cokelat berisi hasil pemeriksaannya terlihat.

Helaan napas panjang Semesta terdengar. Ia hendak membangunkan Sasi, namun tangannya justru mengambil map yang berada di atas meja tersebut. Kedua maniknya bergerak, membaca namanya tertulis di pojok kanan atas.

"Nggak mau ...." Semesta bergumam pelan. Ia hampir meletakkan kembali map tersebut, tapi tangannya berkhianat.

Semesta lantas mendudukkan dirinya di atas sofa. Ia membuka map cokelat itu dengan perlahan, kemudian menarik isinya. Beberapa kertas putih terlihat, beberapa terjatuh ke lantai.

Lalu, manik Semesta menyusuri setiap kalimat yang tertulis di sana, membuat keningnya berkerut sesaat. Tak lama, senyum tipisnya terbit.

Defek transmisi pada neuromuskular fiber.

•To be continued•

A/n

Jujur aku lelah banget dinas wkwkwk

KelabuWhere stories live. Discover now