Bagian 5

4.5K 498 22
                                    

Malam ini langit tidak secerah biasanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malam ini langit tidak secerah biasanya. Dari jendela kamar, Kafka tidak lagi dapat melihat bulan yang ukurannya tidak terlalu besar, namun tampak cerah. Perlahan, ia menyandarkan tubuh di kursi belajarnya. Dengan tangan yang berada di belakang kepala.

"Bun, aku ngantuk banget. Obatnya bikin ngantuk." Kafka bergumam pelan, berucap pada sebuah foto yang tertempel di papan kecil yang ada di hadapannya. Ia tidak pernah tahu bagaimana rupa sosok yang ada di foto tersebut, namun Azri yang memberitahu bahwa itu adalah foto bundanya. Di bawah foto tersebut, secarik kertas kecil dengan tulisan singkat terlihat.

"Stay alive. For her," ucap Kafka pelan, membaca kalimat yang ia tulis di kertas kecil tersebut. "Stay alive, tapi Bunda nggak bisa berlaku sama. Kenapa?"

Tidak ada jawaban. Hanya ada suara cicak di bawah kolong meja yang mendadak muncul. Walau laptop sudah terbuka semenjak tadi dan menampilkan lembar kerjanya, tapi Kafka tidak juga bergerak.

"Bunda, aku capek banget, padahal aku nggak ngapa-ngapain." Diambilnya sebuah bantal dari atas kasur, lalu Kafka membaringkan kepala di atasnya, menatap ke arah luar jendela. "Kalau Bunda ada di sini, apa aku bakal diperbolehkan buat istirahat? Atau aku harus nyelesaiin tugas aku dulu? Apa aku harus dapat nilai seratus terus? Apa-"

"Kafka."

Panggilan dari Azri menghentikan monolog Kafka. Ia menoleh, mengusap kedua sudut mata dengan punggung tangannya. Setelah mengulum bibir, Kafka menyunggingkan satu senyuman tipis.

"Tadi obatnya udah diminum?"

Mengangguk cepat, Kafka menjawab, "Udah, Yah. Makanya sekarang ngantuk banget. Tapi, aku nggak bisa tidur. Tugas masih banyak banget soalnya."

Kafka tidak dapat mendeskripsikan bagaimana ekspresi Azri, karena pada nyatanya ia tidak pernah mampu untuk mengetahuinya. Sentuhan tangannya yang lembut mengusap puncak kepala Kafka. Membuatnya sejenak memejamkan mata.

"Kalau emang kamu capek, tidur dulu. Jangan paksain diri kamu sendiri," titah Azri. "Deadline-nya mepet kah?"

Kafka menggeleng pelan. Ia mendorong kursi belajarnya ke belakang dan bangkit sebelum akhirnya merenggangkan tubuh. "Cuma pengin ngerjain aja biar besok bisa santai," sahutnya.

"Aku harap aku bisa lihat gimana ekspresi Ayah sekarang," lanjutnya. Ia menaikkan kedua sudut bibirnya.

"Matiin laptopnya, terus tidur," ujar Azri, mengalihkan pembicaraan. "Besok kamu kuliah pagi, 'kan? Jangan sampai kesiangan."

"Iya, Yah."

"Jangan mikir yang aneh-aneh malam ini."

Lengkungan di bibir Kafka luntur. Walau begitu, ia tetap mengangguk. "Iya, Yah."

"Good." Azri melipat kedua lengannya di depan dada. "Ayah nggak mau ngeliat kamu masih bangun setelah ini."

"Iya."

Tanpa bersuara lagi, Azri berjalan ke luar kamar. Pintu ditutup rapat. Hingga menyisakan Kafka di sana. Laki-laki itu tampak menengadah dan menatap langit-langit kamar yang dicat biru.

"Yaudah, deh. Tidur aja."

•••

"Pagi, Guys!" Kafka menyapa begitu ia membuka pintu kelas lebar-lebar. Walau sebenarnya pagi ini kelas masih sepi dan hanya ada satu orang yang duduk di pojok ruangan. Itu pun sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja.

Dengan semangat paginya, Kafka berjalan menuju kursi yang ada di samping jendela, tempatnya biasa duduk. Sinar matahari yang masuk menimbulkan rasa hangat saat ia mendudukkan tubuhnya di sana. Masih agak mengantuk, tapi sinar matahari membuat Kafka tidak ingin terpejam.

"Pantes gue kayak dengar suara berisik. Ternyata dari lo."

Sebuah suara membuat Kafka menengok. Ia menatap laki-laki yang sedang menutup pintu kelas dan berjalan menuju pojok ruangan. Senyumnya terbit, tapi tidak ada ciri khas yang menempel pada laki-laki itu. Walau Kafka sedikit mengingat itu suara siapa, tapi ia merasa tidak begitu yakin.

"Kak Semesta?"

Laki-laki itu berdecak. "Kenapa lo panggil gue pake 'Kak'?" Ternyata benar, laki-laki itu adalah Semesta.

"Gue kira siapa," ujar Kafka. "Sepatu lo ke mana? Akhirnya lo sadar, ya, kalau sepatu juga harus dicuci? Gue jadi nggak bisa ngenalin lo."

Semesta hanya mengedikkan bahu. Ia melepas tas kemudian jaketnya. Keduanya berada pada posisi yang cukup jauh dan Semesta malas untuk mengeluarkan energi berlebih.

"Kak Semesta."

"Dibilang jangan panggil gue 'Kak'."

"Tapi, lo lebih tua dari gue setahun dan kita—"

"Gue bilang gue nggak suka!" potong Semesta cepat. Sampai-sampai, dua orang lain yang ada di ruangan itu menoleh. Ruangan yang dingin mendadak terasa lebih panas.

Kafka menunduk, lalu membuang pandangannya, menatap ke luar jendela. Dari sini, ia dapat melihat lapangan luas yang dipenuhi semak belukar. Senyum yang selalu ada di bibirnya luntur, berganti dengan penyesalan.

"Maaf," gumamnya pelan. "Maaf, maaf, maaf. Maafin gue."

Gumaman yang tidak terlalu terdengar jelas itu lantas mengundang perhatian Semesta. Manik matanya menyipit. "Lo kenapa, deh?" tanya Semesta heran.

Kafka menggeleng pelan. Ia bangkit dari kursinya, lalu berjalan dengan cepat ke luar kelas. Pandangan Semesta mengikuti langkah Kafka, tapi menghilang begitu saja di balik pintu.

"Kenapa lah anak itu?" gumam Semesta pelan. Namun kemudian, rasa herannya bingung, berganti dengan rasa tidak peduli.

•••

Kafka berhenti berjalan ketika ia sampai di dekat loker. Tangannya yang bergetar menutup mulutnya sendiri, diikuti oleh gigitan pada bibir bawahnya. Napasnya naik turun tidak teratur, hingga kemudian berubah menjadi lebih tenang.

"Kenapa lo?"

Kafka menoleh, menarik napas panjang, dan menggeleng. "Nggak kenapa-napa, kok." Ia menjawab singkat. "Kak Semesta 'kan?"

"Udah gue bilang jangan panggil gue pakai kata 'Kakak'." Semesta yang pada akhirnya mengikuti Kafka, langsung merasa menyesal. Kenapa pula ia harus peduli pada laki-laki itu?

Kafka menunjukkan cengirannya. Kedua kelopak matanya tampak menyipit. "Nggak apa-apa, ya? Gue suka akhirnya gue punya saudara juga," tutur Kafka.

Semesta merotasikan kedua bola matanya. "Terserah lo, deh," ucapnya menyerah.

Senyum Kafka tidak juga luntur. "Asyik! Makasih, Kak Semesta!" serunya senang.

"Gue nyesal udah ngizinin lo buat manggil gue kakak."

Kafka terkikik geli sejenak. "Nggak apa-apa menyesal sekarang. Biar biasa juga. Lo 'kan bakal jadi kakak gue."

Tanpa sadar, sudut bibir Semesta terangkat. "Iya juga, ya."

[To be continued]

KelabuWhere stories live. Discover now