Perihal Bahasa Gaul

2.9K 295 16
                                    

"Ada lagi yang mau Mas ceritain ke aku?" tanyaku setelah mendengar pengakuan si Babas tadi.

"Gak ada. Cuma itu aja sih. Kamu keberatan?" tanyanya.

"Boleh jujur?" aku tersenyum sungkan sementara si Babas mengangguk.

"Sebenarnya bukan keberatan, Mas. Hanya saja, kita bertolak belakang. Aku orangnya biasa aja. Gak rapi-rapi banget. Gak suka beres-beres. Gak suka masak juga karena Mama gak pernah menuntutku untuk membantunya di dapur. Apalagi maaf, dengan profesiku itu, Mama menjaga sekali tubuhku. Mama takut aku kena cipratan minyak panas, air mendidih, dan lain sebagainya. Tapi bukan aku bermalas-malasan juga, aku suka kok bantu-bantu Mama. Nyapu, ngepel, beresin kasur, atau angkat-angkat apa gitu, aku masih suka lakuin. Cuma semua itu gak jadi kewajiban."

"Sekarang aku bingung dengan kita yang bertolak belakang, Mas. Aku takut, aku yang begini, ketemu Mas yang super apik, nanti yang ada malah berantem gitu lho. Nanti takutnya aku salah pake barang Mas, Mas marah-marah sama aku," akuku. Mending berterus terang dari sekarang kan? Mumpung semuanya belum terlambat. Lagipula, dalam sehari ini kenapa bahasan kita berat banget sih? Seolah mau nikah besok aja.

"Masalah itu, sudah Mas pertimbangkan dari awal. Kita hanya perlu saling mengerti satu sama lain. Bukan sekedar komunikasi saja."

"Belajar dari masalah kita kemarin, seandainya kita berjodoh, Yang. Mas gak akan mengekang kamu. Pertama, kamu boleh bekerja seperti biasa. Mas yakin, kamu bisa membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Kedua, untuk pekerjaan rumah, biar Mas yang mengerjakan. Masalah masak, biar Mas juga. Kamu tolong bantu semampu kamu aja seperti di rumah kamu. Atau bila perlu, kita pake Mbak yang bantu beres-beres. Kalau misalkan kita sibuk, untuk makan kita pesan catering langganan Mas. Atau makan di luar. Flexible. Mas bisa ngikutin kamu. Pokoknya Mas gak mau membebani kamu karena Mas begini. Hanya saja, Mas minta kamu paham kalau Mas gak suka melihat rumah berantakan atau barang tidak disimpan di tempatnya. Mas marah atau enggak, ya... mas gak bisa jamin Mas bakal selalu sabar. Tergantung sikon dan mood juga kan. Cuma Mas minta segala sesuatunya teratur. Karena kan semuanya untuk kita juga. Cuma itu aja. Gak masalah kan?" tanyanya menatapku lekat.

"Seandainya, ada yang kurang dari Mas, tolong kasih tahu. Begitupun jika Mas ada yang kurang srek dari kamu, Mas pasti bilang. Intinya, komunikasi dan belajar saling memahami," ujarnya panjang lebar.

Aku mengangguk. Kalau dia bersedia untuk melakukan pekerjaan rumah, dengan semua aturannya, ya udah. Gak masalah. Malah bagus, aku gak usah repot-repot ladenin dia kan ya? Tinggal ladenin di ranjang aja. Eh, ngeres pikirane!

"Gimana menurut kamu?" tanyanya masih menatapku.

"Aku setuju aja sih Mas. Jalani aja dulu. Toh, kita gak bakal nikah besok juga," ujarku kemudian menyeruput kembali air mineral di tanganku.

"Kalau Mas mau besok gimana?" tanyanya membuatku tersedak seketika.

"Pelan-pelan, Yang," si Babas bergerak mengambil tisu untukku.

Aku melotot, "gil-"

"Becanda, Sayang," cengirnya sebelum aku semprot. Kesal dengan sikap tengilnya, ku cubit pinggang si Babas hingga dia mengaduh.

"Sukurin!" ketusku sambil berlalu. Si Babas hanya terbahak sambil menatapku.

"Becanda, Yang... Masa marah? Gak mungkin besok juga kita menikah. Mas belum siapkan surat-surat. Belum minta izin orangtua juga, bel-"

"Mas!" protes ku. Horor banget rasanya kalau buru-buru nikah. "Aku gak mau pusing dulu mikirin itu, Mas. Kita begini aja, aku masih gak percaya," ujar ku sambil mengacungkan cincin pemberiannya seraya duduk kembali di sofa.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang