Perihal Menghilang

3.9K 402 15
                                    

Sudah kuduga, si Babas memang bermental slime kayak si Nico. Seharian ini, dia sama sekali gak menggangguku. Mana yang katanya janji mau hubungi aku saat coffee break, lunch, tea time, sama dinner? Meeh... dusta!

Baru aku ajak debat begitu, si Babas udah gak terima. Padahal cuma gitu doang, tapi dia langsung mundur. Gimana di kasih masalah yang pelik? Kayaknya bakalan kabur.

Laki-laki memang begitu kan? Hobinya obral janji kayak kader partai yang lagi nyaleg. Selain itu, kaum mereka emang bisanya gombal doang. Untung kali ini aku gak mudah luluh seperti waktu di dekati si Nico kemarin.

Keledai aja gak jatuh di lobang yang sama. Masa aku yang cantik dan pintar ini bisa terjebak dua kali oleh gombalan laki-laki? Apalagi yang menjeratku kali ini, Om-Om kayak si Tian. No way!

Sebetulnya dari awal si Babas Tumbas memang sudah mencurigakan. Mulutnya manis, semanis madu. Rayuan mautnya mematikan. Emang tipikal player tingkat Om-Om genit sama kayak sobatnya si Mas Andi. Pantes aja, dia belum nikah sampe sekarang, ternyata sukanya menclak-menclok cari mangsa untuk disantap. Tapi untungnya aku yang berakal sehat ini, tak mudah dia taklukan.

"Kenapa lihat hape terus sih, Yang? Resah ya, gak di hubungi Masmu?" sindir Mbak Retno padaku.

"Apa sih, Mbak? Gak jelas banget!" ketusku.

"Ciee... Bete yang nunggu kabar," godanya lagi.

"Siapa yang tunggu kabar? Aku cuma lemes, tahu!"

"Lemes bestie, gak di hubungi Ayank," ledek Mbak Retno sambil tertawa.

Ini orang kenapa sih? Gak berhenti godain aku terus. Makin sini Mbak Retno kayaknya makin jadi aja.

"Mbak, aku lagi puasa. Jangan mancing emosiku," ketusku.

"Salut deh sama Masmu. Belum apa-apa udah bikin Yayang jadi religius begini." Mbak Retno bener-bener gak berhenti menggodaku.

"Heh! Aku tiap tahun bayar hutang puasa ya! Bukan mendadak religius!" ketusku.

Enak aja dia bilang tiba-tiba religius. Itu kebetulan aja aku terjerumus dalam kebohonganku sendiri. Lagipula, bohong juga pada akhirnya berujung dengan kebaikan untuk diriku sendiri. Lumayan, mengurangi hutang puasaku juga. Bukan karena si Babas Tumbas, terus aku jadi religius. Dia hanya kebetulan saja mau bangunin aku. Padahal tanpa di bangunin dia pun, kalau aku mau puasa, ya puasa aja.

"Ya tapi kan, baru sekarang kamu puasa lagi. Padahal ramadhan udah lewat beberapa bulan. Kalau kamu niat bayar hutang, udah dari kemarin-kemarin kali," Mbak No gak mau kalah.

"Ya suka-suka aku lah mau bayar hutang puasa kapan pun. Yang penting kan di bayar. Emangnya Mbak, gak pernah bayar hutang puasa!" ketusku. Aku gak mau kalah. Banyak ngalah sama Mbak Retno bikin dia makin menjadi. Emang harus adu urat kalau sama dia. Biar gak semakin merajalela.

"Sembarangan! Bayar lah. Masa tiap bayar harus bilang-bilang kamu?"

"Harus lah. Biar pas Mbak bayar hutang, aku sengajain makan makanan favorit Mbak biar Mbak ngiler," sindirku.

Mbak No cuma mendengkus. Kalah juga kan dia? Jangan dikira aku gak berani sama Mbak No. Selama ini, aku cuma malas debat aja. Gak mau buang-buang waktu dan tenaga cuma buat hal-hal yang gak ada manfaatnya.

"Yowis, aku pulang ah," ujar Mbak No sambil membereskan peralatan endorse.

"Kok pulang tho?" tanyaku kaget.

Mbak No diam gak menjawab. Kan, giliran meledek orang lain jago banget. Pas dibalas masa marah?

"Mbak, sampean marah?" tanyaku akhirnya. "Jangan ambekan, Mbak. Aku aja sering digituin sama Mbak tapi biasa aja. Mbak baru aku balas begitu, udah ngambek," sindirku.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang