Perihal Selesai

3.5K 321 22
                                    

"Mas cari kamu dari tadi, kenapa baru datang?" tanya si Babas menatapku lembut.

Baru kali ini, si Babas menarik tanganku ke tempat yang lebih sepi agar bebas berbincang denganku setelah tadi dengan bodohnya aku kabur saat bersinggungan dengannya. Entah kenapa, begitu bertatapan tadi hatiku lagi-lagi khianat membuatku melakukan hal impulsif sebodoh itu.

"Gak usah pura-pura gak tahu, Mas. Tadi Mas juga dengar sendiri pas aku bilang sama Mas Andi dan Mbak Ellen, kan?" sindirku.

Jujur aja, aku bener-bener malu banget ngomong sama dia. Ngapain coba tadi aku kabur segala? Ini kan nikahan adiknya, otomatis aku juga ngucapin selamat sama dia.

"Kenapa gak hubungi Mas? Mas bisa jemp—"

"Setelah gak komunikasi, terus tiba-tiba aku harus hubungi Mas? Helooww..." ketusku.

Si Babas menarik nafas kasar, "mas minta maaf."

"Buat apa?"

"Buat semua kesalahan Mas, Yang."

Dihadapkan dengan wajah sendunya sebenarnya hatiku ikut tercubit. Apalagi dia minta maaf duluan sebelum kami membahas masalah yang kami hadapi. Tapi aku gak boleh luluh gitu aja. Walau sejujurnya.... Ah sudahlah.

"Maaf, Mas selama dua minggu ini menghilang. Bukan maksud Mas mengabaikan kamu, sampe Mas gak ngabarin kamu sama sekali, Yang. Hanya saja, bertepatan dengan masalah kita, di kantor juga ada masalah yang lumayan besar membuat Mas harus fokus kesana. Belum lagi Mas ikut ngurus nikahan Ellen."

Kami sama-sama hening, aku bingung mau merespon bagaimana.

"Mas sadar, Mas salah. Mas seharusnya tidak begini. Mas harusnya bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan hubungan pribadi sama kamu. Tapi karena kerjaan juga menyangkut kehidupan orang lain yang bergantung dari perusahaan, maaf, kemarin Mas lebih memprioritaskan kerjaan Mas dari pada menghubungi kamu terlebih dahulu. Walau sejujurnya Mas juga berharap kamu yang menghubungi Mas duluan. Tapi nyatanya kamu malah semakin jauh dari jangkauan Mas," ujarnya padaku.

Aku masih diam. Meski beberapa kali aku menatap netranya yang penuh penyesalan. Tapi fokusku bukan hanya ke masalah kami. Aku malah melihat wajah si Babas lebih tirus. Apa karena dia lelah?

"Selama Mas gak hubungi kamu, kamu baik-baik aja, kan?" tanyanya yang ku jawab dengan anggukan.

"Jadi—"

"Kita udahan aja, Mas," potongku cepat. Aku paham pembicaraan dia mengarah kemana sekarang. Dan sebelum kecolongan diputusin, mending aku yang putusin duluan.

"Oh, kamu sudah punya jawaban ya, Yang?" cicitnya lesu.

"Buat apa dilanjut juga kan Mas? Dari awal kita memang gak sejalan. Gak saling membutuhkan juga. Dari awal juga aku terpaksa terima Mas. Kalau bukan karena permainan konyol yang Mas ajukan secara tiba-tiba, kita gak mungkin berstatus pacaran," jawabku sambil mengepalkan tanganku sendiri berusaha untuk menguatkan hatiku yang terasa perih.

Biarin dia benci. Biarin dia marah. Aku gak peduli lagi. Dia juga udah seenaknya ngacak-acak hidup aku.

"Dari awal Mas butuh kamu. Dari awal Mas cinta kamu. Makanya Mas coba mendekatimu. Tapi ternyata susah menaklukan hati kamu untuk merasakan hal yang sama dengan Mas," ujarnya membuatku sedikit kaget.

Tumbenan banget dia bilang cinta-cintaan segala? Dari awal, dia gak pernah bilang cinta sama sekali.

"Jujur aja selama dua minggu gak komunikasi denganmu, Mas menyesal Yang. Mas nyesel kenapa meminta kamu mikir ulang tentang hubungan kita sementara Mas tersiksa dengan rasa rindu Mas sendiri," ujarnya.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Donde viven las historias. Descúbrelo ahora