Perihal Kagum

3.8K 351 15
                                    

Jangan pernah menilai orang dari luar, sebelum kamu mengenal orang itu. Kalau bahasa inggrisnya, don't judge a book by it's cover, gitu katanya.

Tapi gimana ya? Semuanya juga di nilai dari covernya dulu kan ya? Lihat tampilannya kayak gimana, wajahnya antagonis atau protagonis, potongan rambutnya, baju yang dikenakan, segalanya pasti yang di lihat di awal, ya... itu.

Jangankan melihat orang, melihat makanan atau benda sekalipun yang kita lihat pertama kali 'kan packaging-nya dulu. Bagus gak, lucu gak, atau menggiurkan gak? Begitu kan?

Waktu aku menilai si Babas juga gitu. Ganteng, cool, rapih, postur tubuhnya bagus. Tapi nyebelin, ketus, rese saat pertama kali berinteraksi dengannya. Namun semakin lama kenal, ternyata orangnya gak seketus waktu awal ketemu.

Dia lumayan baik, perhatian, humoris walau absurd terdengarnya, unexpected juga karena suka melakukan hal di luar bayanganku, dan yang tetap bertahan dari dirinya dari awal kenal yaitu setiap ngomong selalu to the point. Gak pakai basa basi.

Jujur aja, penilaian ini bukan berarti aku terima dia 100% jadi pacarku lho ya. Sampai saat ini, aku masih gak percaya kenapa bisa tiba-tiba begini dengannya. Namun, aku juga gak menolak dia secara terang-terangan lagi. Apalagi rasa bersalah menghantuiku setelah membuatnya sakit. Sedikit banyak, hal itu mempengaruhi penilaianku juga. Ya... seenggaknya, ada orang yang rela melakukan hal konyol demi aku. Walaupun sebenarnya gak menguntungkanku sama sekali.

"Jam berapa ini, Yang?" tanya si Babas dengan suara serak membuatku terlonjak.

Ya Tuhan, bikin kaget aja.

Gara-gara duduk sedekat ini dengan dia, pikiranku jadi ngelantur kemana-mana.

Baru kali ini lho, aku bisa memperhatikan wajahnya dengan detail sesuka hati selama dia tidur. Gak munafik, dia emang ganteng banget. Aku udah sering bilang kan?

Kalau di lihat-lihat, aku iri dengan bentuk alisnya yang melengkung sempurna kayak bulan sabit kebalik dengan ketebalan yang pas tanpa harus sulam alis atau dibentuk macam-macam kayak orang-orang yang lagi nge-hits itu. Cuma perlu dirapihkan sedikit doang, pasti lebih cuco meong terlihatnya.

Bukan cuma alisnya, hidungnya juga terlihat sempurna. Iyalah, ibunya bule. Jelas dia dapat donor hidung dengan sudut lancip 45°, gak ada bengkok-bengkoknya sama sekali. Kalau ada semut nyasar di situ, pasti langsung tergelincir kayak naik prosotan. Ditambah, garis rahangnya yang tegas dengan bulu-bulu halus di sekitarnya membuat si Babas terlihat lebih manly. Kayaknya di gelitikin pake bulu-bulunya, kerasa geli-geli gimana gitu...

Ya Tuhan! Eling Yang, eling!

"Maaf, kaget ya? Jam berapa ini Yang?" tanyanya lagi.

"Jam... jam dua, Mas," jawabku gagap. Pikiranku kenapa jadi ngeres begini sih? Bikin salting sendiri.

"Lumayan lama juga Mas tidur. Maaf ya, kamu malah nungguin Mas gak jelas," ujarnya seraya bangkit.

"Mau kemana Mas?" tanyaku tak menghiraukan pernyataannya barusan.

Si Babas menjuntaikan kakinya hendak turun, "kamar mandi, Yang."

Dengan sigap, aku memegang tiang infus miliknya. Ini kali ketiga aku mengantarnya ke depan pintu kamar mandi. Seenggaknya, aku sedikit lega karena selama di opname, baru tiga kali ini dia ke kamar mandi.

Meski awalnya aku begitu canggung harus sedekat ini dengannya. Saat dia tiba-tiba merangkul bahuku - entah dia beneran menjadikanku pegangan atau modus — tapi hal itu membuatku deg-degan.

Apalagi saat si Babas minta disuapi. Mulutnya terbuka, tapi matanya terus melihatku. Sambil senyum-senyum pula. Gimana gak salting coba? Om-Om yang satu ini benar-benar menggoda iman.

"Tadi hape Mas bunyi, tapi aku gak tega mau bangunin Mas," ujarku saat dia kembali ke singgasana.

Si Babas mengambil ponsel yang tergelatak di meja. "Oh, Andi," gumamnya.

"Mas Andi mau ke sini?" tanyaku panik.

"Ha? Enggak. Kenapa?" Babas mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Mas... Mas cerita sama Mas Andi?" tanyaku.

"Soal apa?" dia balik bertanya.

"Kita," gumamku.

Aku belum siap kalau hubungan ini diketahui banyak orang. Bukan aku mau menutupi hubunganku dengannya, tapi aku butuh waktu untuk mencerna atau menerima dia 100% dulu, sebelum orang lain mengetahui hubungan kami.

"Gak. Andi belum tahu, Mas belum cerita sama siapa-siapa. Baru juga semalam kita resminya," ujar si Babas.

Iya juga.

"Mas harus kasih tahu dia sekarang?" tanyanya.

"Jangan!" Refleks aku sedikit menaikan intonasiku.

"Kenapa?"

"Hmm... Aku... Belum siap, Mas. Kita gini aja dulu, ya?"

"Maksudnya, kita backstreet?" tanyanya. "Dari Andi?" si Babas mengernyit heran.

"Aku masih butuh waktu agar terbiasa dengan Mas. Kalau orang lain tahu tentang kita lebih dulu, aku gak nyaman Mas. Aku mau terbiasa dulu sama Mas," dalihku.

"Kenapa harus begitu?"

"Ya pokoknya, aku mau gini dulu Mas," ujarku final.

Si Babas menggelengkan kepalanya, dia hendak protes tapi dia malah menghembuskan nafasnya kasar.

"Keluargamu udah tahu tentang kita, Yang. Masa keluarga Mas gak boleh?" protesnya dengan suara tenang.

"Iya. Keluargaku udah berasumsi duluan sebelum kita begini. Semua kan gara-gara Mas!" ketusku.

"Makanya, cukup keluarga aku aja yang tahu. Aku belum siap tampil di keluarga Mas."

"Keluarga Mas emang kenapa? Mereka kenal kamu. Mereka juga gak suka ikut campur sama urusan Mas," si Babas menatapku lagi.

"Pokoknya aku belum siap. Mas sendiri kan yang bilang, yang penting terbiasa dulu?" jawabku balas menatapnya.

"Ya justru it-"

"Mas! Kita baru sehari kan? Kenapa Mas udah nuntut aku macam-macam?" ku tatap wajah si Babas. Jujur aja, aku jadi kebawa emosi.

Aku sadar, tujuan dia mengarah kemana untuk hubungan ini. Tapi, gak secepat itu juga kan? Kita gak lagi di kejar deadline. Bukan kita, lebih tepatnya aku sih. Kalau dia, mungkin dikejar usia, tapi sayangnya aku gak bisa secepat itu untuk mengarah ke arah sana.

"Oke," Jawabnya pendek.

Sebenarnya kenapa sih dia terburu-buru begitu? Aku gak cukup yakin kalau dia jatuh cinta atau tergila-gila sama aku dalam waktu sesingkat ini. Apa karena dia kepanasan sama Mas Andi?

Ah, mbuhlah!

Sudah di kasih hati, masih minta jeroan lainnya. Padahal kalau diibaratkan, hubungan ini masih berbentuk bibit yang ditabur ke tanah. Tapi si Babas udah ingin memetik buahnya. Proses tumbuhnya aja belum tentu sempurna. Gimana kalau dalam proses tumbuh, ada hama yang menyerang? Bisa jadi mati sebelum berbuah manis.

"Sebenarnya, Mas ada janji sore ini sama Andi mau bahas wedding party-nya mereka," si Babas memulai obrolan kembali setelah kami membisu beberapa saat.

"Ya udah, bilang aja Mas lagi opname," ketusku. Eh, kalau Mas Andi ke sini, gimana?

"Atau aku pulang aja, Mas. Biar Mas Andi bisa kesini," ujarku seraya menatapnya. "Lagian, Mas kenapa gak bilang sama orang rumah?"

"Nggak. Mas maunya kamu di sini temani Mas. Mas gak mau mereka khawatir. Apalagi Mama suka heboh," Si Babas balas menatapku. "Mas bilang lagi di luar kota aja sama si Andi kalau begitu," Babas menempelkan hape ke telinganya untuk menghubungi Mas Andi.

"Assalamu'alaikum..." suara seseorang masuk ke dalam ruangan mengalihkan atensi kami membuat si Babas melepas hapenya di telinga.

"Gimana kondisinya, Mas?"

"Ma?" sapaku. Kaget melihat Kanjeng Ratu datang ke sini.

Mama menatapku tajam, "Mama telepon dari tadi kenapa gak kamu angkat sih, Yaaang?" lengkingan suara Mama membuatku malu seketika.

Duh, masalah baru lagi....




Kalau Sudah Jodoh, Mau Bagaimana Lagi? Where stories live. Discover now