Perihal Tamu Tak Diundang

6K 557 34
                                    

Menikmati masa liburan produktif dengan rebahan sambil dengerin musik itu sesuatu hal yang sangat langka buatku. Begini aja aku udah bahagiaaaa banget. Jarang-jarang kan, ada kesempatan kayak gini? Walau di pojokan kamar udah numpuk barang kiriman yang harus aku review, tapi tanpa Mbak Retno, aku mana bisa?

Namun sayangnya, kebahagiaanku itu gak berlangsung lama. Selalu aja direnggut. Kalau bukan Mbak Retno, ya Kanjeng Ratu yang merenggutnya.

Atas titah Kanjeng Ratu, aku di suruh turun cuma buat nungguin paket Mbak Gita. Ish! Kenapa sih, Mama gak bisa lihat anaknya santai sedikit? Mesti aja apa-apa di komplenin. Rebahan di komplain, bangun siang di komplain, padahal aku gak berulah sama sekali. Cuma diam di kamar, tapi Mama bilang gerah lihat aku malas-malasan. Masa aku harus qerja qeras bagai quda terus?

"Jangan di pindahin chanelnya, Yang," ujar Mama sambil berdiri setelah mendengar suara adzan.

"Iya," jawabku singkat.

"Awas, Mama shalat, kamu jangan kabur ke kamar! Tungguin di sini. Takutnya paket Mbakmu datang," titahnya.

"Ck... Iya." Bawel banget sih Kanjeng Ratu.

"Iya-iya tapi nanti kamu tinggalin ke kamar, awas aja!" gerutunya.

"Ya Tuhan, iya Mama... Gak percaya banget sama anak sendiri," jawabku kesal.

Ada gak sih, yang punya Mama tapi gak percayaan sama anaknya sendiri selain Mamaku? Kayaknya kalau ngomong gak pakai ngancam tuh, gak afdhol buat Mama.

Lagian, kenapa juga Mbak Gita malah nge-Mall? Bukannya tungguin sendiri kek paketnya! Masa dari siang, aku kudu diem terus di sini demi nunggu si Kang Paket?

"Permisiiii.... Pakeeett..."

Ah, panjang umur juga si Kang Paket. Setelah ini, aku bisa bebas tugas, terusin lagi rebahan yang sempat tertunda.

"Hai..." sapa seseorang, saat aku membuka pagar.

Aku cuma diam. Tak percaya kalau di hadapanku ini... si Babas Tumbas.

Bukannya tadi Kang paket ya?

"Mas ngapain ke sini?" tanyaku refleks. Itu suara hatiku kenapa keluar begitu saja sih?

"Gak boleh ya?" tanyanya.

"Bukan gak boleh, tadi bukannya kurir yang-"

"Ini. Saya yang ambil," cengirnya tanpa merasa bersalah sambil mengacungkan paket di tangannya. "Buat Mbak Gita kan?" tanyanya.

"Ha? I... Iya."

Dia kenal Mbak Gita?

"Jadi, saya boleh ke sini 'kan?" tanyanya lagi.

"Mas, tahu dari mana kalau ini rumah saya?" tanyaku heran tanpa peduli pertanyaan yang dia lontarkan.

"Ada deh," jawabnya dengan senyum tipis. "Saya boleh masuk?"

"Ha? Oh, boleh-boleh. Silahkan, Mas," jawabku bingung sambil membuka lebar pagar rumah.

"Thanks, Yang,"

"Masuk, Mas," ajak ku pada si Babas begitu masuk ke dalam rumah.

"Hmm..." gumamnya seraya memindai rumahku.

"Mamamu ada?" tanyanya.

"Ada. Oh, Mas kesini mau ketemu Mama?"

"Bisa di bilang begitu," jawabnya penuh percaya diri.

Dia kenal Mama sama Mbak Gita? Kok, mereka gak cerita? Gak mungkin kan, si Babas ini instruktur senamnya Mama dan Mbak Gita?

"Emang Mas kenal Mama?" tanyaku.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now