Perihal Tuntutan

3.9K 390 13
                                    

Sepertinya aku dipaksa keadaan untuk menerima kehadiran si Tian di hidupku. Padahal, kita bertemu bukan dalam ajang perjodohan. Bukan pula karena paksaan. Tapi kok, rasanya digiring ke arah sana. Baik itu oleh keluargaku atau oleh si Tian sendiri.

Beberapa kali aku berusaha mencari alasan untuk menghindar, malah berujung kena batu sendiri. Seperti sekarang, jam tiga subuh, aku dibangunkan dia untuk sahur.

Ya Tuhan. Benar-benar senjata makan tuan.

Nyesel banget aku udah bilang sembarangan kayak kemarin. Dia juga tak gentar membangunkanku. Sampai sepuluh missed call yang masuk di hapeku. Bodohnya lagi, aku lupa meng-sillent hapeku. Alhasil, jam segini aku dipaksa melek. Pantesan aja, pas tidur kok malah mimpi tentang dia. Ternyata, si Babas memang menghantuiku.

"Makan yang banyak, Yang," ujar si Tian sambil melihatku mengunyah roti.

"Ngantuk, Mas," jujurku.

Dia cuma tersenyum melihatku.

"Mas tidur aja lagi," titahku. Males lho aku kalau harus video call terus.

"Tanggung subuh. Tadi Mas sudah tidur kok," jawabnya.

Jujur aja, dia bangun tidur kok masih rapi gitu? Rambutnya gak acak-acakan. Pakai setelan piama pula. Jarang banget aku lihat laki-laki yang serapi dia saat tidur. Mas Puja aja sukanya pamer ketek kalau tidur. Malah, kalau lagi gerah banget, Mas Puja gak pakai baju sama sekali. Udah gitu tidurnya kayak mayat. Sampai pernah aku jahili dengan menggunting separuh bulu keteknya, dia masih pules aja. Eh aku sendiri yang gak kuat menahan tawa sampai gak sanggup lagi lanjutin guntingin si bulu ketek karena takut kulitnya ke gunting juga.

Tapi melihat si Babas selalu rapi dan wangi. Gak pernah aku melihat dia berantakan. Kayaknya tidur juga boro-boro ileran atau ngorok.

"Mas sengaja bangun buat bangunin aku?" tanyaku penasaran.

Dia mengangguk, "Mas gak tega kalau kamu puasa tapi gak sahur," jawabnya membuatku sedikit tersentuh.

"Makasih, Mas." Aku tersenyum tulus sama dia.

Tadinya aku mau bohongi dia dengan pura-pura puasa aja. Tapi akhirnya jadi niat buat puasa beneran. Gak mau nambah dosa lagi deh. Lagian, lumayan bermanfaat juga si Tian. Bisa jadi alarm buatku.

Tapi, bukan berarti aku bakal luluh begitu saja sama dia, ya. Aku hanya menghargai usahanya. Baru juga segitu, belum apa-apa. Waktu pacaran dulu, aku sering dibangunkan mantanku juga. Malah sering begadang sambil teleponan, sampai pagi pula. Jadi, usaha si Tian kali ini, ya... biasa aja. Masih setara sama cowok yang dulu dekat denganku.

Lagian, cowok biasa gitu kan? Giliran ngejar-ngejar, kelihatan cinta mati. Dibela-belain banget. Tapi pas udah jadi pacar, lambat laun semuanya memudar juga. Udah kembali lagi ke setelan mereka seperti biasa.

Dan, bisa aja si Babas juga sama kayak mantan-mantanku dulu. Sekarang semangat dan antusias, tapi lama-lama pindah haluan sama cewek lain. Atau bisa jadi kayak si Nico — teman sesama model yang terakhir dekat denganku. Yang bisanya cuma ghosting doang. Sampai hari ini, makhluk itu gak ada lagi kabarnya. Entah dia masih hidup atau enggak.

"Besok kerja di rumah lagi, Yang?" tanya si Babas membuatku menatap layar hape kembali.

"Hmm... gak tahu juga sih. Kemarin ada tawaran pemotretan buat brand lokal," jawabku.

"Kamu ambil?"

"Pasti lah. Masa rezeki di tolak," ujarku membuat si Babas menarik sudut bibirnya ke atas.

"Pemotretan apa? Pakaian atau apa?" tanyanya.

"Pakaian dalam," jawabku asal.

Eh, Ya Tuhan... malu-maluin ini mulut. Sembarangan banget sih!

"Kamu—"

"Becanda, Mas. Kalau gak salah outer gitu." Duh, hampir aja dia mikir aku cewek yang aneh-aneh.

"Bercandanya gak lucu, Yang," ujar si Babas serius. "Boleh gak Mas minta sesuatu dari kamu?" tanyanya.

"Apa?"

"Please, tolak tawaran yang... mmm... Sekiranya mengharuskan kamu berpakaian terbuka, Yang," pintanya.

Aku juga tahu diri lah. Tapi ngapain sih si Babas sok ngatur-ngatur? Siapa dia? Saudara bukan. Pacar juga bukan.

Biar begini-begini juga, aku gak sembarang ambil job. Kalau sekiranya pemotretan untuk iklan bikini, udah jelas aku tolak. Tapi kalau cuma terbuka sedikit, cuma kasih lihat udelku yang gak bodong, perutku yang rata, masih wajarlah ya... Toh, gak senonoh-senonoh amat.

Tapi menurutku, keseksian itu kan tergantung dari kacamata kita yang melihat. Kalau dari segi agama, memang jelas salah. Wajibnya seorang wanita muslim itu kan berhijab. Beda lagi kalau di lihat dari sudut pandang seni, selama yang kita tampilkan bukan adegan vulgar, mungkin wajar aja. Lagian aku bukan model khusus busana muslim kok. Dan aku sebagai model juga di tuntut untuk profesional. Jadi gak ada salahnya kan?

"Emang kenapa?" tanyaku.

"Ya, Mas gak suka aja," jawabnya sambil menatapku.

Sengaja aku tersenyum sinis, "hei... Mas kan bukan siapa-siapa aku. Kalau Mas lupa," ceplosku.

"Iya tahu. Saya bukan siapa-siapa kamu, Yang. Dan saya juga gak berhak larang-larang kamu. Tapi saya sedang berusaha untuk menjadi bagian terpenting di hidup kamu. Entah kenapa, hati saya kok gak rela kalau kamu terlalu buka-bukaan di depan kamera atau di lihat orang banyak," jawabnya.

"Mas, kita sama-sama kerja di bidang yang saling berkaitan. Dan mungkin, bukan sekali dua kali Mas lihat wanita lain berpakaian terbuka. Bahkan mungkin Mas pernah melihat wanita full naked. Tapi selama saya profesional, tidak menjual diri dalam arti yang sebenarnya, why not? Saya juga masih tahu aturan," ketusku.

Apaan sih, dia jadi sok posesif gitu? Aku emang gak pernah ambil job seperti itu, tapi kalau tiba-tiba ada yang sok-sok-an ngatur, malah jadi gerah juga.

"Iya sih. Cuma—"

"Saya gak suka loh, belum apa-apa Mas udah ngatur-ngatur. Gak kebayang ke depannya seperti apa!" gerutuku.

"Oke. Maaf kalau saya salah, Yang. Saya cuma mengungkapkan isi hati saya. Tapi kalau kamu tidak berkenan, jangan ditanggapi ucapan saya tadi," ujarnya.

Aku tahu kok, dia kayaknya kesal sama aku. Tapi bodo amat. Kalau aku nurut, bisa-bisa dia besar kepala. Terus kedepannya dia bakal seenaknya mengatur hidupku. Dih, enak aja!

"Saya mau ke toilet, Yang. Kamu jangan lupa minum vitamin ya... Gak apa-apa kan kalau saya tutup duluan teleponnya?"

Tuh kan. Pasti dia kesel sama aku. Cara bicaranya aja jadi formal lagi. Biasanya Mas-mas-an. Ini balik lagi ke mode 'saya'.

Eh kalau di pikir-pikir, sejak kapan aku sama dia ngomongnya jadi aku-Mas-an? Kok, aku baru sadar sih?

"Thanks Mas udah bangunin."

"Ya. Selamat berpuasa, Yang."

Dan seperti biasa, dia langsung matiin sambungan video call kami. Huh, dasar Om-Om sensian. Sok ngatur. Atur aja sana, hidupmu sendiri!

Lihat aja, setelah aku buat kesal, dia bakal menghilang kayak si Nico atau enggak?



.
Assalamu'alaikum bestiee... Mohon do'anya untuk kesembuhanku. Mudah2n bisa normal lagi seperti sedia kala. Bantu do'a ya teman-teman.
Oh, bantu vote juga (teuteup) hehe... Makasih...

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang