Perihal Ancaman

7.9K 654 31
                                    

Antara percaya dan gak percaya, kini aku duduk berhadapan dengan si Babas Tumbas. Tahu gak di mana? Di restoran Jepang. Untungnya aku gak sendirian. Ada Mbak Retno yang menemaniku. Aku juga ogah kalau mesti berduaan bareng dia. Yang ada bukannya kenyang sama makanan, tapi kenyang makan hati.

Aku gak tahu niat dia ngajak makan siang bareng itu tulus sebagai permintaan maaf atas kesalahpahaman tadi atau ada motif terselubung dibelakangnya. Yang jelas, aku dibuat mengangguk menerima ajakannya.

Apalagi Mbak Retno dengan semangat 45 memberitahu jadwalku hari ini. Sebel banget kan? Gak bisa di ajak kompromi banget punya manager. Padahal tadi aku udah bohong ada keperluan, tapi di patahkan gitu aja sama si Mbak Retno ini.

"Kamu gak makan sashimi-nya?" tanya si Babas memecah keheningan setelah makanan dihadapannya tandas tak bersisa.

Selama makan, dia sibuk sendiri sama makanannya. Sampai kakiku dan Mbak Retno senggol-senggolan di bawah meja karena merasa 'krik-krik' banget suasananya.

Meskipun effort Mbak Retno begitu besar untuk mengajak bicara si Babas. Tapi dijawab singkat, padat, dan jelas. Bikin orang yang dengernya jadi ngenes.

"Dia gak suka ikan mentah, Mas. Makan ikan aja pilih-pilih," bukan aku lho yang jawab. Tapi Mbak Retno.

Si Babas mengernyit, "kenapa gak suka? Bau amis?"

"Iya. Apa lagi kalau Mamanya goreng ikan, habis satu botol pewangi ruangan dia semprot-semprot," Mbak Retno lagi yang jawab. Bagus. Aku emang males ngomong sama ini makhluk.

"Sayang banget. Padahal proteinnya tinggi," balas si Babas melirikku.

Kalau gak doyan mau gimana lagi? Mau makanan itu proteinnya tinggi kek, mau vitaminnya tinggi kek, atau bahkan lemaknya banyak, kalau gak doyan, ya gak doyan. Gak bisa di paksain tho? Sok ngatur banget.

"Tapi sayuran suka kan?" tanya si Babas lagi yang masih aku cueki.

"Wah, jangan di tanya, Mas. Dia sama kambing, sepupuan."

Lhaaa, elo dong Mbak, kambingnya. Kan kita sepupuan. Pengen banget ngakak sambil bilang gitu ke Mbak Retno, tapi lagi jaim mode on.

Lagian si Mbak Retno semangat banget jawab pertanyaan si Babas. Tumben banget. Biasanya dia sibuk makan. Apalagi di resto mahal kayak gini.

Si Babas tersenyum lebar, "bagus lah. Seenggaknya bukan cuma junkfood yang masuk ke perutnya."

Kalau junkfood emang kenapa? Gak bikin kita langsung mati juga kan? Apalagi mie, sosis, burger, mie instan. Beuuhh... Seleraku!

"Emang Mas Tian gak suka junkfood?" kini Mbak Retno balik bertanya.

"Bukan gak suka sih, lebih ke... mmm... Menghindari aja. Sesekali saya makan mie instan juga. Tapi dalam setahun masih bisa di hitung jari," jawabnya sambil memegang ocha miliknya.

Gilaaa... dia bilang apa? Dalam setahun bisa di hitung jari makan mie instan? Aku dalam seminggu gak makan mie, sakau banget lambungku. Pasti meronta-ronta minta diisi micin. Pokoknya micin lovers sini merapat bareng aku. Jangan deket-deket si Babas.

Dari tadi perasaan banyak mojokin aku. Bikin aku gak betah. Kayaknya mending cepat pulang ke rumah, guling-guling di kasur daripada harus senyum palsu kayak sekarang.

"Yang, Mbak ke toilet dulu ya?" Bisik Mbak Retno. Tapi... dia mengedipkan mata padaku. Maksudnya apa sih? Suruh aku nyusul ke toilet?

"Sama aku?" tanyaku tak paham kodenya.

"Jangan dong. Kamu temani Mas Tian dulu. Nanti Mas Tian nangis kalau ditinggal sendirian," usil Mbak Retno. Si Babas cuma lempeng aja tanpa ekspresi mendengarnya.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang