Perihal Sharing

3.8K 378 19
                                    

"Yang, pinjam hair dryer-mu dong, punya Mbak kok gak nyala," pinta Mbak Gita begitu masuk ke kamarku.

"Ambil aja, Mbak." jawabku seraya meliriknya sepintas saat aku membersihkan wajah setelah kepulang si Babas beberapa saat yang lalu.

"Kenapa pacarmu gak nginep di sini tho Yang? Lumayan jauh lho dari sini ke Kemang," Mbak Gita duduk di bibir kasur sambil memperhatikanku.

"Biarin aja. Suruh siapa tiba-tiba datang ke rumah gak kasih kabar dulu," gerutuku.

"Lho, bukannya senang di datangi pacar. Bela-belain pulang dari Bogor langsung ke sini, gak pulang ke rumahnya dulu."

Pacar-pacar terus. Gak Mama, gak Mbak Gita, sama aja. Malah si Babas sendiri sekarang melabeliku sebagai calon istri segala. Bikin pusing.

"Eh tapi Yang, buat yang ini, bukan cuma Mama sama Mbak yang setuju. Masmu juga oke," ujar Mbak Gita membuatku menoleh seketika.

"Kok bisa?" tanyaku heran.

Sebelumnya Mas Puja kan belain aku. Kenapa tiba-tiba pindah haluan? Fix sih, sekeluarga kena peletnya si Babas kecuali aku.

"Tahu kan gimana songongnya Masmu sama laki-laki yang deketin kamu. Gak peduli dia lebih tua dari Masmu atau di bawahnya. Masmu pasti cerca habis-habisan. Tapi tadi pas pacarmu datang, belum juga Masmu tanya macam-macam, pacarmu udah bilang duluan."

"Bilang apa?"

"Ya itu, mau seriusin kamu. Dia tahu kalau Masmu itu kepala keluarga di rumah ini, makanya dia minta izin ingin serius menjalin hubungan sama kamu, gitu katanya."

"Ha?"

"Baru lho, Mbak ketemu orang se-gentle pacarmu itu. Gak pake basa-basi langsung nembak dar-der-dor sama Masmu," ujar Mbak Gita membuatku tak bisa berkata-kata lagi.

"Kalau menurut Mbak, coba kamu jangan menghindar terus, Yang. Mungkin saat ini kamu merasa belum cocok sama dia. Tapi barangkali, malah dia yang terbaik buatmu. Siapa tahu, Tuhan memang kirim dia untuk menjadi pendampingmu, Yang," ujar Mbak Gita menatapku serius.

"Ya, walaupun Mbak tahu seleramu seperti apa, tapi untuk yang satu ini, kayaknya lebih dari patut untuk di pertimbangkan." tambahnya.

"Bentar, Mbak. Tadi Mas Puja bilang apa sama si Tian, Mbak?" tanyaku penasaran.

Mbak Gita tersenyum, "pokoknya tadi lucu banget, Yang. Masmu malah jadi gagap sendiri. Kayak bingung mau jawab apa begitu pacarmu minta izin," Mbak Gita terkekeh

Aku menatap Mbak Gita untuk melanjutkan ceritanya.

"Intinya, semua keputusan ada di kamu. Mas Puja cuma bilang, gak mau adiknya di jadikan mainan. Gitu-gitulah kayak biasa."

Aku bingung mesti gimana. Masih gak ngerti semua ini kenapa jadi begini. Semua pikiran negatifku dan wejangan postif dari keluargaku berenang di kepala. Berlomba-lomba mana yang harus ku dengar lebih dulu. Ditambah, kesepakatan konyol yang tadi dibuat si Babas secara sepihak membuatnya merasa menang telak.

"Udah tidur. Jangan di pikirin. Nanti juga ketemu jalannya. Hatimu juga bakal tahu sendiri kalau dia layak apa enggak buatmu," ujar Mbak Gita seraya berdiri.

"Mbak kenapa dulu bisa yakin menikah dengan Mas Puja?" tanyaku membuat Mbak Gita duduk kembali seraya menatapku.

"Kenapa ya? Mmm... Pertama. Awalnya Masmu ganggu Mbak terus, bikin Mbak benci tapi juga kepikiran. Ke dua, ya... pokoknya hati Mbak aja yang bilang kalau dialah orangnya. Feelnya beda aja."

"Kadang ya Yang, keputusan menikah itu bukan dilakukan saat kita benar-benar cinta sama dia. Karena pada saat kita tergila-gila, justru akal kita tidak bekerja. Tapi pikirkan menikah itu saat lagi waras. Jadi bukan cuma hati yang bicara. Tapi logika juga bekerja."

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now