Perihal Pengakuan

3.2K 322 23
                                    

Dan di sinilah kami berada, setelah Nico mendatangiku tadi. Di sebuah cafe kecil yang terletak tak jauh dari rumah duka.

Nico sengaja mengajakku pergi untuk berbincang empat mata denganku. Sebenarnya aku udah muak. Tapi sisi lain hatiku penasaran akan alasan Nico kenapa dia tega meninggalkanku tanpa sepatah katapun.

"Sehat Ko?" sapaku basa-basi karena dari tadi Nico masih bungkam.

Nico hanya mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Matanya sembab, tubuhnya terlihat lesu. Mungkin dia tak tidur semalaman.

"Yang, aku mau minta maaf," cicitnya dengan suara sedikit parau kemudian dia berdeham.

"Buat?" tanyaku penasaran.

"Buat semua yang udah aku lakuin ke kamu," ujarnya.

Suasana hening mendominasi kami. Aku tak tahu harus berkata apa pada Nico. Untuk sekedar marah, rasanya sudah basi. Apalagi kini aku sudah mempersilahkan orang baru mengisi hatiku. Dan untuk meminta penjelasannya pun, aku tak kuasa setelah tadi Mbak Retno sempat berbisik kalau Nico pacarnya Boy. Sumpah, aku tak percaya. Rasanya pengin tak geplak mulut Mbak Retno, ngegosip gak kira-kira.

"Are you oke, Ko?" tanyaku. Alih-alih membahas hal yang lalu, aku malah merasa prihatin melihat kondisinya yang berantakan.

Nico menatapku, ku lihat air bening mulai menggenangi matanya. Buru-buru Nico mengerjap seraya menoleh ke arah lain.

"Aku sudah jahat sama kamu, tapi kenapa kamu masih aja baik, Yang?" gumamnya yang masih ku dengar.

Ku hela nafas panjang sebelum menjawab ucapan Nico. "Ko, jujur aja aku marah. Aku kecewa. Aku benci. Aku... Aku gak tahu harus bicara apalagi sama kamu setelah apa yang kita lalui bersama. Aku pikir, kita punya rasa yang sama. Nyatanya di sini, hanya aku yang melambungkan asa setinggi langit sama kamu, Ko. Aku malu. Selama ini aku anggap Koko orang yang spesial buatku. Aku bahkan menentang keluargaku yang tak setuju dengan kedekatan kita. Tapi ternyata-"

"Maaf," potong Nico sambil menatapku. Wajahnya masih ganteng seperti biasa walau raut duka begitu ketara di sana.

"Maafkan aku, Yang. Aku... Aku... gak bisa menolak sisi lainku. Sekuat tenaga aku berusaha menolak, nyatanya dorongan itu lebih kuat," terangnya.

Menolak apa? Dorongan apa? Jangan bilang kalau yang diucapkan Mbak Retno tadi benar adanya.

"Aku sayang kamu, Yang. Aku... Aku gak mau merusak kamu dengan aku yang begini," jawabnya.

"Begini gimana?" tanyaku akhirnya.

Lama Nico terdiam. Jemarinya bermain di atas meja seperti orang bingung. Aku hanya menatap kelakuan Nico tanpa bicara.

"Aku..."

"Aku..."

"Aku bisexual, Yang. Maaf, aku..."

Ku pijit pelipisku pelan. Rasanya tak percaya dia mengakui kalau dirinya... Tuhan, kegilaan macam apa ini?

Nico langsung terdiam melihatku kecewa. "Maaf, Yang. Aku tiba-tiba menghilang karena sejujurnya aku gak sanggup kalau ada kata perpisahan diantara kita. Aku teramat sangat nyaman dengan kamu. Aku sayang kamu, sangat. Tapi aku juga gak mau ngerusak kamu dengan aku yang udah... kotor," terangnya.

"Who is your Bf, Ko? Apa -"

"Boy," cicitnya lemah. "Aku dekat denganmu. Tapi aku sudah berhubungan dengan Boy lebih lama," Nico menunduk. Dia enggan menatap manikku.

"Gila! Kamu kenapa tega sama aku, Ko?" tanyaku dengan suara rendah. Aku berdecak seraya membuang muka. Sumpah, aku masih gak percaya.

"Aku sayang kamu, Yang. Aku sadar aku salah. Makanya aku pergi dari hidup kamu."

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin