Perihal Gamang

3.1K 317 12
                                    

Yang nunggu BasYang mana suaranyaaa?
Yuk, di iqro. Biar gak perlu lama-lama. Enjoy...

✨✨

Sepanjang perjalanan pulang, aku cuma bisa bungkam. Padahal Mbak Retno mengajakku bicara banyak hal, tapi ku tanggapi sekedarnya.

Entahlah, rasanya jiwaku melayang mendengar pengakuan Nico tadi. Hati dan otakku berperang. Hatiku percaya akan ucapannya. Tapi nalarku menyangkalnya.

Untungnya Mbak Retno cukup paham kalau aku lagi begini. Dia cuma menyalakan musik buat mengisi sepi untuk menghilangkan rasa suntuk.

Namun masih saja aku gak habis pikir. Kenapa Nico yang harus mengalami hal itu, Tuhan? Nico orang baik. Aku nyaman sama dia. Aku juga mencintainya. Bahkan, rasa sayangku tak luntur sekalipun Nico ninggalin aku gitu aja. Buktinya, aku gak bisa marah, benci atau ngamuk-ngamuk sama dia. Aku malah menerima semua kejujurannya. Dan sedikit iba walau sebenarnya aku di sini yang jadi korban.

Cuma tetep saja rasanya semua itu kayak mimpi. Kebersamaan kami bukan hitungan jari seperti aku mengenal si Babas. Aku tahu baik dan buruknya Nico. Aku tahu apa yang dia suka dan tidak dia sukai. Aku tahu kapan Nico marah, kapan Nico lagi bete. Aku tahu makanan kesukaannya. Sampe brand baju yang sering dia pake, aku tahu semuanya. Tapi kenapa? Kenapa aku bisa luput dari hal yang satu itu?

Di depanku, Nico tidak pernah menunjukan ketertarikan pada lelaki sejenisnya. Tapi kenapa? Lagi-lagi otakku tak terima.

Apalagi di sini, ternyata akulah selingkuhannya. Dia bahkan lebih dulu berhubungan dengan Boy. Astagaaa... Apa waktu Boy curhat dulu, dia sudah merajut kasih dengan si Nico? Gila!

Aku mendesah keras. Rasanya frustasi. Tapi tepukan Mbak Retno di lenganku membuatku menoleh seketika.

"Istighfar kamu. Bersyukur Tuhan gak menyatukan kalian," ujar Mbak Retno seolah mengerti apa yang sedang aku pikirkan.

"Mbak..."

"Hm. Apa? Ngomong aja. Jangan di pendem sendiri," ujarnya melirikku sepintas.

"Mbak... Aku... Aku cuma gak nyangka. Kenapa Nico..."

"Wes tah. Emang udah jalannya. Untung dia ngilang. Kalau nggak, gak kebayang nasibmu gimana, Yang-Yang. Amit-amit kalau kamu lanjut sama dia," Mbak Retno bicara tanpa melirikku kali ini.

"Mbak gak ngeliat yang aneh dari dia selama ini kan? Kenapa bisa sih? Aku masih gak percaya, Mbak," ujarku seraya membalikan tubuhku untuk menghadap Mbak Retno.

"Sama. Mbak juga kaget banget. Masih gak nyangka. Sayang banget si Nico. Udah ganteng, pinter, macho tahunya malah begitu," Mbak Retno menggelengkan kepalanya. "Untung aja kemarin dia beneran ngilang. Kalau enggak, kamu-"

"Dia emang sengaja ninggalin aku!" ketusku. "Katanya gak mau ngerusak aku," ujarku sesuai dengan ucapan Nico tadi.

"Baguslah. Dia masih sadar diri. Tapi kenapa dia gak jujur dari awal? Kalau tahu dari awal, kamu gak mungkin terjebak rasa cinta sama dia!"ketus Mbak Retno.

Aku cuma diem. Males ngejelasin kenapa Nico gak jujur dari awal.

"Awas aja kalau nanti kamu masih berhubungan sama dia, Yang," ancam Mbak Retno padaku.

"Ck... Ya sekedarnya aja, Mbak. Yang jelas aku kan udah tahu dia begitu. Dia juga tahu kok, aku udah ada Tian,"

"Bagus kalau dia tahu," jawab Mbak Retno sambil memutar stir. "Moga aja dia gak ganggu-ganggu kamu lagi."

"Mbak hati-hati jangan sampe cerita sama orang lain," ancamku merasa hal ini adalah aibku sendiri karena aku ikut terseret arus si Nico. Walau bagaimanapun, akulah yang jadi tameng di depan orang-orang. 

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum