Perihal Kabar Duka

3.3K 324 20
                                    

"Boy meninggal, Yang," ujar Mbak Retno padaku.

"Boy? Boy yang—"

"Iya. Yang itu," potong Mbak Retno membuatku syok.

"Innalillahi... Kenapa emangnya? Sakit atau kenapa?" tanyaku penasaran sementara si Babas sepertinya sedang mencuri dengar percakapanku dengan Mbak Retno.

"Denger-denger katanya Aids," cicit Mbak Retno. Aku semakin syok. Apalagi aku tahu bahwa dia... Ya Tuhan, ngeri...

"Kita mau melayat kapan, Mbak?" tanyaku akhirnya.

"Hmm... Mau sekarang?" Mbak Retno balik bertanya.

"Mbak... Kalau sekarang, aku... aku lagi sama Mas Tian," aku melirik si Babas tak enak.

"Pacaran trooosss... Bilangnya putus. Putus apa? Putus urat malu?" sindir Mbak Retno.

"Berisik Mbak!"

"Ya lagi—"

"Jadi kapan mau ke rumah duka?" potongku kembali membahas mengenai Boy. Kalau gak digituin, Mbak Retno bakal nyinyir terus. Mana depan orangnya, pula.

"Terserah kamu. Mau besok juga oke. Kamu tanya temen-temen kamu yang lain gimana? Siapa tahu kamu nanti janjian sama temenmu."

"Iya nanti aku coba cari info juga. Dari tadi aku gak mainin hp soalnya," terangku.

"Terus mainin apa dong? Awas jangan mainin yang aneh-aneh, takutnya nanti malah disemangati setan."

"Aneh-aneh apa sih, Mbak! Orang aku sama Mas Tian lagi di... taman kok. Udah ah, aku tutup dulu. Ini mau pulang.  Nanti aku kabari lagi. Assalamu'alaikum." ujarku langsung menutup telepon tanpa mendengar jawaban dari Mbak Retno. Gak enak juga sama si Babas karena aku berbohong.

Ku lirik si Babas yang sedang menatapku tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Maaf Mas aku bilang lagi di taman. Kalau tahu lagi di sini, nanti dia makin heboh. Terus laporan sama Mama. Terus nanti Mama telepon aku dan Mas juga bakal kena ceramah Mama kayak tadi," terangku panjang lebar.

Si Babas cuma tersenyum, "santai. Mas paham kok," jawabnya. "Siapa yang meninggal?" tanyanya tanpa memutus pandangannya dariku.

"Temen Mas," jawabku. Aku jadi teringat saat pertama bertemu si Babas dulu. Saat itu aku menyamakan si Babas dengan Boy karena ku pikir dia kaum pelangi juga.

"Oh. Mau Mas antar ke sananya?" tawar si Babas.

"Enggak usah. Aku sama Mbak Retno aja, Mas," tolakku.

Aku masih waras, gak mau bikin heboh kalau aku bawa si Babas ke rumah duka. Selain nanti banyak teman model dan beberapa artis, pasti ada juga wartawan yang meliput karena Boy sendiri udah jadi aktor sinetron meski namanya gak begitu melejit. Gak etis rasanya kalau nanti kena paparazi lagi pas di tempat duka.

"Malam ini ngelayatnya?" tanya si Babas.

"Besok deh, Mas. Biar enak ke sananya. Lagian kan biasanya gak buru-buru di kubur juga. Eh, gatau di kubur atau di kremasi. Aku belum dapat info," ujarku sambil mengambil hp di meja.

"Ya udah, jadi pulang santai aja ya?" si Babas memainkan alisnya.

"Iya. Santai aja. Tahu-tahu nanti Mas sendiri yang diceramahi Mama," ketusku.

Si Babas tertawa, "masih sore, Sayang. Kita pulang ke rumah dari sini jam 7 aja, ya?" pintanya. "Mas masih mau bareng kamu," rayunya padaku.

"Aku takut Mama ceramah, Mas," ujarku jujur. Sekarang aku mau hidup damai dan sentosa. Pengin nikmati hari-hari yang menyenangkan lagi. Kayaknya udah lama gak ngerasain kayak gitu.

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now