Bagian 55

2K 226 30
                                    

Kafka tahu, bagian tersulit dari keputusan yang telah diambil adalah menyampaikannya ke orang yang bersangkutan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kafka tahu, bagian tersulit dari keputusan yang telah diambil adalah menyampaikannya ke orang yang bersangkutan. Semalam, Kafka berhasil mencurahkan seluruh perasaannya pada Azri. Berakhir dengan dirinya yang terkulai lemas dan bangun keesokan harinya, di tempat tidur, dengan selimut kesayangannya.

Kafka lega, namun belum selega itu. Ia masih harus ikut menemui Sasi. Menyampaikan kembali penolakan atas pernikahan ayah dan wanita tersebut.

Oleh karena itu, setelah dinasnya selesai, Kafka langsung dijemput oleh Azri. Ia duduk dengan tegang di kursi penumpang. Jantungnya berdetak lebih cepat, tetapi masih dalam batas normal. Kalau dicek tadi, nadinya berada di angka sembilan puluh kali permenit.

Aman, pikir Kafka.

Kedua netra hijau Kafka memperhatikan jalan raya yang cukup ramai padahal belum jam pulang kerja. Ia menarik napas panjang, kemudian mengalihkan pandangannya pada Azri. Ayahnya itu fokus menyetir setelah barusan berbasa-basi mengenai hari Kafka.

"Aku tinggal ngomong 'kan?" Kafka mengajukan pertanyaan retorik.

"Iya, kamu tinggal bilang aja. Semuanya, apa yang kamu rasain," jawab Azri tanpa mengalihkan fokusnya. "Mungkin setelah itu, kamu bisa ngerasa lebih lega."

Kafka menganggukkan kepalanya beberapa kali. Hujan yang sedari tadi mengguyur bumi menyebabkan udara di mobil terasa lebih dingin. Kafka mengusap kedua tangannya, lalu menempelkannya ke pipi.

"Tenang aja, ya." Azri tersenyum tipis dan melirik Kafka. Tangan kirinya yang bebas menyentuh pundak laki-laki yang sebentar lagi usianya akan bertambah. "Hari ini pasti bisa dilewati."

Kafka balas tersneyum. Lembut dan sarat akan makna. Berbeda dengan hari kemarin di mana senyum hanyalah sebuah formalitas.

"Ya."

•••

"Jadi, begitu." Kafka mengulum bibir. "Maaf karena aku tiba-tiba menolak pernikahan Ayah sama Tante. Aku udah berpikir beberapa kali, berusaha buat nerima. Tapi, sekali lagi aku minta maaf. Aku ... nggak bisa."

Sasi berusaha menyunggingkan senyum. Sulit, namun kemudian satu senyum penuh paksaan terlukis di bibirnya. "Begitu, ya?" gumamnya pelan. Ia menunduk, mengalihkan pandangannya dari wajah Kafka.

"Tante udah tahu alasan aku. Tapi, Tante juga harus tahu kalau aku nggak nyimpan dendam sama sekali." Kafka mengulas senyum. Ia meraih tangan Sasi dan menggenggamnya erat. Tangannya yang dingin sejenak membuat Sasi mengernyit, sebelum balas menggenggamnya.

"Terima kasih karena untuk beberapa saat ke belakang, Tante bikin aku ngerasain rasanya punya bunda lagi." Kafka berujar lembut. "Maaf sekali lagi, karena aku ternyata nggak bisa lupain masalah itu dan nggak bisa setujuin hubungan Ayah sama Tante."

Sasi menganggukkan kepalanya perlahan. Ego menyuruhnya untuk memaksa Kafka menarik kembali keputusannya, tapi Sasi tidak ingin dikalahkan. Ia sudah dewasa, mempunyai seorang anak, dan seharusnya memahami bagaimana perasaan si anak.

KelabuWhere stories live. Discover now