Perihal Malu

3.6K 360 23
                                    

Sengaja mengabaikan telepon dari orang rumah untuk menghindar dari interogasi keluarga, malah jadi masalah tersendiri buatku. Padahal 'kan niatku biar tenang dulu, gitu lho. Biar bisa cerita langsung, pas aku pulang nanti. Tapi malah bikin orang rumah semakin heboh.

Apalagi menghadapi Kanjeng Ratu yang gak sabaran. Bikin aku gak bisa berkutik sama sekali. Saking kesalnya sama aku, datang ke rumah sakit, Mama nguamuk di depan si Babas. Sumpah, malu setengah mati di marahi Mama kayak bocil.

"Mama minta maaf ya, Mas. Gara-gara masakan Mama, Mas Tian jadi opname begini," ujar Mama yang duduk di samping si Babas setelah puas mengomeliku. Bukannya minta maaf sama aku, Mama malah minta maaf sama si Babas. Padahal aku yang habis dimarahi Mama.

"Mama kaget banget tadi pagi Yayang minta izin buat samperin Mas ke hotel karena Mas sakit," tambahnya.

Sebentar. Kayak ada yang janggal. Barusan Kanjeng Ratu bilang apa?

Mama?

M.A.M.A?

Gak salah? Dalam rangka apa panggilannya tiba-tiba berubah begini? Apa karena merasa bersalah juga sama kayak aku?

"Bukan salah Tan-Mama, kok. Seharian kemarin saya memang gak makan, Ma. Jadi masuk angin," si Babas ikut-ikutan manggil Mama juga. Dia malah langsung langsung fasih manggilnya.

"Ya kalau masuk angin gak sampai begini tho, Mas. Mas begini karena sebelumnya makan masakan Mama," ujar Mama seraya meremas tangannya. Mama kayaknya bersalah banget sama si Babas. Beda banget perlakuannya ke aku.

"Mama gak salah. Saya kemarin kalap makan masakan Mama karena enak sekali. Sudah lama saya gak makan gudeg sama krecek sampai lupa kalau saya gak kuat pedas, Ma," si Babas melirikku saat aku memperoloknya di belakang Mama.

"Lho, Mas gak suka pedas, tho?" tanya Mama.

"Bukan gak suka pedas, Ma. Perut saya sensitif kalau makan pedas. Tapi kemarin makan masakan Mama yang enak, saya jadi lupa diri. Malah saya makan krecek dengan rawitnya juga," si Babas meringis malu.

"Lho... lho... sampai segitunya tho Mas...Mas...." Senyum Mama terbit mendengar penuturan si Babas.

Bisa ae buaya buntung bikin Mama tersanjung. Pakai bilang lupa diri makan masakan Mama segala. Padahal dia sengaja men-chalange dirinya sendiri.

"Mama itu udah panik pas tahu Mas opname dari Puja. Mama mau tanya-tanya, Puja malah buru-buru pergi katanya ada meeting. Mama telepon Yayang buat tanya keadaan Mas, gaaakk di angkat-angkat," Mama melirikku sinis. Kayaknya beneran mau telan aku hidup-hidup kalau gak ada si Babas. "Ya udah, Mama akhirnya nekat ke sini aja. Itu pun, Gita telepon Puja pas dia makan siang buat tanya ruangannya gitu lho," ujar Mama panjang lebar.

"Maaf, Yayang sibuk ngurus saya, Ma. Jadi dia gak sempat angkat telepon Mama."

Meeh... sok-sok-an ngebela pakai bilang sibuk ngurus dia. Dari tadi aku di omeli Mama, dia diam aja. Malah ngeliatin doang. Sekarang mau cari muka depan Mama pakai pembelaan segala. Biar dia terlihat baik 'kan?

"Bagus kalau dia mau ngurus Mas. Mama jadi tenang."

"Mama ke sini sama siapa?" tanya si Babas mengalihkan topik pembicaraan.

"Sama Gita, sama Farel juga. Tapi mereka gak bisa masuk. Jadi nunggu di parkiran," ujar Mama.

"Maaf saya jadi merepotkan keluarga Mama. Sa-"

"Ndaaak... Ndak ada merepotkan-merepotkan. Kayak sama siapa aja," sanggah Mama dengan suaranya yang sedikit meninggi membuat si Babas diam seketika.

Sukurin, biar trauma kena lengkingan suara Mama.

"Terima kasih. Mama dan keluarga sudah menolong saya," si Babas melirikku.

"Mas sudah makan?" tanya Mama tak mau membahas hal itu lagi. Sementara aku dari tadi cuma diem, nyimak mereka ngobrol. Habisnya, udah bete duluan setelah di marahi Mama depan si Babas.

"Sudah tadi pagi, Ma. Sekarang baru bangun. Kayaknya belum di-"

"Tuh udah ada! Aku taruh di sana!" ketusku.

"Oh, iya. Saya ketiduran, jadi gak tahu."

"Ya udah, makan dulu kalau begitu," timpal Mama.

"Belum lapar, Ma."

"Yowis... tapi nanti di makan, biar cepat pulih ya Mas." Mama perhatian banget sama si Babas. Padahal dia udah tua. Gak perlu diingatkan soal makan segala. Kalau lapar, dia juga pasti makan.

"Udah di periksa dokter belum, Mas?"

"Nunggu visit dokter, Ma. Tadi di periksa sama dokter IGD aja. Mudah-mudahan bisa pulang sekarang," ujar si Babas.

"Mbok yo jangan dulu pulang sampai benar-benar sehat," timpal Mama. "Pokoknya jangan minta pulang kalau gak di suruh pulang sama dokter. Jangan khawatir, ada Yayang sama Puja buat jagain Mas kalau ada apa-apa," ujar Mama enteng.

Ini gak adil, Tuhan...

Kenapa sih, si Babas di belain banget?

Kenapa si Babas begitu istimewa di mata keluargaku?

Si Babas juga malah keenakan dimanjain Mama. Ada Yayang, ada Puja yang jagain. Meeh... Dia bukan hachi yang hidup sebatang kara. Masih punya keluarga, sahabat, bahkan karyawannya lumayan banyak. Kenapa gak hubungi salah satu dari mereka? Malah bikin keluargaku repot.

"Iya. Terima kasih, Ma."

"Farel masih di parkiran, Ma? Biar Yayang temui dia dulu," ujarku memotong pembicaraan mereka.

"Ga usah ke depan. Mama juga mau pulang, kok. Kasihan Farel kalau lama-lama di sini," tolak Mama.

Bagus. Usahaku bikin Mama pulang ternyata berhasil. Dari pada Mama ngoceh terus di sini, si Babas bisa besar kepala dibuatnya.

"Yowis, Mama pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kabari Masmu, Yang," ujar Mama sambil berdiri. "Mas Tian juga cepat sehat. Kalau dokter belum nyuruh pulang, jangan maksa-maksa pulang, ya?" si Babas langsung mengangguk patuh sambil tersenyum.

Dih... Mereka lagi akting sinetron keluarga cemara sepertinya. Dan kayaknya, aku harus sedikit bertindak biar gak kebablasan. Aku takut besok lusa, Mama malah seret aku nikah sama si Babas.

"Mas, kenapa sok akrab banget sama Mama? Aku gak suka, Mas. Mas manggil Mama-Mama segala. Emangnya itu Mama Mas? Mas itu bertindak seolah-olah kita itu udah kenal lama. Aku gak mau, Mama dan keluargaku berpikir kalau hubungan kita ini serius ke jenjang pernikahan. Aku belum siap, Mas. Mas jadi pacar aku aja karena tantangan. Bukan karena kita saling mencintai," cerocosku setelah kepergian Mama. Gak tahu kenapa, sama dia bawaanya ingin blak-blakkan terus kalau bicara. Gak peduli dia sakit hati. Dari pada aku yang tersiksa dan harus berpura-pura baik-baik aja kan ya? Tapi biar dia juga sadar untuk gak berharap banyak dengan hubungan konyol ini.

Sebelnya lagi, melihat aku meledak, si Babas malah senyum-senyum gak jelas.

"Kamu, cemburu karena Mas dapat perhatian dari Mama ya?" godanya tanpa peduli aku marah.

Boleh gak sih belitin selang infus ke leher si Babas?

Boleh gak sih belitin selang infus ke leher si Babas?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now