Perihal Isi Hati

3.2K 325 34
                                    

"Untuk pertama kalinya, saya merasakan debaran yang berbeda saat melihat gadis itu. Debaran yang bertahun-tahun tidak saya rasakan. Debaran yang membuat saya ingin mengejar dan memilikinya."

"Lagi-lagi, semesta memberikan kejutan dengan mempertemukan kami kembali."

"Yayang sepertinya syok berat. Dia menolak mentah-mentah ajakan saya untuk menikahinya, hingga saya malu sendiri."

"Dasar gadis unik, biasanya wanita lain suka mendapat surprise dari seseorang. Tapi dia malah marah. Membuat saya semakin gemas dan penasaran."

"Pertama kalinya begadang hanya untuk membangunkan Yayang beribadah. Meskipun saya tahu, dia hanya beralasan, tapi dengan semangat saya mengikuti alur yang dia buat."

"Gak sia-sia pulang sehari lebih cepat dari tugas kalau pada akhirnya saya bisa selangkah lebih maju untuk memiliki gadis itu."

"Haaaaahh..." Kepalaku rasanya mau pecah saat tulisan-tulisan si Babas menari di kepala.

Perasaanku begitu campur aduk mengetahui isi hati si Babas. Ada rasa senang, sedih, meski awalnya aku begitu takut.

Kenapa dia bisa seyakin itu menyukaiku? Sementara aku sendiri mengalami krisis kepercayaan pada lelaki yang mengaku suka dari pertemuan pertama. Gimana mau percaya ya, orang yang sudah lama kenal aja bisa membuatku kecewa. Apalagi berhadapan dengan orang baru, aku pasti lebih waspada dan tak mudah percaya.

Semua berawal dari pengalaman burukku dengan si Nico kemarin, mengajarkanku agar tak begitu mudah menaruh hati pada lawan jenis. Padahal aku kenal si Nico bukan setahun dua tahun. Beberapa kali kita bahkan terlibat projek bareng hingga membuat kita semakin akrab. Saking akrabnya, aku dan Nico sudah hapal betul karakter masing-masing. Dari mulai sesuatu yang di suka, sampe sesuatu yang sensitif bagi diri masing-masing itu udah gak perlu dijelaskan lagi. Pokoknya, aku sama Nico udah paham satu sama lain. Klop saling mengisi.

Bahkan, komunikasi kami pun layaknya orang yang memiliki hubungan khusus. Cuma sama dia, partner berantem-baikan dan sayang-sayangan berulang-ulang selama beberapa tahun ke belakang. Sampe beberapa kali aku dan Nico masuk akun gosip karena kita memang sedekat itu. Tapi karena bucinnya aku pada si Nico, dulu aku tak menganggap hal itu sebagai beban. Malah aku bangga bisa masuk akun gosip dengan orang yang aku cinta.

Nyatanya, hal itu aja gak cukup. Nico tiba-tiba aja menjauh dan hilang tanpa kabar membuatku penasaran. Beberapa kali aku menghubunginya, tapi nihil. Nico sepertinya mengganti nomor dan benar-benar menghilang tanpa jejak.

Kalau boleh jujur, sampai saat ini aku masih penasaran Nico sebenarnya dimana? Kenapa Nico tiba-tiba menjauh? Padahal kami gak bertengkar. Padahal kami lagi intens-intensnya bertemu. Tapi kenapa dia meninggalkanku di saat aku sudah teramat sangat nyaman dengan dirinya?

Bohong kalau aku selama ini gak kangen sama lelaki sialan itu. Setidaknya, kami mengalami asam garam bersama. Kami berbagi duka dan tawa bersama meskipun keluargaku berulang kali memperingatkan ku agar menjauh dari lelaki itu. Tapi aku tak menghiraukan peringatan mereka. Selama yang aku jalani masih positif dengannya, kenapa aku harus menjauh? Lagi-lagi, mungkin karena aku bucin.

Dan ternyata, lelaki yang ku titipi hatiku beberapa tahun ke belakang — meski tanpa deklarasi status hubungan kami pada orang-orang. Dialah yang mematahkan hatiku dan mengubah cara pandangku pada cinta, entah itu membuatku sulit percaya atau mungkin... Aku sudah mati rasa. Untuk mencoba move on aja aku masih gagal terus, meski dihadapan orang lain aku selalu terlihat baik-baik saja. Tapi tidak dengan hatiku.

Lantas, bertemu si Babas yang tiba-tiba saja ngajak nikah, membuatku kayak orang linglung. Aku takut dia cuma bermain-main dengan hatiku seperti si Nico. Meskipun kata orang jangan suudzon, jalani dulu aja. Tapi tidak semudah yang mereka ucapkan. Bukankah waspada itu sebagai bentuk pertahanan diri agar tidak terjerumus ke lembah yang sama?

Jadi wajar dong, aku terus menerus menolak Tian mentah-mentah karena ya memang gak percaya aja dengan lelaki seperti itu. Apalagi si Babas tergolong agresif dengan cara mendekati keluargaku terlebih dahulu. Jadi membuatku risih dan kurang nyaman.

Tahu kan, kalau sesuatu yang kurang srek dan membuat kurang nyaman kalau dipaksakan itu gimana? Tanya hati masing-masing deh. Karena setiap orang punya persepsi yang berbeda perkara hal ini. Jangankan perkara hati yang rumit. Perkara makan makan nasi Padang pake sendok atau tangan aja masih jadi perdebatan sampe sekarang. Padahal sama-sama makan.

Tapi setelah membaca semua catatan si Babas tentangku, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara balikin buku ini kembali ke tempatnya? Bagaimana aku harus bersikap? Semuanya malah semakin rumit.

Tak dipungkiri, kini aku percaya akan ucapan si Babas padaku berkat buku catatan ini. Walau beberapa kali dia berbohong dengan niatan agar aku memaklumi dan menerimanya. Seperti insiden gudeg dan krecek kemarin yang sebetulnya dia tidak menyukai keduanya, tapi masih memaksakan diri untuk melahapnya sampai tandas. Juga tentang puasa yang aku jalani walau sebenarnya dia tahu aku hanya beralasan. Tapi semua jadi pemakluman tersendiri setelah aku membaca catatannya.

"Jujur aja selama dua minggu gak komunikasi denganmu, Mas menyesal Yang. Mas nyesel kenapa meminta kamu mikir ulang tentang hubungan kita sementara Mas tersiksa dengan rasa rindu Mas sendiri."

Dan sekarang, kamu siksa aku, Mas. Kamu siksa aku dengan rasa bersalah. Kenapa di sini, seolah aku berperan sebagai antagonis yang menolak kebaikan hati seorang pemuda yang mengulurkan tangannya? Padahal awalnya, aku sendiri tak cukup percaya bahwa lelaki itu benar akan menyandingku atau dia hanya sekedar menarik kemudian melepaskanku hingga jatuh terjerembab kembali seperti yang Nico lakukan? Lagi, catatan itu kembali mematahkan semua pikiran negatifku tentang si Babas.

Babas Tumbas :
Mas baru sampe hotel, Yang. Tadi cari McD dulu karena laper banget. Ternyata enak juga makan junkgood malam-malam kalau lagi laper ya? Makasih buat rekomendasinya, Yang. Sayangnya, Mas gak jadi di temani kamu. Selamat beristirahat, Yayang.

Seketika hatiku berdesir membaca chat dari si Babas. Tuhan, kenapa dia masih baik aja sih setelah aku putuskan?

Tanpa sengaja, aku malah menekan tombol telepon dan kaget sendiri saat si Babas langsung mengangkat panggilanku pada dering pertama.

"Hallo, Yang?"

"Mm.. Maaf kepencet Mas," jawabku gugup.

"Oh. Mas pikir sengaja telepon Mas," ujarnya.

"Gak. Cuma kepencet. Udah sampe ya Mas? Selamat beristirahat ya..."

"Kamu juga," jawabnya pendek.

"Ya udah, saya tutup ya Mas," Aku bingung mau ngomong apa lagi.

"Yang..."

"Ya?"

"Kita masih berteman kan?"

Degup jantungku makin tak karuan, "pasti. Mas..."

"Kalau berteman... Mas masih boleh ke rumah?" tanyanya.

"Boleh Mas. Kan tadi Mas gak jadi pamit sama Mama," sindirku.

Aku tahu dari sana dia tersenyum, "maaf... Mas kayaknya gak sanggup bilang sama Mama kamu. Mungkin—"

"Santai Mas. Kita bukan cerai. Gak usah se-formal itu," jawabku. Entah kenapa aku juga malah lega.

"Iya ya? Jadi.... Mas mmm..."

"Apa?" tanyaku lembut. Menikmati suara bariton si Babas yang mungkin ke depannya akan jarang ku dengar.

"Terima kasih Yayang gak benci sama Mas." Ungkapan hati si Babas membuatku tercekat. Seketika suaraku terasa parau.

"Ehm... Saya juga. Terima kasih Mas selalu baik sama saya. Maaf atas kekurang-ajaran saya pada—"

"Oh enggak. Kamu sama sekali gak kurang ajar kok, Yang. Semua yang kamu lakukan, memang teramat sangat wajar," ujarnya seakan memahamiku.

"Maaf saya sering marah-marah ya, Mas," sesalku lagi.

"Yang..."

"Ya?"

"Kamu manis kalau lagi jinak begini."

Eeeeeeaaaaaaa.... Babas masih aja flirting bestieeee...
Weesss bubaar... Bubaar... Yayang Babas mau tamat. Hehehe

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now