Pre-Prologue

21.6K 544 29
                                    

Sembari menahan dinginnya udara malam, seorang pria terbang melintasi areal istana yang sepi dan menjaga posisinya di udara agar tetap stabil. Matanya yang sehitam jelaga memindai setiap inci bangunan istana dengan teliti, mencari-cari jendela yang bisa digunakannya untuk masuk. Pria itu pasti tidak diperbolehkan lewat pintu depan. Ia perlu mencari alternatifnya—terutama yang sepi dari penjaga.

Pencariannya terhenti ketika ia menemukan sebuah balkon luas di sisi barat istana. Balkon itu langsung mengarah pada sebuah pintu kaca megah, terkunci. Sisi lain pintu tersebut ditutupi tirai bersulam perak. Sang pria mengeluarkan seutas jarum berlekuk dari saku jaketnya dan memasukkannya ke dalam lubang kunci pintu tersebut, mencoba mengakali mekanisme kuncinya, tetapi gagal. Jarum itu justru patah begitu ia berusaha memutarnya. Sang pria menyerah. Lebih baik menggunakan cara lain.

Pintu tersebut terbuat dari kaca. Bisakah ia—tidak. Apabila ia memecahkannya dengan batu, orang-orang kerajaan bisa terbangun.

Putus asa, akhirnya ia beralih pada sebuah jendela di samping pintu kaca itu. Sang pria menghela napas puas. Ya, tidak ada yang pernah mengunci jendela. Ia segera membuka jendela tersebut  dan melepas baut-baut yang menahan teralis jendela dengan bantuan alat perkakas serbaguna yang dibawanya. Setelah menaruh rangka teralis dengan hati-hati di luar jendela, perhatiannya kini tertuju pada  tempat tidur king size di dekat jendela. Tempat tidur itu berkanopi biru tua dengan rangka berwarna emas, kanopinya setengah terbuka. Di atas kasur yang hangat, seseorang berbaring memunggunginya.

Targetnya malam ini.

Pria itu berjalan mendekat, sebelah tangannya merogoh ke dalam saku jaket hitamnya. Jemarinya menyentuh ujung bilah pisau yang dingin. Dalam waktu singkat, ia telah menggenggam pisau tersebut dan mengacungkannya ke arah punggung sang pemuda yang terlelap.

Haruskah ia melakukannya?

Ya, harus. Hanya pengorbanan satu nyawa demi kemenangan yang sempurna. Satu-satunya pewaris takhta kerajaan, satu-satunya orang yang menghalanginya—dan ayahnya—menduduki singgasana. Hanya satu nyawa. Tidak akan ada yang curiga.

Pria itu bergerak mendekat. Sang pewaris takhta beringsut di kasurnya, masih dengan mata terpejam.

Dalam hitungan detik, ujung pisau miliknya telah tertanam di bahu sang pangeran yang hanya dilapisi pakaian tidur tipis.

Ia nyaris terjungkal ketika sayap keemasan sang pangeran tiba-tiba bergerak dan pemuda itu terbangun dari tidurnya, menegakkan punggungnya dan menatap dalam-dalam wajah si penyerang yang tertutup topeng. Dengan tenang, dicabutnya pisau tersebut dari punggungnya dan dilemparnya ke lantai. Pria itu membeku sesaat. Darah mulai mengalir dari balik pakaian sang pangeran, membasahi kasur di bawah tubuhnya, tetapi pemuda itu tidak terpengaruh sedikit pun. Sebaliknya, ia menyambar pisaunya sendiri dari bawah bantal dan mendorongnya ke wajah si penyerang.

"Sudah kubilang, Premier. Pergi, atau kupanggil pelayan."

Pria itu menggeleng, tidak bersuara. Ia justru memungut pisaunya dan kembali menyerang sang pangeran, kali ini sambil melompat ke atas tempat tidurnya.

Percobaan pembunuhan itu berubah menjadi pergulatan untuk bertahan hidup. Kemampuan bertarung pria itu kalah jauh dibanding sang pangeran, tetapi ia sudah terbiasa mempraktekkannya—di jalanan, di sarang-sarang preman dan pemabuk. Sang pangeran lebih cermat dari yang ia duga. Pemuda itu mendesaknya ke pinggir ranjang sambil terus melayangkan serangan-serangan ke tubuhnya, menerapkan taktik membuka pertahanan lawan yang dipelajarinya di istana, sementara si lawan sibuk menghujaninya dengan pukulan dan tusukan pisau yang kebanyakan meleset dari sasaran. Pergulatan itu bisa berlangsung sepanjang malam andaikan pria tersebut tidak melayangkan satu tinju keras ke sisi kepala sang pangeran. Pemuda itu menjerit tertahan, kehilangan keseimbangan, terjatuh di atas kasurnya sendiri. Telinga kanannya hampir remuk.

Sang pria mengambil kesempatan itu dengan menusuk tubuh sang pangeran, sambil menahan perut pemuda itu dengan lututnya, berkali-kali. Bilah pisau berlekuk pemberian ayahnya basah terendam darah. Sang pangeran melemah, senjatanya terpelanting ke ujung tempat tidur dan terjatuh. Dia tidak bisa melawan lagi.

Sepasang mata biru kehijauannya perlahan-lahan menutup. Pria itu menghela napas, lega sekaligus kasihan menatap tubuh tak bernyawa di bawahnya. Ia masih harus memastikan bahwa sang pangeran benar-benar mati—dan, kalaupun bisa bertahan hidup, tidak akan bisa kembali ke Evaliot lagi. Ketika ia akan mengemasi pisaunya dan menarik tubuh sang pangeran keluar jendela, pintu ruangan digedor seseorang.

"Pangeran!"

"Buka pintunya, Pangeran! Anda tidak apa-apa?"

Sialan. Para pelayan pasti mendengar jeritan pangeran tolol ini sebelumnya.

Pria itu bertindak cepat. Diseretnya tubuh sang pangeran ke dekat jendela, kemudian melemparkannya ke arah balkon, sebelum ia mengeluarkan dirinya dari ruangan itu dan menyimpan kembali pisaunya ke  saku jaket. Ia tidak repot-repot menutup jendela kamar atau merapikan kekacauan di tempat tidur sang pangeran. Ia tidak punya waktu; dan tidak peduli. Dengan jengah, dibopongnya tubuh hangat sang pangeran di atas pundaknya yang gemetaran dan mengepakkan sayapnya, meninggalkan areal istana yang luas. Ia akan membunuh seorang supir kereta ekspres dan menggunakan kendaraannya untuk membawa sang pangeran ke... tempat jauh. Ya, rencana yang sempurna. Namun, pertama-tama, ia harus memastikan pemuda ini benar-benar mati.

Karena saat pria itu menoleh ke arah tubuh yang dibopongnya, ia seolah mendengar helaan napas samar....

ElementbenderWhere stories live. Discover now