Perihal Kerjaanku

23.8K 918 24
                                    

Bahagia itu sederhana.

Kata orang lho ini.

Tapi kataku, bahagia itu puenuuh perjuangan. Gak bohong.

Bolak balik latihan jalan melenggak-lenggok biar jadi model catwalk profesional itu gak gampang. Serius.

Berdiri saja harus pakai teknik. Putar kaki kiri dengan sudut 45 derajat lah. Arah kaki kanan ke muka lurus lah. Setelah itu bengkokkan lutut kanan sedikit di atas garis lutut sebelah kiri. Biar apa coba? Ya, tentu saja biar seimbang plus terlihat lebih ramping. Gitu katanya.

Belum lagi aku harus belajar poker face. Sama sekali gak boleh senyum. Padahal senyum itu kan ibadah ya? Tapi saat melenggok, aku harus menatap lurus ke depan dengan wajah angkuh. Bukan sombong lho ini, tapi katanya biar orang-orang fokus ke pakaian yang kita peragakan bukan pribadi kita yang mereka perhatikan.

Sumpah, awalnya ribet banget. Aku yang notabene serampangan, berdiri semau dewe', cengengesan, seneng guyon (becanda) harus nangis gara-gara latihan berdiri dan berwajah datar ini. Apalagi yang ku perjuangankan sampai begini, kalau bukan demi jadi model profesional.

Itu baru latihan tahan senyum dan latihan berdiri doang . Belum latihan jalan, kelas akting, tata rias, tata rambut sama koreografi dan masih banyak lagi. Benar-benar di push biar multitalenta.

Tapi belum apa-apa, aku udah nyerah duluan. Frustasi rasanya dapat tekanan seperti ini. Jalan salah sedikit saja, pantatku di teplok pakai tongkat panjang. Gak sakit sih, cuma kesal aja. Udah kayak anak bayi di lihatin latihan berdiri dan berjalan doang. Bedanya, kalau bayi di kasih semangat riang gembira. Lha aku? diomeli sambil di geplak.

Dan tiap aku ngeluh, Mama di ujung tempat aku latihan, melotot sambil mulutnya komat-kamit seakan mau telan aku hidup-hidup.

Apalagi coba yang bisa aku lakukan selain nurut? Mau melawan takut kualat. Walau dalam hati misuh-misuh kesal sampai sengaja bibir di monyong-monyongin depan Mama, tapi Mama is Mama. Pura-pura gak lihat kalau aku marah. Nyebelin emang Kanjeng Ratu.

Namun, sekesal-kesalnya aku sama Mama, jujur aja aku gak berani bantah Mama. Mama lho ini. Yang melahirkanku. Surgaku masih di bawah telapak kakinya. Walaupun telapak kakinya kasar, tapi surgaku belum pindah ke orang lain.

Meskipun bawel bin cerewet, Mama juga yang rela pijitin kaki aku tiap malam. Katanya, kalau mau sukses butuh perjuangan. Aku cuma mangut-mangut aja. Udah khatam dengan petuahnya yang satu itu. Cukup iya-iya aja apa yang Mama bilang. Asal Mama senang, kupingku juga gak pengang.

Eh tapi serius, awalnya aku sama sekali gaaak tertarik dengan dunia modeling ini. Kalau bukan paksaan Mamaku - yang tentu saja dapat hasutan kakak iparku, aku ogah jadi model. Gak kepikiran sama sekali.

Emang dasar Mbak Gita sial- maksudku Mbak Gita kakak iparku yang super duper cuantiiikk. Mantan model majalah sobek, canda sobek. Mantan model profesional yang beralih jadi emak-emak berdaster, berikut jualan dasternya pakai brand sendiri. Gara-gara hasutannya itu, lambat laun aku jadi beneran menyukai dunia modeling ini. Mungkin aku kualat karena awalnya benci dan terpaksa melakukan ini. Sekarang malah sudah cinta mati, bukan suka lagi. Sampai aku diledekin Mbakku itu.

"Makanya jangan membenci sesuatu, tahu rasa kan sekarang. Cinta sama benci itu beda tipis. Sebel, kesel, gak suka tapi tetep keingetan mulu kan? Dulu juga Mbak kayak gitu ke Masmu. Dari benci, kesel malah jadi cinta." Gitu katanya. Itu ngeledek sekalian curhat colongan yang gak kelar-kelar. Apa hubungannya dunia model sama cinta-cintaan yang itu coba?

Walaupun Mbak Gita sering ngeledek, gitu-gitu dia support sistemku nomer wahid. Dari jaman masih pacaran sama Masku, dia jadi fans berat aku. Tiap ketemu kerjaannya muji-muji aku terus. Katanya wajahku itu ngejual. Halah, udah kayak orang dagang aja.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang