Bab 9

25.8K 1.3K 0
                                    

"Lilid bangun!!" teriak Jian di telinga Lidya. Sayangnya telinga Lidya sudahlah beradaptasi. Ia sudah kebal dengan frekuensi suara teriakan Jian.

"Aduh, gimana yah cara bangunin ni kebo satu. Udah kebo, kurus lagi. Gak bisa dijual. Di jual pun belum tentu ada yang beli. Bikin beban aja melihara mahluk yang kek gini." cerocos Jian terus-menerus sambil membolak-balik tubuh Lidya, tapi sama sekali tidak bisa menggangu tidur gadis tersebut.

Jian melihat ke arah jam dinding masjid. Sudah jam 7. Berarti kurang lebih sudah satu jam lebih ia berupaya membangunkan seekor kebo yang seperti berada di antara sekarat dan mati.

Tepat jam 8 nanti, pelajaran sudah dimulai. Tapi mereka berdua belum mandi, apalagi bersiap-siap. "Jika bisa, rengnggut saja nyawa kebo ini Tuhan. Eh ngak deng, Jian bercanda ya Allah. Setidaknya dia bisa berguna sebagai bantal dan pembersih lantai." batin Jian kala memandangi wajah pulas Lidya.

"Oke, semoga yang ini berhasil."

Jian memegang kedua kuping gadis itu. Lalu secara bersamaan ia tarik keduanya sangat keras. Auto berhasil, saat ini Lidya sedang berteriak kesakitan.

"Aaaaaaaa telinga gueeeeee!!" teriak Lidya sejadi-jadinya. Reflek Jian menarik kembali tangannya lalu menyelamatkan kedua telinganya yang hampir pecah mendengar teriakan Lidya.

"Jian!! Lo punya masalah hidup apa sih sama tidur gue?? Keknya lo orang yang paling gak suka gue tidur nyenyak!" bentak Lidya.

Jian hanya terkekeh melihat kemarahan temannya itu. Dari dulu menurutnya Lidya kalau marah malah terlihat lucu, maka dari itu ia sering memancing emosinya.

"Ya maap yah Lilid ku cayang. Lilid makin cantik deh kalau marah." Jihan mencubit kedua pipi Lidya. Bukannya mereda, temannya itu malah dia bikin makin tambah esmosi.

Lidya memukul berkali-kali tangan Jian dengan begitu keras agar melepaskan pipinya yang sudah sangat sakit.

"Aw .... Sakit tangan gue, Lid! Lo kalau mau pukul orang pelan-pelan dikit napa!" rintih Jian. Ia meniup tangannya yang memerah.

"Heh! Emang lo pelan-pelan waktu narik kuping sama pipi gue tadi? Enggak kan!" Bentak Lidya sejadi-jadinya.

Jian hanya memamerkan deretan gigi putihnya seolah tidak merasa bersalah sama sekali. Lidya mengehela nafas kasae melihat tingkah bocah tengik itu.

"Ada apa ini kalian ribut-ribut?" tanya seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri mereka berdua.

Lidya dan Jian reflek berbalik dan melihat siapa yang berbicara tersebut.

"Kakak," ucap Jian saat melihat Gus Fatir, kakak kandungnya.

Gus Fatir melihat tangan Jian yang memerah. Dengan cemas ia mendekati Jian lalu meniup kedua tangan adiknya tersebut.

"Ini tangan kamu kenapa, dek? Siapa yang mukul kamu sampai seperti ini?" tanyanya.

Lidya yang melihat itu merasa iri. Jika saja ada abang-abangnya di sini, mereka pasti akan mengkhawatirkannya seperti itu.

"Kalian habis berantem yah, hmm?" Fatir menatap lekat ke mata sang adik. Ia mencari setitik air mata di kedua mata tersebut. Untunglah ia tidak menemukannya.

Tapi ini aneh, biasanya hanya terluka sedikit saja adiknya akan menangis, kenapa kali ini tidak? Padahal kalau dilihat dari kemerahan di tangannya, itu adalah bekas pukulan yang sangat keras.

"Kamu kan yang sudah memukul adik saya sampai tangannya merah seperti ini?" tanya Fatir dengan nada sedikit kasar pada Lidya. Ia bahkan tidak menatap wajah wanita itu sedikitpun.

"Emangnya kenapa? Orang tadi kita berdua cuma bercanda. Lo gak tahu ya candaan orang yang udah sohib banget gitu? Lagian bukan cuma dia yah yang luka, gue juga! Nih liat! Lagian mana bisa liat kalau dari tadi lo selalu nunduk dan gak pernah liat ke muka gue." sewot Lidya sambil melipat kesal kedua tangannya di bawah dada.

Gus Arrogant!! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang