Perihal Tak Terduga

6.1K 613 48
                                    

Jam lima sore, aku sudah standby di rumah Mbak Ellen untuk melakukan gladi bersih setelah sebelumnya — aku, Mbak Ellen, Mas Andi dan pihak EO meeting bersama beberapa hari yang lalu.

Mas Andi sempat bilang padaku untuk melaksanakan acaranya secara santai. Tapi nyatanya, kedua belah pihak keluarga tidak setuju. Mereka tetap ingin melakukan pertunangan secara formal seperti pada umumnya. Maklum lah ya, yang namanya orang tua biasanya gak mau lepas dari tradisi dan adat istiadat.

Aku sebagai pihak luar, hanya mengikuti apa yang mereka minta. Toh, sebagai MC, aku cuma menjalankan runtutan acaranya saja. Dan semua persiapan segala macam, sudah ada pihak EO yang bertugas.

Untung saja mereka akhirnya mau menggunakan jasa EO, kalau nggak, aku bakalan ikut repot. Apalagi Mbak Retno mendadak meriang dari kemarin. Alhasil, aku sekarang sendirian gak ada yang menemani. Biasanya, Mama yang mendampingi kalau Mbak Retno berhalangan. Tapi kali ini, Mama juga harus awasi si bocil karena orangtuanya ke luar kota. Yowislah, sendiri aja kayak ban sirkus.

"Mbak, ini kan nanti ada penyampaian maksud dan tujuan rombongan pihak laki-laki, bisa 'kan kalau ditambah dengan permohonan izin melangkahi kakaknya Ellen juga?" tanya Ibu-ibu berwajah bule yang ternyata Mamanya Mbak Ellen.

Keren lho, Mamanya Mbak Ellen walaupun bule, tapi melokal. Kalau ngomong sama aku, ada medhoknya sedikit. Malah bicara bahasa Indonesianya udah fasih banget. Asli, gayanya kayak emak-emak Indonesia. Daster for life banget. Walaupun dasternya bukan daster premium buatan Mbakku, tapi tetep bikin Mama Mbak Ellen terlihat elegan. Padahal cuma pakai daster lho. Pantes aja beliau gak setuju acara pertunangan anaknya dilakukan secara santai.

"Nanti yang minta izinnya siapa Bu?" tanyaku heran. Biasanya acara tunangan gak ada acara minta izin buat melangkahi kayak gini. Tapi sebagai MC, aku ya nurut aja.

"Ellen sama Andi. Bisa kan?" tanyanya.

Aku membuka kertas rundown acara yang sudah ku buat sambil memperlihatkan pada Mamanya Mbak Ellen.

"Nah, pas ini saja Mbak. Jadi begitu kami menerima lamaran Andi, sebelum penyematan cincin, mereka berdua minta izin dulu gitu lho sama Tian," ujarnya seraya menunjuk bagian inti acara.

Sebentar.

Tian?

"Tian?" tanyaku pada akhirnya.

"Iya. Kakaknya Ellen. Tulis saja Sebastian, Mbak," pintanya padaku.

Sebastian?

Sebastian si Babas Tumbas yang itu bukan sih?

"Beres semua Mam?" tanya seseorang menghampiri kami.

IYA YANG ITU, YAAANG!

Ya Tuhan.

YANG ITU.

Yang manggil Mam sama Mamanya Mbak Ellen.

Berarti...

Mati kon, Yang!

"Hai, baru datang?" sapa Mama Mbak Ellen sambil mengecup pipi anaknya alias si Babas Tumbas itu.

"Iya. Tadinya aku mau ganti baju dulu di rumah, tapi si Ellen berisik banget, minta aku buru-buru kesini," jawabnya tanpa melihatku. Asli. Aku gak di lirik sama sekali sama si Tian.

Sialan.

"Maklum, dia nervous juga kali. Lagian, ngapain pulang ke rumahmu dulu? Emang kamu tamu undangan? Datang pas acara di mulai. Harusnya kamu yang urus ini semua. Kasihan Andi sama Ellen malah sibuk sendiri." Omel Mamanya Mbak Ellen. Sumpah, ngomelnya aja masih terdengar halus banget di telingaku. Beda banget sama Kanjeng Ratu yang selalu pake urat kalau ngomong.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now