Perihal Taruhan

3.8K 408 46
                                    

Aku gak ngerti sama hatiku sendiri. Bisa-bisanya dia mau khianati aku. Masa selama aku duduk di samping si Babas, jantungku dibuat ajep-ajep gak karuan. Padahal aku lagi sebel setengah mati lho sama di Babas. Tapi kenapa jadi gini sih?

"Biar aku aja yang gendong Farel, Mas," ujarku saat kami tiba di rumah.

"Gak usah. Tolong bukain pagarnya aja, Yang," jawabnya sambil bersiap menggendong Farel.

"Yang, tolong bawa pizza-nya juga," titahnya lagi.

Aku gak tahu lho si Babas pesan pizza juga untuk di bawa pulang. Kapan pesannya coba? Tiba-tiba tadi waitress nganterin pizza ke meja kami.

"Lho, tidur?" sapa Mama saat kami masuk ke rumah.

"Iya, Tante. Kayaknya kekenyangan jadi cepet ngantuk anaknya," jawab si Babas seolah paham dengan dunia anak.

"Lho, kok dia tidur?" tanya Mas Puja mengulang pertanyaan Mama seraya mengambil alih si bocil.

"Anakmu itu lho Mas, kalau ada maunya ck..." Mama mengusap punggung Farel. "Makasih lho Mas Tian, maaf jadi ngerepotin," si Mama tersenyum manis. Dih!

"Saya senang kok, Tan," jawab si Babas kalem.

Senang lah. Merasa di terima dan di butuhkan. Pasti nilainya makin plus di mata Mama.

"Thanks, Bro. Saya tinggal dulu," ujar Mas Puja.

Bro?

Gak salah tuh? Kok Mas Puja ikutan sok akrab sama si Tian? Jangan-jangan, dia kena peletnya juga setelah ngobrol sama si Babas tadi.

"Mas, makan dulu, yuk? Tadi Tante bikin makanan kesukaan Yayang. Mau ya?" ajak Mama.

"Ma, tadi kit—"

"Boleh, Tan. Kalau gak merepotkan," si Babas memotong ucapanku sambil tersenyum lembut. "Saya juga penasaran masakan Tante."

Huh! cari muka biar makin di sukai Mama.

"Kamu kan udah makan pizza, Mas?" selaku.

"Cuma sepotong, Yang. Gak ngefek di perut Mas," ujarnya kalem.

Iyalah sepotong. Makannya sepotong-sepotong sampai habis tiga potong sendirian. Yang makan sepotong kan cuma aku. Bisa-bisanya dia bohong begitu.

"Alaah... Makan pizza mana kenyang. Pokok'e kalau belum makan nasi, belum makan. Iya tho?" cengir Mama.

Hadeeh... udahlah. Percuma menyela juga, mereka udah masuk ke ruang makan. Walaupun sebenarnya aku sangsi melihat si Babas mau makan lagi karena sepengamatanku selama makan sama dia, dia orangnya gak makan banyak. Tapi, yowislah. Mungkin kemarin-kemarin masih jaim. Sekarang sedikit-sedikit kedoknya mulai terbuka.

"Wah... itu gudeg, Tante?" tanya si Tian begitu Mama membuka tudung saji.

"Suka, Mas?" Mama malah balik bertanya.

"Suka."

"Makan yang banyak kalau gitu," ujar Mama. "Yang, ambilkan nasinya buat Masmu," titah Mama padaku.

"Ma, dia kan— ck...."

Aku langsung berhenti protes begitu mata Mama mau loncat dari tempatnya karena melototiku. Jurus Mama yang paling ampuh, bikin aku ciut seketika.

"Sedikit aja, Yang. Takutnya ngantuk di jalan kalau terlalu kenyang," pinta si Babas.

"Segini kan?" tanyaku mengambil satu setengah centong nasi yang membuatnya melotot hendak protes. Tapi, dia masih kalah dengan plototanku.

"I... Iya udah," ujarnya pasrah, otomatis aku tersenyum licik.

Saatnya balas dendam, Bestieeee... Suruh siapa ganggu hidup aku terus.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora