Perihal Digodain

3.3K 319 20
                                    

Masih berasa mimpi, aku akan dipinang oleh lelaki berdarah Indo-Jerman. Lelaki yang sama sekali tak pernah mampir di kehidupanku sebelumnya, tapi mampu mengikis benteng pertahanan hatiku secara perlahan. Sekuat tenaga aku mendorongnya menjauh, kalau sudah jodoh, mau bagaimana lagi?

Kini aku legowo menerima kehadirannya. Dengan kedua tangan terbuka, aku menyambut dirinya dihatiku. Meski aku akui, aku belum mencintainya sebegitu dalam, tapi aku berusaha menumbuhkan cintaku untuknya.

Halah, kok jadi melow gini sih? Tumbenan seorang Yayang fasih banget ngomong cinta-cintaan.

"Sudah beres, Mbak Yayang. Mau ganti baju sekarang?" suara lembut milik MuA pilihan Mbak Gita menyadarkanku kembali ke dunia nyata.

"Eh," jawabku spontan.

"Ngantuk ya Mbak? Pasti gak tidur semalaman," tebaknya. Aku hanya tersenyum kecil padahal dari tadi ngelamun soal nasib percintaanku sama si MasBulTeng. "Masih lamaran lho Mbak, nanti pas mau nikah lebih deg-degan lagi," tambahnya.

"Iya Mbak?" tanyaku resah.

"Becanda. Pokoknya nikmati aja, Mbak," tutur Mbak Nia seraya menumpu kedua tangannya dibahuku, menatap lekat manikku dari pantulan kaca. "Rasanya deg-deg serrr," cengirnya masih menatapku. Aku ikut tersenyum lebar.

"Padahal Mbak udah sering tampil dimuka umum ya? Tapi tetep masih gugup," Mbak Nia masih menggodaku.

"Lha yo bedo, Mbak," sangkalku. "Groginya dapat kalau perkara beginian," ujarku jujur.

Mbak Nia terkekeh. "Ya udah, siap-siap sekarang. Atau mau ke kamar mandi dulu? Siapa tahu kalau udah pipis, sedikit plong," tawarnya padaku.

Mbak Gita dapat MuA dari mana sih? Kok baik banget. Paham betul, perasaanku. Kayak cenayang aja.

Tanpa ditawari dua kali, aku bergegas ke kamar mandi. Menetralkan debar jantungku yang semakin menggila seiring berjalannya waktu.

"Mba Yayaang, ada telepon," teriak Mbak Nia.

Baruu aja mau duduk, udah di panggil lagi. Deg-degan aja belum hilang. Akhirnya aku buru-buru keluar kamar mandi.

"Udah mati Mbak teleponnya," Mbak Nia membuka suara lagi.

Hih! Tahu gitu, gak buru-buru. Bergegas ku ambil hp-ku yang kebetulan bunyi lagi.

"Assalamu'alaikum, Mas," sapaku saat ku lihat nama si Babas tertera di layar. Jantungku berdetak lebih kencang lagi.

"Wa'alaikumsalam. Yang, Mas udah jalan ya? Ini baru masuk tol," ujarnya dengan suara tenang.

"Oh, oke..." jawabku sedikit gugup.

"Ya udah. Mas kabari lagi nanti kalau udah deket ya? Atau di chat aja."

"Telepon aja telepon. Biar kita-kita dengerin Tian yang lagi bucin," timpal seseorang dibalik si Babas yang ku yakini  Mas Andi dari suaranya.

"Siapa Mas?" tanyaku.

"Orang gila, Yang. Gak usah di dengerin," jawab si Babas cuek.

"Orang gila mau nganterin yang lagi gila cinta," timpalnya lagi.

"Mas tutup aja, ya? Andi berisik."

"Mending Mas Andi berisik duluan. Dari pada Mas, diem-diem minta Mama lamar anak orang. Parah sih..." kini suara Mbak Ellen menimpali.

"Kita jadi mikir yang iya-iya kan, Beb? Jangan-jangan nanti kita punya ponakan duluan."

"Hus! Udah. Mas Tian lagi tegang, malah pada ledekin," suara ibu-ibu ikut terdengar. Aku yakin, itu Mamanya Mas Tian.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now