Perihal Berkelit

2.9K 339 16
                                    

Melek teknologi bukan berarti melek pergaulan. Padahal, anak jaman sekarang masuk generasi Z. Semua serba canggih dan milenial. Mobil aja udah pake tenaga listrik. Sinyal di negara orang udah sat-sat sat-set pake 5G. Kalau di rumahku, malah dari dulu sudah ada piring terbang. Itupun kalau Kanjeng Ratu lagi marah, canda denk. Mama gak gitu, cuma bikin kupingku budeg aja.

Tapi dasar, yang disampingku ini emang gen A kayaknya. Dia sama sekali buta bahasa gaul. Dan kayaknya bicara sehari-haripun bahasanya formal dan normal. Jadi gak paham kalau aku ngomong aneh sedikit. Pasti tanggapannya 'maksudnya gimana? Apa tuh?' kuper banget sih MastengBul (Mas setengah Bule).

Padahal si MastengBul berada di lingkungan yang anak-anaknya pada gaul abis waktu aku lihat di kantornya. Apalagi kerja di media. Harusnya dia paham bahasa-bahasa anak muda sekarang. Tapi kenapa dia begitu kolot? Om-om mainnya sama bahasa pemograman terus sampe gak tahu bahasa-bahasa jaman now. Greget jadinya...

Dan, yang lebih ngeselin, dia kayaknya ndableg. Gak paham kalau aku kodein. Masa aku harus to the point juga sama kayak dia? Kan... Jadi gimanaa gitu...

Bukan rahasia lagi kalau cewek senengnya main kode. Untuk cowok normal, biasanya mereka paham dan peka. Minimal menebak-nebak lah apa maunya cewek. Atau biasanya mereka bertanya secara langsung. Itu yang aku rasain selama pacaran dengan mantan-mantanku. Bahkan si Nico juga. Tapi kenapa Om yang satu ini gaaakkk ngerti-ngerti. Heran.

"Maaf kalau Mas gak paham bahasa gaul, Yang," ujarnya sambil menatapku.

Sumpah, gegera aku bilang 'B aja' bahasan si B ini jadi panjang kali lebar banget. Kayaknya kalau aku bilang metong aja dia mikirnya motong kalau nggak lontong kali ya?

"Ya, intinya sekarang aku ngerasa gak terusik dengan omongan Mas kalau misal orangtua kita harus bertemu," ujarku jujur setelah lelah menjelaskan perkara si B.

"Tapi tadi kamu bilang nyaman. Maksudnya kamu nyaman kita begini atau nyaman-nyaman aja orangtua kita bertemu?" tanyanya lagi yang belum aku jawab karena tengsin.

"Skip deh Mas untuk pertanyaan itu. Mas kan udah bilang kalau Mas mau mundur setelah orangtua kita ketemu," sindirku. Moga aja dia peka kalau digituin.

"Kalau boleh sih, Mas maunya ya tetap bisa menjalin hubungan sama kamu. Tapi Mas gak mau maksa kayak kemarin," jawabnya.

Paksa aku, please...

"Hubungan apa dulu? Saat ini kita kan sedang menjalin hubungan—"

Si Babas tersenyum lebar karena kegeeran.

"Pertemanan Mas," ujarku sambil menepuk bahunya. Si Babas melengos sebal membuatku terbahak seketika.

"Kenapa sih?" tanyaku.

"Mas pikir kamu bakal jawab hubungan yang spesial," ujarnya cemberut.

"Mau banget gitu?" tanyaku merasa ada kesempatan.

"Iya. Tapi gak mau maksa kamu lagi," jawabnya seraya melirikku.

"Terus maunya gimana?" tanyaku lagi. Coba, dia paham gak kalau aku giniin?

"Hm... Terserah kamu aja. Mas ngikut. Mas gak mau bikin kamu stres atau sakit hati sama Mas," jawabnya.

Aku mengambil botol minuman milikku, "kita bahas apa sih ini Mas? Rasanya gak jelas," kekehku lalu meneguk minuman yang berhasil kubuka.

"Gak tahu. Mas ikutin bahasan kita aja," si Babas ikut mengambil minuman.

"Terus orangtua kita buat apa ketemu? Maksudnya tujuannya apa?"

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now