Perihal Mama Agresif

3K 306 10
                                    

Pusingku kayaknya bertambah lima kali lipat setelah mendengar penuturan Mama tadi. Nggilaaa... Masa Mama nyuruh aku nikah sama si Babas?

Untung aja aku bisa kasih alasan yang tepat sama Mama, kalau dalam adat jawa katanya gak boleh menikahkan adik kakak di tahun yang sama. Apalagi jarak pernikahannya deketan. Meskipun tinggal di ibukota, Mama yang notabene penganut adat istiadat, gak bisa berkutik lagi. Gak nyerocos lagi nyuruh aku nikah sama si Babas.

Bayangin aja. Baru putus. Denger mantan jalan sama cewek lain. Terngiang-ngiang tulisan si Babas di buku catatan. Mikirin gimana cara balikin buku catatannya. Tiba-tiba Kanjeng Ratu nyuruh kawin sama si mantan. Marai sirah mumet, ati tambah ruwet. (Bikin kepala pusing, hati tambah rumit). Masih mending gak jadi gila beneran.

Pokoknya aku harus-

"Yang... ada Om," teriak si bocil begitu masuk kamar. Seperti biasa tanpa ketuk pintu, itu anak main nyelonong aje.

"Yang, buruan. Itu ada Om..." teriaknya lagi.

"Om siapa?" tanyaku heran. Gak mungkin dia kesini kan?

"Om pizza, Yang," Farel mengguncang lenganku.

"Om pizza? Mami beliin pizza?" Heboh banget itu anak kalau dapat apa yang dia suka.

"Bukan. Itu... Ada Om-"

"Yang, ada Tian di bawah. Kamu kok malah males-malesan?" ujar Mbak Gita begitu masuk kamarku.

"Ha? Siapa Mbak?"

"Ya siapa lagi? Emang Tian gak kasih tahu kalau mau datang?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Ck... Buruan ganti baju," titah Mbak Gita membuatku kayak orang linglung.

"Serius Mas Tian ke rumah?" tanyaku tak percaya.

"Ck... Iya. Cepetan ganti baju. Jangan bikin malu cuma dasteran doang! Harus fresh dong kalau mau ketemu pacar," Mbak Gita masih berdiri nenatapku. "Farel, temani Mami bikin minum buat Om pizza, yuk?" ajak Mbak Gita pada Farel sementara aku masih mematung.

Kenapa si Babas dipanggil Om pizza sama itu anak? Aya-aya wae, dasar!

"Yang... Buruan! Dimarahi Mama, tahu rasa, kamu!" Mbak Gita menakutiku karena aku masih diam tak percaya.

"Aduh, dia mau ngapain sih Mbak?" tanyaku panik.

"Mau jelasin tadi habis jalan sama cewek lain kayaknya," cengir Mbak Gita.

"Dih, itu masih sodaranya, kali," jawabku.

"Iya. Tadi Mbak refleks bilang kalau lihat dia di Kokas. Dan katanya itu sepupu apa iparnya Andi gitu, Mbak lupa," cengir Mbak Gita.

"Iya udah tahu. Terus ngapain dia kesini coba?" ulangku lagi. Merasa bingung juga karena aku sama dia kan udah putus.

"Ya berarti mau ngapel. Kan udah lama dia gak ngapel ke rumah. Ciee... Yayang pacaran," goda Mbak Gita.

"Cieee... Yayang..." Si bocil ikut-ikutan.

"Hus! Anak kecil ikut-ikutan. Kayak yang ngerti aja," protesku pada Farel.

"Ngerti kok. Yayang mau pacaran. Iya kan Mi?" Wajah polos campur sotoynya (sok tahu) itu mirip banget Mas Puja. Nyebelin banget.

"Iya. Bentar lagi nikah," cengir Mbak Gita.

"Ngawur!"

Mbak Gita terbahak melihatku cemberut.

"Dah, sana dandan yang cantik," titahnya lagi.

"Aku... Aku pake baju apa ya?" gumamku.

"Naked aja, Yang. Tian kayaknya lebih suka," goda Mbak Gita.

"Sinting!" ketusku membuat Mbak Gita terbahak seketika.

"Yayang kok ngomong kasar, Mi?" protes si Farel yang mendengarkan percakapan kami.

"Bukan kasar, Yayang lagi nyari anting. Kamu salah denger. Udah, kamu ikut Mami bikin minum buat Om Pizza. Nanti kamu bilang sama Om kalau kamu yang bikin minumannya, ya?" Mbak Gita menarik lengan Farel dan membawanya keluar dari pintu kamar.

Mendadak jantung berpicu kencang, aku sampe bingung harus pake baju yang mana? Dari tadi aku cuma milah-milih baju gak jelas. Mau pake baju formal, masa iya? Ini kan di rumah. Mau pake kaos oblong sama celana pendek, gila aja... Aku gak mau ngulang ke dua kalinya kayak waktu itu. Pake kemeja, kayak orang mau ngelamar kerja. Ya Tuhan, aku harus pake baju apa? Kayaknya aku gak punya baju lain. Duh, bingung.

Stres milih baju, akhirnya aku coba menarik nafas panjang biar gak terlalu panik. Oke, pilih yang bener. Pake dress selutut kayaknya oke juga. Gak terlalu santai, gak formal juga. Lagian, baju ini biasa aku pake buat nge-mall, masih sopan lah ya?

Rasanya de javu banget kayak gini lagi. Asli degdegan parah. Padahal mau ketemu mantan doang. Lagian kenapa sih aku malah kecentilan banget. Ya Tuhan, ini hati gak bisa bohong lagi kalau aku seneng dia datang ke sini.

"Yang..." Mbak Gita memberikan kode padaku begitu aku menuruni tangga.

"Apa Mbak?" tanyaku bingung.

"Gak jadi naked?" usilnya sambil tertawa kemudian menutup mulutnya.

"Gila..." ketusku. Mbak Gita kenapa sih, tengil banget. Kerasukan Mbak Retno kali ya?

"Eh, Mas," sapaku basa-basi.

"Hai, Yang," Babas tersenyum menyambutku.

"Mas Tian telepon kamu dari tadi, katanya gak di angkat-angkat. Whatsapp juga gak dibales. Kamu gimana sih, Yang? Tidur aja kerjaannya," protes Mama saat aku duduk di dekatnya.

"Yayang sibuk ya? Maaf Mas tiba-tiba datang," timpal si Babas. Kalau dulu dia datang tiba-tiba begini, bikin aku kesel. Sekarang kok beda lagi, rasanya... kayak ada manis-manisnya gitu.

"Enggak kok. Maaf, dari tadi aku gak pegang hape," jawabku tak enak hati. Duh, gara-gara mainin ipad, aku sampe gak ngecek hape. Gak kedengeran juga karena hapenya ku pasang earphone bekas tadi dengerin musik.

"Tumben, biasanya kamu gak lepas dari hape," sindir Mama padaku. "Sampe makan aja masih main hape," tambahnya.

Bisa gak sih Mama gak mojokin aku terus? Kebiasaan kalau ketemu si Babas kayaknya hobi banget mempermalukanku dengan ocehannya. Semuaaa dikasih tahu sama si Babas. Aku aja gak pernah tahu kejelekan si Babas apa. Curang.

"Ck... Apa sih, Ma," gerutuku.

"Makanya Mas, Mama heran ada yang mau serius sama Yayang. Wong anaknya ya gini. Coba dipikir ulang dulu sebelum nanti malah nyesel," timpal Mama lagi membuat si Babas malah senyum-senyum gak jelas.

"Ma! Bukannya bagus-bagusin anaknya. Malah jelekin mulu," ketusku.

"Ya, biar Masmu tahu tho. Biar nanti Mas Tian gak protes sama Mama kok anaknya begini," jawab Mama gak mau kalah.

"Enggak kok, Ma. Saya malah bersyukur ketemu Yayang. Hidup saya jadi rame," si Babas tersenyum malu.

Rame aku ketusin. Rame aku galakin. Rame aku jutekin. Gitu maksudnya?

"Ya sukur kalau Mas Tian mau terima Yayang apa adanya begini. Mama sebagai orang tua, bilang dari awal. Biar bagusnya Yayang, Mas Tian yang merasakan sendiri. Biar jeleknya Yayang, Mama yang bilang agar Mas Tian gak denger dari luar sana gitu lho. Soalnya Yayang lumayan sering digosipkan yang enggak-enggak. Mas tahu lah, gimana mulut nitijen-nitijen itu. Ya Mama sebagai orang tua, perlu meluruskan sebelum Mas Tian bawa orangtuanya ke sini.

"Hah? Maksudnya gimana Ma?" tanyaku tak paham.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now