Perihal Hari Yang Menyebalkan

3.2K 335 11
                                    

Orang berpakaian serba hitam dengan helm full face berkendara tepat di sampingku sambil menunjuk-nunjuk mobil kami.

"Jangan di buka, Yang!" ujar Mbak Retno dengan intonasi yang lebih tenang. Padahal aku tahu, dia deg-degan sama kayak aku. "Mbak pepet aja, ya? Biar dia gak ngikutin," tambahnya sambil sesekali melirik ke sampingku.

"Jangan!" protesku. Aku takut nanti malah kita bermasalah gara-gara hal ini. Sementara lelaki berpakaian serba hitam masih bertahan di posisinya sambil menunjuk-nunjuk.

Karena penasaran, akhirnya ku buka kaca mobil tanpa menghiraukan Mbak Retno yang teriak melarangku.

"Mbaaakkk, ban Mbak..."

"Ha?"

"Bannya kempes, Mbaaak," teriak lelaki berpakaian serba hitam itu lagi.

"Ha? Oh ya... ya... Makasih, Mas." ujarku.

Mbak Retno buru-buru menepikan mobilku ke tepi jalan setelah motor itu berlalu pergi.

"Aduh gimana ini, Mbak?" tanyaku.

"Sek... Sek... Tak cek dulu," ujarnya sambil keluar mobil. Aku juga ikut keluar karena penasaran.

"Owalaaah... bannya beneran kempes," gumam Mbak Retno.

"Lha? Emang gak kerasa, Mbak?"

"Nggak," cengirnya. "Wong kamu aja gak ngerasa kan?" tuduhnya padaku.

Terlalu larut dalam emosi membuat kami tak sadar kalau mobil bermasalah.

"Tak pikir tadi itu begal, Yang. Sumpah, Mbak udah mikir jelek," ujarnya sambil memegang dada.

"Sama. Mana bajunya item semua. Mukanya gak keliatan lagi," gerutuku. "Untung aja, Mbak gak pepet tadi. Kalau dia sampe kenapa-napa, kita yang bermasalah," delikku pada Mbak Retno.

"Ya Mbak takut begal beneran. Apalagi dijalan kan sadis-sadis. Kamu tahu sendiri," elak Mbak Retno.

"Syukurlah kita gak sampe gegabah ya, Mbak," aku menghela nafas panjang. Merasa lega walaupun mobil kami bermasalah.

Mbak Retno mengangguk, "Makanya, don't judge the book by cover," ujarnya.

"Halah. Sok Enggres banget. Ngomong medhok tok! Lagian, siapa tadi yang mau pepet-pepet segala?" protesku.

Mbak Retno cuma nyengir.

"Terus ini gimana, Mbak?" tanyaku lagi.

"Gimana ya? Coba hubungi Puja, Yang. Mbak juga gak tahu harus gimana?" ujarnya.

Maklum aja, aku sama Mbak Retno selalu terima beres untuk urusan mobil. Biasanya Mas Puja yang selalu mengecek keadaan mobilku secara berkala. Tapi yang namanya ban bocor, gak bisa diprediksi juga kan?

Buru-buru aku menelepon Mas Puja. Dia selalu menjadi nomor satu yang aku hubungi di saat-saat kayak gini. Siapa lagi yang bisa aku andalkan selain Masku, kan?

"Puja dimana?" tanya Mbak Retno begitu aku mematikan sambungan telepon.

"Masih di Sudirman, Mbak. Masih jauh. Tapi katanya mau telepon montir disekitar kita. Bentar, aku share lock dulu sama Mas Puja," ujarku.

"Ya udah, kamu naik molen (mobil online) aja, Yang. Biar Mbak yang tungguin Puja," titahnya padaku.

"Jangan gila, Mbak! Mana tega aku ninggalin Mbak sendirian di sini!"

"Wes, rapopo tho. Masih jam segini," bantahnya.

"Halah, tadi aja takut begal. Sekarang sok-sok-an nyuruh aku pergi. Kalau situ di begal gimana?"

"Amit-amit! Ngomongnya itu lho! Suembarangan!" gerutunya padaku.

Sejujurnya, aku resah melihat jam yang terus bergulir. Udah satu jam, kami masih terjebak di sini. Mas Puja belum juga terlihat batang hidungnya. Montir yang katanya mau di telepon Mas Puja juga gak nongol-nongol. Meski beberapa ojol berhenti menanyakan mobil kami, tapi Mbak Retno gak sembarangan terima bantuan dari orang. Bukan kami gak percaya akan ketulusan orang lain yang hendak membantu, tapi berdasar pengalaman Mbak Retno yang diperas setelah menerima bantuan dari oknum yang membantunya, kami jadi lebih berhati-hati.

"Yang, sana pergi. Gak enak sama Mas Andi dan Mbak Ellen kalau gak datang. Apalagi mereka secara khusus ngasih undangannya sama kamu," Mbak Retno terlihat gelisah.

"Nanti aja, Mbak. Gak datang juga gak apa-apa. Nanti aku bilang aja sama mereka kalau kita kena musibah," bantahku. Kan aku gak tega kalau ninggalin Mbak No sendirian. Masa iya, aku senang-senang, tapi Mbak No malah nungguin mobilku? Lagipula, aku gak mau ketemu si Babas seorang diri. Rasanya gak nyaman. Apalagi yang aku datangi, nikahan adik kandungnya si Babas.

Setelah lama menanti, akhirnya sebuah motor mendekati kami yang ku taksir montir yang di telepon Mas Puja.

"Mbak Yayang?" sapanya.

"Iya, Mas. Kok lama banget sih, Mas?" protes Mbak Retno membuat si montir meringis malu.

"Bannya kempes, Mas. Situ bisa ganti kan?" tanya Mbak Retno sedikit ketus karena kesal nungguin kayaknya.

"Bisa, Mbak. Ban serepnya ada?" tanya si Mas montir.

"Ada," jawab Mbak Retno.

"Sana, kamu duluan, Yang. Nanti Mbak nyusul kalau Puja datang," titah Mbak Retno lagi.

"Nanti, Mbak. Barengan aja. Cuma ganti ban, pasti gak lama. Pokoknya aku gak mau sendirian. Kalau aku di culik gimana?"

Mbak Retno melotot, "cangkemmu!" gumamnya membuatku tertawa.

Akhirnya aku sama Mbak Retno mandorin si montir yang lagi gantiin ban sampe tiba-tiba sebuah mobil mendekat.

Aku melirik Mbak Retno yang ternyata melihatku, "molen, Yang. Sana, kamu duluan! Mbak tunggu ini beres terus susul kamu ke sana!" titahnya.

"Mbak tap—"

Mbak Retno menarik lenganku, "gak ada tapi-tapi!" kemudian membuka pintu mobil, "Mas, Ritz Carlton Kuningan, ya? Tolong cepet ya Mas. Soalnya adik saya sudah terlambat," pinta Mbak Retno pada supir molen yang dia pesan.

Aku tak bisa berkutik kalau Mbak Retno udah bertindak semaunya. Walaupun sebenarnya gengsi harus naik molen ke hotel mewah, apalagi jadi tamu undangan royal weddingnya Mas Andi dan Mbak Ellen. Tapi mau gimana lagi? Gak mungkin aku kabur dari acara tersebut. Apalagi Mbak Ellen udah mention aku untuk mendekati kakaknya. Argh... jadi inget dia lagi, kan!

"Makasih Mas," ujarku sambil turun dari molen setelah bermacet-macet ria. Boro-boro molennya bisa ngebut sesuai permintaan Mbak Retno, yang ada malah ngesot. Sampe supir molen menawarkanku untuk pindah naik ojol. Tapi ku tolak mentah-mentah. Gila aja, dandananku udah cetar begini, disuruh naik ojol. Minta disentil banget itu ususnya.

Yang paling bener, harusnya aku gak datang ke undangan Mas Andi dan Mbak Ellen. Udah ban kempes, disuruh jalan sendiri sama Mbak Retno, di tambah kejebak macet pula. Asli, moodku jadi terjun bebas.

Tapi suasana syahdu dan suara merdu Judika menyambutku begitu aku masuk ke dalam wedding venues. Mbak Ellen dan Mas Andi sedang berdansa romantis dikelilingi para tamu undangan yang berdiri membentuk lingkaran dengan lampu yang hanya menyorot di bagian tengah ruangan.

Seketika aku berdecak kagum melihat dekorasi yang sungguh menakjubkan. Tema fairy tale menjadi pilihan untuk dekorasi gedung. Sungguh, aku bahkan gak bisa menghitung berapa kocek yang dikeluarkan Mas Andi untuk mewujudkan wedding dream Mbak Ellen ini. Beruntungnya Mbak Ellen, dipuja oleh lelaki yang memang pantas mendampinginya. Yang terlihat begitu bucin sampe rela menunggu bertahun-tahun bahkan melakukan apapun untuk mendapatkan Mbak Ellen — si gadis cantik yang membuatku insecure.

Mengatur nafas sambil menikmati lantunan lagu, aku berjalan mencari air minum karena tenggorokanku terasa begitu kering. Hingga tanpa sadar, lenganku menyenggol lengan seseorang.

"Maaf."

"Yang," ujar kami bersamaan.

Kenapa mesti dia duluan yang harus aku temui, Tuhaaan...

Gaes, aku mau tanya dong,
Ada yang suka baca novel di yucub gak? Cuuunggg...

Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang