Perihal Bersalah

3.9K 364 15
                                    

Aku gak tahu, sifat jahil itu turunan atau bukan. Yang jelas, semua keluargaku memiliki sifat jahil yang sama. Mau Mama, Mas Puja, bahkan aku sendiri. Oh kecuali almarhum Papa yang lebih kalem dari kita.

Tapi ya gitu, kejahilan kami hanya untuk lelucon atau lucu-lucuan aja - sekedar meramaikan suasana rumah agar gak sepi dan canggung satu sama lain.

Saat ini, yang selalu jadi korban kejahilanku cuma si Farel. Bocah polos yang gak pernah curiga kalau dijahili, membuat seisi rumah ngakak karena kelakuan polosnya. Terkadang, orangtuanya ikut menjahili dia. Tapi tak jarang, mereka juga mengomeliku jika aku sudah keterlaluan menjahilinya.

Tapi, baru kali ini aku dibuat syok gara-gara kejahilanku. Aku gak pernah mikir kalau kejahilanku bisa berakibat fatal bagi seseorang.

Jam lima pagi, aku di telepon si Babas. Awalnya aku kira si Babas bercanda memintaku untuk mengantarnya ke rumah sakit. Karena ku pikir, dia hanya mengerjaiku agar aku bangun untuk menemaninya olahraga. Tapi begitu mendengarnya merintih, aku langsung loncat dari tempat tidur dan pamit sama Mama untuk menemuinya di hotel tempat dia menginap.

Melihatku panik, Mama gak banyak bertanya. Mama malah meminta Mas Puja untuk mengantarku karena takut aku sembrono saat berkendara.

Alhasil, di rumah sedikit heboh karena kelakuanku. Untungnya, Mas Puja juga gak banyak bicara. Mungkin dia masih ngumpulin nyawa setelah di seret Mama untuk mengantarku.

Rasa bersalah akibat kejahilanku, merenggut semua kepercayaan diriku ketika melihat wajah pucat si Babas. Tubuhnya terkulai lemas bahkan badannya terasa dingin saat ku pegang.

Ya Tuhan, gak lagi-lagi aku jahili anak orang. Sumpah, aku kapok sekapok-kapoknya.

Bersyukur aku ditemani Mas Puja masuk ke kamarnya. Dengan gesit, Mas Puja membantu si Babas ke rumah sakit, bahkan Mas Puja juga yang mengurus administrasinya.

"It's oke, Yang. Mas gak apa-apa. Cuma diare sama heartburn aja," ujar si Babas sambil mengelus lenganku.

Melihatnya lemas dengan infusan di tangan, bikin aku semakin merasa bersalah.

"Mas...." Aku gak tahu harus ngomong apa.

"Kamu khawatir banget ya sama Mas? Wajahnya sampai tegang begitu," ujarnya sambil tersenyum.

Gila ini orang, udah aku bikin celaka, tapi dia masih positif thinking aja. Aku malah pengin nangis di buatnya.

"Tinggal masuk ruangan, Yang. Lagi di siapin dulu ruangannya," ujar Mas Puja begitu masuk ke bilik dimana si Babas di tangani.

"Thanks Ja. Sorry kalau repotin," ujar si Babas.

"Never mind. Yang penting udah di tangani. Tapi gue gak bisa temani lo. Gue ada meeting pagi ini," Mas Puja melirikku.

Mas Puja gak ada canggung-canggungnya sama si Babas. Panggilannya itu lho, gak pakai embel-embel Mas atau apa kek. Padahal usia Mas Puja terpaut 6 tahun lebih muda dari si Babas.

"Biar Yayang aja yang jaga lo. Tapi kalau ada apa-apa, kamu hubungi Mas aja, Yang," Mas Puja menatapku lekat.

Aku hanya mengangguk. Gak bisa ngomong dari tadi. Kalau aku ngomong, pasti tangisku langsung pecah.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? حيث تعيش القصص. اكتشف الآن