Perihal Rencana Balas Dendam

3.4K 321 26
                                    

Gak kerasa, udah dua minggu aku diem-dieman sama si Babas. Dia bener-bener membuktikan apa yang dia ucapkan saat terakhir kali kami bertemu.

Gak ngabarin, gak nelepon, gak video call, gaaak ada jejaknya sama sekali.

Kenapa sih, Om-Om itu gak gentle banget? Kenapa dia membiarkan masalah ini terjadi berlarut-larut dengan alasan agar aku berpikir jernih? Padahal kalau mau putus, ya udah putus aja dari awal. Kenapa malah dia yang gantungin hubungan ini?

Sebagai perempuan, harga diriku terluka. Apalagi digantungin Om-Om rese kayak dia. Aku tahu maksud dan tujuan dia sebenernya apa. Biar aku minta maaf duluan kan? Biar aku minta gak putus kan? Biar aku yang memohon agar hubungan kami lanjut, kan? Enak aja!

Sorry, dorry, morry, strawberry, aku bukan tipe orang yang demikian. Gak pernah aku mohon-mohon sama cowok biar gak putus, sekalipun aku cinta mati sama lelaki itu. Memalukan. Harga diriku bisa jatuh ke paling dasar kalau aku melakukan hal demikian. Apalagi kalau Kanjeng Ratu tahu aku begitu. Woaahh... Bisa-bisa aku gak diakui anaknya. Paling Mama bilang, bikin malu keluarga. Emangnya lelaki di dunia ini cuma dia seorang? Pake ngemis-ngemis cinta segala. Pasti Mama ngomel kayak gitu.

Belum lagi kalau netizen tahu seandainya aku mengemis cinta dari laki-laki. Yang kemarin aja mereka masih kepo tentang si Babas. Ditambah haters masih maki-maki aku, katanya aku cewek gatel yang bisanya gonta ganti cowok doang, bisanya tebar jaring lah, bisanya cuma sedotin harta laki-laki doang lah, untung aja bukan sedot lemak segala. Kalau sedot lemak, tubuhku paling tinggal tulang belulang.

Tapi aku masih tahan untuk gak tanggapi sama sekali. Sekalipun bikin aku sakit hati karena mereka memfitnahku yang enggak-enggak. Dan gak kebayang, apa jadinya kalau aku jujur depan mereka bahwa aku dan si Babas pacaran? nyatanya belum apa-apa kami udah terjebak dalam jurang perpisahan.

Pokoknya, lihat aja nanti pas ketemu. Biar aku yang putusin dia langsung, tanpa basa-basi.

"Jadinya mau pake baju yang mana, Yang?" tanya Mbak Retno padaku sambil membawa dua gaun di tangannya untuk aku pakai ke acara resepsi Mas Andi dan Mbak Ellen malam ini.

"Bingung, Mbak. Yang mana ya?" tanyaku.

"Yang ini lebih bagus. Simple tapi elegan menurut Mbak," ujar Mbak Retno menunjuk salah satu dress pesta berwarna lavender. "Lagian ini baru dipake sekali, waktu di Surabaya. Mmm... nikahannya Ci Vallent itu lho kalau gak salah," tambahnya.

"Hmm... Boleh deh," jawabku.

Seperti biasa, untuk acara formal kayak gini, aku selalu meminta bantuan make up artist dan hair do yang udah paham aku banget dari jaman aku belum kenal merk-merk make up sampai aku hapal mana yang cocok dengan kulitku atau enggak.

Walaupun aku udah bisa make up-an sendiri, tapi untuk acara khusus seperti ini, tangan mereka lah yang sangat aku butuhkan. Aku tinggal menyiapkan mental untuk berjumpa dengan si makhluk yang mengaku sebagai pacarku itu.

"Yang, buruan," ajak Mbak Retno padaku. "Heh! Itu tas kamu!" tunjuknya pada tas yang tergeletak di meja kemudian meninggalkanku keluar kamar.

Berjalan cepat, aku bergegas menyusul Mbak No yang udah turun, disambut tatapan laser Mama.

"Ngomongnya acaranya jam tujuh, jam segini masih di rumah. Kamu ngapain aja tho, Yaaang? Dandan wes kayak ondel-ondel aja luamaaa banget!" omelnya.

"Apa sih, Ma! Udah tahu kan aku kerja dulu," gerutuku yang gak terima diomeli Mama.

Udah tahu telat, Mama malah nambah buang waktuku!

"Mbok yo kalau ada undangan, kerjane gak usah sampai sore-sore! Biasane kan kamu tahu jadwal! Gimana sih! Lihat jam! Kalau tahu dandannya luama, dari siang aja dandannya!" omelnya lagi.

Mbak Retno cuma nyengir melihatku diomeli Mama. Padahal kerjaanku banyaknya karena dia juga!

"Wis tak berangkat sekarang. Nunggu Mama ngomel sampe selesai, nanti acaranya juga keburu udahan," gerutuku sambil mengambil tangan Mama untuk pamitan.

"Kalau orang tua ngomong tu di denger, Yang!"

"Iyaaa... Jangan marah-marah mulu. Sayang perawat wajahnya mahal," usilku sambil berlalu ke luar rumah.

"Aku aja yang nyetir, Mbak?" tawarku pada Mbak Retno begitu Mbak Retno membuka kunci.

"Jangan. Kamu udah cantik paripurna begitu! Buktiin sama si Tian kalau kamu princess-nya malam ini!" ujarnya.

Mbak Retno emosi setelah mendengar ceritaku waktu itu. Walau tak sepenuhnya membenarkan perilakuku terhadap si Babas, tapi menyaksikan si Babas sama sekali tak menghubungiku, ditambah aku kena bola api dari si Lambe gara-gara jalan bareng si Babas dan si Babas seolah lepas tangan begitu saja, Mbak Retno jadi ikutan geram juga. Baguslah, memang seharusnya Mbak Retno membelaku kan?

"Pokoknya kamu jual mahal aja sekalian, Yang! Lanang kok kelakuane gak gentle gitu! Gak si Nico, gak si Tian, sama-sama pelangi. Kenapa sih kamu apes tenan kalau berhubungan dengan laki-laki tho, Yang..." ujarnya.

"Pelangi?" beoku.

Perasaan si Nico bukan kaum pelangi meskipun dia model. Apalagi si Babas, jauh dari kata pelangi meskipun awalnya aku kira begitu.

"Pelang-pelan ngilang," cengir Mbak Retno membuatku ikut tersenyum mendengar istilahnya.

"Pelangi-pelangi. Tak kira kaum eljibiti. Istilahnya kok pelangi," gerutuku dengan senyuman.

"Podo wae. Mereka sama-sama gak jelas,"

"Lha, mana aku tahu, Mbak. Emang aku mau punya hubungan kayak gitu? Dari awal, aku udah bilang kan kalau aku gak mau berhubungan dengan si Tian? Mbak sama Mama itu lho, yang maksa-maksa aku buat terima dia. Aku malah heran, kalian kayak gak pernah ketemu cowok aja. Gatel nemen!" sindirku.

"Heh! Gatel apane? Lha ya wajar aja kalau Mamamu sama Mbak terpesona sama si Tian? Dia datang ke rumah berani bilang sama Mamamu mau seriusin kamu. Bukan cuma ke Mamamu, ke Puja juga izin ingin serius. Orang tua mana yang gak menaruh harapan besar sama lelaki yang begitu? Apalagi dia itu mapan, dewasa, dan tampan juga. Orang tua mana yang gak seneng anak gadisnya ada yang suka? Sadar umur aja tho, Yang. Kalau kamu nikah sekarang juga udah pantes. Anaknya Bude Sri aja udah punya dua anak" jawab Mbak No panjang lebar.

"Iya. Anak dua, janda juga. Amit-amit," ketusku.

"Ya pokoknya, Mama, Puja, Gita, Mbak pun setuju karena Tian itu berani maju. Gak perlu ditanya-tanya. Dia punya inisiatif sendiri," belanya.

"Sebentar, emang si Tian pernah ngomong sama Mama?" tanyaku heran.

"Lha, waktu pertama kali ke rumah. Yang ngajak kamu keluar. Emang Mamamu gak bilang?" tanya Mbak Retno heran.

"Iya tah? Kok, aku gak tahu ya? Atau Mama belum cerita?" tanyaku heran. "Meh... Wes gak penting lagi. Buktinya dia izin-izin mau serius, nyatanya begini juga!" potongku sebelum Mbak Retno mendebat lagi. Kemudian dibuat kaget oleh sebuah motor yang mendekati mobil kami sambil tangannya menunjuk-nunjuk.

"Mbaakk..." teriakku panik.




O.. Ow... Siapa diaaaa?
Babas?
Nico?
Atau....

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt