Perihal Berkaca

3.4K 352 20
                                    

Si Babas menegakkan tubuhnya. Sorot matanya kini serius menunggu jawabanku hingga akhirnya aku mengangguk juga. Oke, gak ada salahnya aku mendengar cerita hidupnya. Daripada kami saling diam, yang ada nanti malah jadi canggung.

"Mas sudah jadi yatim sejak SMA, Yang," ujar si Babas membuka ceritanya tanpa ku minta. "Waktu itu, Papa meninggal karena kecelakaan. Dan sejak saat itu pula, keluarga Mas jungkir balik,"dia menggulirkan matanya ke arah lain seolah sedang mengingat-ingat.

"Singkatnya, setelah Papa meninggal, Mama boyong kami pulang kampung. Mungkin karena di sini Mama merasa tak punya siapa-siapa selain kami anak-anaknya."

"Akhirnya, Mas juga lanjut kuliah di sana. Itu pun karena Mas mendapat beasiswa, bukan biaya pribadi. Dan selama di sana, Mas harus beradaptasi lagi dengan lingkungan baru. Berhadapan dengan orang-orang baru yang super lurus, teratur, dan serius itu benar-benar gak mudah. Meski gak betah, tapi mau gimana lagi? Mas harus bertahan."

"Emang Mas pulang kampung kemana?" potongku.

"Jerman," jawabnya.

"Masa pulang kampung ke Jerman? Aku pikir pulang kampungnya ke kampung beneran. Ini malah ke Jerman. Namanya bukan pulang kampung dong kalau gitu, tapi pindah negara!" protesku.

"Pulang kampung, dong. Kan Mas gak pindah kewarganegaraan. Mas masih jadi warga Indonesia. Cuma, tinggal sementara di Jerman - kampungnya Mama," Si Babas selalu punya jawaban setiap aku protes.

"Jangan kampung dong Mas bilangnya! Kalau kampung ya kesannya pedesaan gitu lho."

"Ya... Pokoknya itu lah," si Babas menyugar rambutnya. "Masa gara-gara ini aja kita debat lagi, Yang?" Kini dia yang protes.

Iya juga. Habis, dia sendiri yang mancing-mancing.

"Mas sih bilangnya kampung. Padahal kan—"

"Iya, Mas yang salah," potongnya. "Intinya, selama di sana. Hidup Mas gak enak. Mas di sana kerja serabutan sambil kuliah buat bantu Mama walaupun memang gak ada kewajiban Mas buat cari nafkah, tapi mana bisa Mas berpangku tangan melihat Mama membesarkan Ellen sendirian 'kan?"

"Sampai suatu waktu, Mas merasa punya skill yang cukup berkaitan dengan bidang kuliah Mas. Mas nekat pulang ke Indonesia sendirian untuk mengadu nasib di negeri sendiri karena makin lama, makin gak betah di sana."

"Dan dari sanalah, Mas coba buat perusahaan kecil-kecilan dengan modal sebuah komputer yang Mas bawa dari Jerman. Benar-benar bawa komputer tabung yang jadul banget ke Indonesia."

"Untungnya, saat itu profesi yang Mas jalani masih sangat langka di sini. Sampai masa transisi — orang-orang mulai mengenal dunia digital — itu berkah tersendiri buat Mas. Mas benar-benar kebanjiran orderan waktu itu. Dari mulai perusahaan kecil sampe perusahaan besar pake jasa Mas. Dan hal itulah yang mengubah hidup Mas secara finansial." Si Babas tersenyum tipis.

"Sebentar, kok kebanjiran orderan? Memang Mas kerja apa waktu itu?" potongku.

"Web design dan programmer," jawabnya. Aku hanya mengangguk sambil ber-oh ria. Percuma dia jelasin kerjaannya, toh aku juga gak paham.

"Makanya, kalau kamu beranggapan Mas 'orang berada', atau Mas bisa di titik ini karena power orangtua dan sebagainya, itu salah besar. Walau kenyataannya dulu, selama ada Papa, Mas gak kekurangan apapun. Tapi, bisa berada di titik ini, Mas berjuang sendiri dari nol."

"Gak ada waktu buat Mas sekedar untuk nongkrong kayak anak-anak pada umumnya. Gak ada waktu untuk pacaran. Pokoknya, target Mas, gimana caranya gue bisa berkembang. Gimana caranya gue bisa berada di posisi yang layak untuk dilirik. Gimana caranya gue bisa beli apa yang gue mau. Jadi wajar kan kalau Mas berbangga diri. Bukan berarti sombong atau bagaimana, hanya Mas merasa perjuangan Mas selama ini ternyata gak sia-sia," ujarnya panjang lebar.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now