Bab 21

21.1K 1.2K 5
                                    

Allahuakbar Allahuakbar

"Syifa, Syifa bangun. Udah waktunya sholat tahajud."

"Hmmm ...."

"Syifa udah adzan. Ayo, yang lain udah pada ke masjid."

"Duluan aja, Sya. Gue lagi g enak badan."

Aisyah terkejut. "Kamu teh lagi sakit? Aisyah panggilin ustazah atau gimana?" tanyanya.

"G usah, entar juga sembuh. Lo duluan gih." suruh Syifa. Ia masih menutupi wajahnya dengan selimut. Meringkuk kedinginan karena memang tempat tidurnya dekat dengan fentilasi. Jadi angin malam mudah untuk masuk.

"Ya udah, Aisyah siapin air hangat yah. Siapa tahu kamu haus, minum yang angat-angat tuh ngebantu banget kalau lagi g enak badan." Kata Aisyah.

"Iya, thanks banget yah, Sya." ucap Syufa.

"Iya, kalau butuh sesuatu jangan sungkan tanya ke aku. Kalau bisa aku bantu, pasti aku bantu."

Aisyah pergi dan ternyata benar, ia menyiapkan air hangat yang ia janjikan lalu menaruhnya di meja dekat ranjang mereka.

"Aisyah duluan ya, Fa." Pamitnya.

"Iya, hati-hati. Makasih air hangatnya." Jawab Syifa dengan suara yang lesuh.

"Sama-sama."

Aisyah pun pergi meninggalkan Syifa sendirian di kamar.

Setelah di rasa aman. Syifa beranjak dari tempat tidurnya. Ia mengecek keadaan kamar yang sudah sepi.

Syifa turun dari ranjang dan mengambil sesuatu dari dalam lemarinya. Sepasang mukenah dan juga sajadah.

Syifa menggelar sajadah tersebut di lantai menghadap ke arah kiblat. Lalu memakai mukenanya dan mendirikan sholat malam.

Sebelumnya ia telah mengambil air wudhu tanpa diketahui siapapun. Ia ingin berduaan saja dengan Allah dan mengeluhkan segala kepahitan yang ia alami.

Baru takbiratul ihram, raganya sudah tak kuasa. Air matanya mengucur hingga membasahi sajadah. Ia benar-benar rapuh jika berhadapan dengan sang pencipta.

Syifa sholat tahajud dengan sangat khusyuk. Ia melakukan rakaat demi rakaat sambil menangis. Jangan tanya bagaimana mukena dan sajadahnya sekarang. Sudah basah kuyup karena air matanya.

Dalam sujud ia selalu mengadukan hal yang sama kepada Allah. Semua yang ia rasakan ia limpahkan ke dalam sujudnya.

"Sujud itu indah, kau berbisik di bumi, tapi terdengar oleh langit." Itulah yang selalu Syifa ingat.

"Assalamualaikum warahmatullah, assalamualaikum warahmatullah."

Syifa menengadahkan kedua tangannya ke langit. Baru mulai untuk berdoa, matanya sudah kembali banjir. Tubuhnya bergetar sangat hebat. Batinnya terisak penuh luka.

"Wahai Rabb yang ubun-ubunku berada dalam genggamannya. Wahai Dzat yang maha melihat lagi maha mendengar. Maha mengetahui lagi maha penyayang."

"Ya Allah .... hamba-Mu ini yakin seyakin-yakinnya. Dan saya selalu tancapkan keyakinan itu di hati saya. Cuman engkau Ya Allah .... cuma engkau yang pasti akan mendengar doa saya."

"Saya tancapkan keyakinan itu dalam jiwa saya. Hanya engkau yang pasti akan mengabulkan doa saya."

"Kalau pada yang maha mendengar saja tidak mengabulkan, lantas kepada siapa lagi hamba-Mu ini akan memohon?"

"Ya Allah, sungguh hamba-Mu ini adalah insan yang lemah. Engkaulah yang membuatku kuat. Aku sangat rapuh, tapi Engkau yang membuatku tegar."

"Sungguh Ya Allah, hati hamba sedang teriris, ujian yang engkau berikan ini sangat dahsyat hingga membuat hatiku berantakan. Dadaku pun terasa sesak jika mengingat perlakuan mereka padaku."

"Engkau sangat tahu bahwa ini fitnah, engkau yang menakdirkan fitnah ini kepadaku. Maka dengan sangat hamba memohon kepadamu Ya Rabb, bersihkan nama hamba jika waktunya telah tiba. Angkat fitnah yang Engkau titipkan kepadaku dan perbaikilah sifat mereka terhadapku."

"Ya Allah .... atas segala rasa sakit, pilu, serta kecewaku. Jika memang dia bukan untukku, kehidupanku, masa depanku, dan juga agamaku. Maka hilangkanlah Ya Allah. Hilangkan perasaanku yang kau tanam untuknya. Pudarkan keindahan wajahnya dari pandanganku."

"Jika dia bukanlah yang terbaik untukku, kehidupanku, masa depanku, dan juga agamaku. Jangan hadirkan dia di setiap jalan dari kehidupanku."

"Jauhkan dia dari pandanganku sejauh yang aku butuhkan. Karena sungguh atas rasa ini, aku tak mampu untuk pergi. Selesaikanlah masalah yang dihadapi kedua orangtuaku secepat mungkin. Setelah itu aku akan pergi dari tempat ini dan tak ingin kembali. Apalagi berandai-andai memiliki dia yang tak bisa kumiliki."

"Aaamiiin ya Rabbal Alamin."

***

Sementara di tempat lain. Seorang pria juga tengah duduk di atas sajadahnya. Menengadahkan tangan seraya berdoa kepada Rabbnya.

"Wahai Dzat yang maha membolak-balikkan hati. Tetapkanlah hatiku di atas agama-mu. Jangan biarkan hati ini jatuh pada dia yang bukan engkau takdirkan untukku."

"Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibah ini. Jika ia memang bukan jodohku, maka berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya."

"Ya Allah, jika dia memang jodohku, maka dekatkanlah aku dengannya. Dan jauhkanlah, bila dia tak baik untukku. Karena aku yakin dengan rencana hebat-Mu untuk diriku."

"Tapi kumohon, aku hanya ingin melihat dia bahagia, walaupun itu bukan bersamaku. Tapi jika bersamaku, aku janji padamu akan jauh lebih membahagiakannya ketimbang membahagiakan diriku sendiri."

"Aaamiin ya Rabbal Alamin."

Apa yang lebih indah dari dua insan yang belum halal, saling mencintai dalam diam, saling menjaga , tidak bertemu namun saling mendoakan di sepertiga malam.

***

Pagi-pagi sekali, sesuai dengan yang di rencanakan, Syifa dan Jian akan berkerjasama mengambil handphone Syifa yang di simpan oleh pihak keamanan pesantren.

"Gimana? Aman?" tanya Syifa pada Jian yang sedang mengawasi sekitar.

"Aman."

Jian menunjukkan jari jempolnya dari kejauhan. Syifa pun masuk ke dalam ruang keamanan menggunakan kunci cadangan yang memang dimiliki oleh pak Kiai. Tentu saja Jian yang mengambilnya secara diam-diam.

Syifa membuka laci demi laci, kesemua lemari dan tempat-tempat yang menurutnya bisa jadi tempat disimpannya hp para santri.

"Dimana hp-hp itu di taro?" tanyanya pada diri sendiri.

Lama mencari, akhirnya Syifa menemukan sebuah titik terang. Ia menemukan laci di bawah meja salah satu staf keamanan yang tertutupi oleh kain taplak meja.

Syifa mencoba untuk membukanya. "A-apa? Ini tidak bisa dibuka astaga." kesalnya.

Syifa mencari kunci laci tersebut di atas meja. Siapa tahu staf itu menyembunyikannya di celah-celah barang yang ada di atas meja tersebut.

Benar saja, Syifa menemukan kunci didalam vas bunga. Ia pun segera membuka laci tersebut. Untunglah isinya benar-benar hp para santri dan santriwati. Syifa pun mencari hpnya di dalam tumpukan hp tersebut.

"Akhirnya, ketemu." Syifa segera mengunci kembali laci tersebut dan merapikan benda-benda di sekitarnya sesuai posisi semula.

"Gimana? Dapat ga?" tanya Jian setelah Syifa keluar.

"Tadaaa." Syifa menunjukkan handphonenya kepada Jian.

"Bagus. Minggir, gue mau kunci pintu dulu." Syifa pun minggir dan membiarkan Jian mengunci pintu ruangan tersebut. Setelah selesai, segera mereka berdua pergi dari sana.

TBC

Gus Arrogant!! (TAMAT)Where stories live. Discover now